Kasus bunuh diri di kalangan anak-anak dan remaja menjadi sorotan. Dalam sebulan terakhir, empat insiden dugaan bunuh diri anak terjadi di Sumatera Barat dan Jawa Barat.
Peristiwa tersebut menimbulkan keprihatinan mengenai kondisi kesehatan mental generasi muda, terutama generasi Alpha yang lahir pada rentang tahun 2010 hingga 2024. Menanggapi fenomena tersebut, Manajer Center for Public Mental Health (CPMH) Universitas Gadjah Mada, Nurul Kusuma Hidayati, M Psi, menyebut meningkatnya kasus bunuh diri harus dipandang sebagai "alarm darurat".
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ini sudah semacam wake-up call yang harus membuat semua pihak waspada. Sudah saatnya setiap elemen bangsa melihat kesehatan mental anak sebagai hal yang penting untuk diperhatikan. Anak tidak hanya perlu sejahtera secara prestasi, tetapi juga secara mental," ujarnya dalam laman UGM dikutip Selasa (18/11/2025).
Menurut Nurul, gen Alpha memiliki karakteristik unik yang membuat mereka lebih rentan terhadap tekanan psikologis dibandingkan generasi sebelumnya. Apa itu?
Alasan Gen Alpha Lebih Rentan Depresi
Psikolog itu menuturkan jika gen Alpha tumbuh dalam paparan teknologi digital sejak lahir. Mereka hidup di tengah banjir informasi dan berinteraksi intensif di dunia maya. Kondisi ini membuat mereka akrab dengan dunia digital, tetapi juga rentan terhadap kelelahan emosional.
"Mereka berisiko lebih dini mengalami kelelahan emosional, sementara kemampuan pengelolaan pikirannya belum matang. Kombinasi ini berpotensi membuat anak terjebak dalam tekanan mental yang berat hingga berujung pada tindakan ekstrem," jelasnya.
Tantangan Mencegah Depresi pada Gen Alpha
Nurul mengungkapkan ada sejumlah tantangan dalam mencegah depresi pada generasi Alpha. Salah satunya adalah rendahnya literasi kesehatan mental.
Menurutnya, masih banyak orang tua dan guru yang belum memahami tanda-tanda awal gangguan psikologis pada anak. Akibatnya, masalah psikologis dibiarkan berkembang hingga mencapai titik krisis. Selain itu, komunikasi antar generasi yang berjarak juga menjadi tantangan tersendiri.
"Kurangnya dialog yang empatik antara orang tua dan anak membuat proses pertolongan pertama psikologis tidak berjalan dengan baik," paparnya.
Tantangan lain yang muncul adalah rendahnya kemampuan anak dalam mengatur emosi. Dalam banyak kasus, peran pengasuhan kini banyak digantikan oleh media digital, sehingga anak-anak kehilangan kesempatan belajar langsung dari orang tua tentang bagaimana mengelola perasaan dengan sehat.
"Paparan dunia digital yang tidak terkontrol semakin memperparah kondisi ini karena anak-anak seringkali tidak memiliki filter dalam menyerap informasi atau membandingkan diri dengan orang lain di media sosial," tambahnya.
Cara Menekan Risiko Depresi pada Gen Alpha
Untuk menekan risiko depresi dan tindakan ekstrem pada anak, Nurul menegaskan pentingnya langkah konkret dari keluarga dan sekolah. Langkah-langkah tersebut termasuk:
1. Membatasi screen time anak
2. Orang tua berperan aktif sebagai "pelatih emosi" dengan menanamkan contoh ekspresi emosi yang positif dan terbuka
3. Sekolah menyediakan mekanisme rujukan ke psikolog atau konselor
4. Guru bertugas sebagai gatekeeper untuk mendeteksi perubahan perilaku siswa
5. Ada pembelajaran sosial dan emosional (Social Emotional Learning/SEL) dalam kurikulum.
Dalam jangka panjang, Nurul berharap generasi Alpha dapat tumbuh di lingkungan yang ramah kesehatan mental. Ia menegaskan pentingnya pendidikan yang menekankan kecerdasan intelektual dan ketahanan emosional.
"Harapan saya, anak-anak tumbuh di lingkungan yang memvalidasi emosi, mengajarkan literasi emosi, dan berani meminta pertolongan ketika tidak baik-baik saja. Mereka perlu hidup di lingkungan yang sehat secara psikologis, baik di rumah, di sekolah, maupun di ruang digital," tuturnya.
(nir/faz)











































