Warga Tolak Fotografer Jalanan Foto Tanpa Izin, Pakar IPB: Tanda Positif

ADVERTISEMENT

Warga Tolak Fotografer Jalanan Foto Tanpa Izin, Pakar IPB: Tanda Positif

Trisna Wulandari - detikEdu
Jumat, 14 Nov 2025 20:00 WIB
fotografer kamera
Pakar sosiologi soroti penolakan masyarakat pada fotografer jalanan. Menurutnya, begini etika dan cara menjaga hak privasi saat memfoto di ruang publik. Foto: Unspslah
Jakarta -

Keberadaan fotografer jalanan direspons penolakan sebagai warga pengguna jalan. Terlebih, penggunaan tanda menyilangkan tangan sebagai gestur menolak difoto oleh pejalan atau pelari rupanya tidak dihiraukan sejumlah fotografer jalanan.

Pakar sosiologi IPB University, Dr Ivanovich Agusta menilai, masyarakat kini mulai membangun norma sosial baru: fotografi di ruang publik boleh dilakukan, tetapi harus beretika.

"Kesadaran publik meningkat. Banyak warga menolak difoto tanpa izin. Ini tanda positif munculnya kontrol sosial baru," tuturnya, dikutip dari keterangan kampus, Jumat (14/1/2025).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ruang Publik Tak Selalu Bebas Foto

Ivanovich menjelaskan, secara normatif, ada anggapan bahwa berada di ruang publik membuat orang sah-sah saja di foto. Namun, ia menggarisbawahi, batas antara ruang publik dan privat dari segi sosiologi dan etika tidak hitam-putih.

ADVERTISEMENT

Ia mencontohkan, kelompok rentan akan praktik fotografer jalanan ini ini antara lain tunawisma. Sebab, jalan raya dijadikan tunawisma sebagai ruang privat sehari-hari.

Butuh sensitivitas sosial dalam memperlakukan orang lain di jalanan, termasuk tunawisma tersebut. Di samping itu, subjek di jalan atau ruang publik lain juga harus memberikan persetujuan untuk difoto.

"Kehadiran di ruang publik tidak otomatis menghilangkan hak privasi seseorang. Walau lokasi pemotretan bersifat umum, tetap ada norma bahwa individu berhak tidak dijadikan objek visual tanpa persetujuan," ucapnya.

Ketimpangan Kekuasaan

Mengutip pemikiran Susan Sontag, Ivanovich menjelaskan, setiap tindakan memotret adalah bentuk kekuasaan. Sebab, fotografer menentukan bagaimana seseorang direpresentasikan.

Dengan memfoto pejalan atau pelari tanpa izin di ruang publik tanpa sepengetahuan mereka, ada ketimpangan kekuasaan antara fotografer dan pengguna jalan.

"Dalam konteks modern, ketika fotografer memotret pejalan kaki tanpa sepengetahuan mereka, terjadi asimetri kekuasaan fotografer melihat dan mengabadikan, sedangkan subjek terekspos tanpa kendali," ucapnya.

Sorot Komersialisasi Foto

Ivanovich juga menyoroti praktik komersialisasi foto yang dihasilkan fotografer jalanan di platform digital berbasis artificial intelligence (AI). Dalam beberapa kasus, orang yang difoto justru harus menebus foto yang memuat sosoknya sendiri.

Fenomena ini menurutnya sejalan dengan konsep kapitalisme digital Shoshana Zuboff. Dalam hal ini, data pribadi dijadikan komoditas bernilai tinggi untuk keuntungan perusahaan.

"Ini bentuk baru komodifikasi kehidupan sosial ketika aktivitas sehari-hari berubah menjadi barang dagangan. Citra diri seseorang diperlakukan sebagai produk yang dijual," ujarnya.

Sebelumnya, Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) mengingatkan para fotografer agar mematuhi Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) dan etika berfotografi. Ianovich menegaskan, butuh ada edukasi di samping penegakan regulasi.

Ia menjelaskan, kebebasan berekspresi harus seimbang dengan penghormatan terhadap privasi. Langkah ini penting agar fotografi bisa tumbuh sebagai karya seni tanpa mengabaikan martabat manusia.

"Masalah ini tidak hanya perlu penindakan, tetapi juga edukasi. Regulasi harus diiringi literasi digital agar masyarakat tahu haknya dan fotografer memahami tanggung jawabnya," ucapnya.




(twu/nwk)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads