Isu keamanan dan legalitas data masih mewarnai penggunaan alat kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI). Sejumlah alat AI generatif masih menghadapi isu dugaan pelanggaran hak cipta dan perlindungan privasi, mulai dari AI tools untuk membuat video, gambar, dan foto; hingga asisten AI.
Menanggapi isu pengumpulan data oleh alat AI, Rektor Binus University Dr Nelly, SKom, MM CSCA tak menampik concern masyarakat ini. Pada platform sehari-hari pun, seperti aplikasi surel (email), data pengguna otomatis terintegrasi setiap kali digunakan.
Di sisi lain, ia menegaskan pentingnya mahasiswa maupun dosen untuk tetap mempelajari dasar-dasar AI. Langkah ini menurutnya dapat menyiapkan mereka untuk menghadapi perkembangan teknologi AI. Di samping itu, penguasaan AI, setidaknya pada tahap fundamental, dapat bantu mahasiswa untuk memanfaatkannya dalam proses mengembangkan kompetensi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Buat anak-anak mengerti cara kerja AI, apapun jurusannya. Diajarkan fundamental-nya. Kalau dia tahu, dia jadi bisa memanfaatkannya untuk kompetensi masing-masing. Kalau nggak, lebih bahaya," tuturnya pada pertemuan Binus University: Update di Four Points by Sheraton Linkou, New Taipei City, Taiwan, Kamis (21/8/2025).
Ia menjelaskan, bahaya tidak memahami dasar-dasar AI terletak pada risiko mahasiswa untuk menjadi ketergantungan dan tidak dapat mengendalikan penggunaannya dengan bijak. Untuk itu, penting bagi mahasiswa mengenal AI dan memahami cara memanfaatkannya untuk kepentingan masa depan secara beretika.
"Dia (mahasiswa) yang harus mengendalikannya. Manfaatkan untuk bekerja lebih cepat, lebih terpersonalisasi. Manfaatkan agar kemampuan lebih meningkat," ujarnya.
Binus University sendiri salah satunya coba mendalami AI lewat pendirian AI Research and Development Center bersama NVIDIA dan Kinetica pada 2017 lalu. Penelitian dan pemahaman soal AI diharapkan membantu mahasiswa menavigasi karier dan memudahkan kehidupan sehari-hari masyarakat lewat solusi berbasis teknologinya.
Memantik Mahasiswa Berpikir dengan AI
Terpisah, dosen Harvard Graduate School of Education (HGSE) Houman Harouni pada 2023 lalu turut mendukung pelajar memanfaatkan AI di kelas. Alih-alih menghindar dari AI, mantan guru SD dan sekolah menengah ini menilai penting untuk bereksperimen dan berjalan bersama AI dalam pengajaran, dikutip dari laman HGSE.
Dalam proses menerima AI pada pembelajaran, Harouni menyarankan agar pendidik membantu pelajarnya untuk menghadapi realitas keberadaannya. Lalu, kembangkan instrumen dan cara agar pelajar bisa menavigasi penggunaan AI dengan berintegritas.
Lebih dari itu, ia juga menyarankan agar program pendidikan guru hingga program pengembangan profesional mengintegrasikan AI generatif. Dengan begitu, guru maupun tenaga profesional juga paham langkah memanfaatkan AI dengan bijak.
Harouni juga menyarankan pendidik untuk meminta pelajarnya bereksprerimen dengan AI di rumah. Kemudian, minta para pelajar untuk mendokumentasikan pengalaman mereka. Lalu, bagikan pengalamannya di kelas.
Jika menghadapi asisten AI seperti ChatGPT, ia menyarankan agar pendidik mengajarkan pelajarnya cara bertanya, belajar mengkritik pertanyaan, kerangka kerja, dan jawaban mereka sendiri yang dihasilkan oleh AI. Tahap ini memungkinkan mahasiswa memegang kendali dalam penggunaan AI, alih-alih dikendalikan oleh jawaban-jawaban asisten AI.
Ia menggarisbawahi, alat seperti ChatGPT tidak digunakan untuk melanggengkan pelajar mencontek jawaban dari mesin. Asisten AI ini justru menantang guru dan profesor untuk menilai ulang tugas yang mereka berikan pada pelajarnya.
Dalam hal ini, tugas-tugas yang diberikanlah yang harus berubah. Di tengah perkembangan AI, tugas perlu mendorong siswa mempertanyakan, atau berpikir, misalnya saat memecahkan pertanyaan studi kasus.
Harouni sendiri bereksperimen mengajak mahasiswanya di sekolah pascasarjana pendidikan Harvard itu untuk menjawab studi kasus. Jawabannya dibandingkan dengan jawaban ChatGPT.
Meskipun jawabannya mahasiswa tidak lebih baik daripada asisten AI tersebut, menurutnya momen sadar akan kegagalan itu justru membuat mahasiswa terpantik berpikir dan berefleksi.
"Setelah ChatGPT merefleksikan kegagalan imajinasi para mahasiswa, mereka dapat mulai memikirkan opsi-opsi jawaban yang mereka atau penulis bahasa otomatis mana pun tidak akan langsung ambil itu," terangnya.
(twu/nwk)