Remaja Mulai Mengabaikan Perkataan Orang Tuanya pada Usia 13 Tahun, Ini Alasannya

ADVERTISEMENT

Remaja Mulai Mengabaikan Perkataan Orang Tuanya pada Usia 13 Tahun, Ini Alasannya

Siti Nur Salsabilah Silambona - detikEdu
Selasa, 04 Nov 2025 09:30 WIB
Ilustrasi Konflik Anak Remaja dan Orang Tua
Foto: iStock/Ilustrasi Konflik Anak Remaja dan Orang Tua
Jakarta -

Sejak kecil, anak-anak akan merespons dengan cepat suara orang tua. Namun menginjak usia remaja, mereka mulai mengabaikan perkataan orang tua. Apa alasannya?

Sebuah penelitian mengungkapkan, tanda-tanda pembangkangan pada pertumbuhan anak bisa dideteksi sekitar usia 13 tahun. Banyak remaja tampak mulai mengabaikan nasihat atau perkataan orang tuanya.

Meski fenomena ini sering dianggap sebagai tanda pembangkangan, tetapi penelitian menunjukkan alasan biologis di baliknya. Riset yang dilakukan Stanford School of Medicine menemukan bahwa otak remaja memang mengalami perubahan cara dalam merespons suara orang tua, terutama suara ibu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dengan kata lain, menurut peneliti, konflik "anak tidak mau mendengar orang tua" bukan sekadar persoalan sikap, melainkan bagian dari proses tumbuh kembang menuju kemandirian anak.

ADVERTISEMENT

Dari Suara Ibu Menuju Dunia Luar

Dalam studinya, para peneliti melibatkan 46 anak berusia 7-16 tahun. Mereka memindai aktivitas otak anak saat mendengarkan suara ibu dan suara perempuan asing. Hasilnya menunjukkan, anak-anak di bawah 12 tahun masih memiliki respons otak yang sangat kuat terhadap suara ibu, terutama di area pendengaran, emosi, dan sistem penghargaan (reward system).

Namun pada usia 13-14 tahun, respons tersebut berubah. Otak remaja justru lebih aktif saat mendengar suara asing dibanding suara ibu, terutama di area yang berhubungan dengan penilaian sosial seperti nucleus accumbens dan ventromedial prefrontal cortex.

"Ketika anak tumbuh menjadi remaja, otaknya tidak lagi secara otomatis memberi prioritas pada suara orangtua," ujar Dr Daniel Abrams, profesor psikiatri dan perilaku di Stanford Medicine, seperti dikutip dari Stanford Medicine.

"Mereka mulai lebih tertarik pada suara baru, karena secara biologis sedang mencari koneksi sosial di luar rumah," imbuhnya.

Ini berarti, otak remaja secara alami beralih frekuensi dari suara keluarga ke suara lingkungan luar, sebagai bagian dari proses sosialisasi dan pencarian identitas diri.

Menariknya, penelitian ini menemukan bahwa perubahan tersebut tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin. Baik remaja laki-laki maupun perempuan mengalami pola peralihan yang serupa.

Meski begitu, faktor lingkungan seperti kedekatan keluarga, paparan sosial di sekolah, hingga latar budaya dan ekonomi dapat memengaruhi seberapa cepat dan kuat perubahan ini terjadi.

Bukan Pembangkangan, Tapi Sinyal Kemandirian

Peneliti menegaskan bahwa perubahan cara otak merespons suara orang tua bukan berarti remaja menjadi "nakal". Hal itu merupakan bagian alami dari perkembangan neurologis dan psikososial.

Saat remaja mulai membangun identitas dan kemandiriannya, otak mereka memang "diprogram" untuk mencari suara baru, baik dari teman sebaya, guru, maupun figur inspiratif lain di luar rumah.

"Ini adalah langkah alami agar anak-anak mampu terhubung dengan dunia di luar keluarga," ujar Dr Vinod Menon, salah satu penulis utama studi tersebut.

"Otak mereka sedang disiapkan untuk berinteraksi dengan lingkungan sosial yang lebih luas,' tambahnya.

Apa Artinya bagi Orang Tua dan Para Guru?

Bagi orang tua, perubahan ini kadang terasa menyakitkan, melihat anak yang dulu mendengarkan setiap kata kini tampak cuek atau sulit diajak bicara. Namun, pemahaman ilmiah ini bisa menjadi jembatan untuk komunikasi yang lebih baik.

Alih-alih frustrasi karena merasa diabaikan, orang tua bisa menyesuaikan cara berkomunikasi. Misalnya dengan:

1. Menggunakan pendekatan yang melibatkan figur sebaya seperti guru, mentor, atau teman yang dipercaya anak.
2. Membangun komunikasi berbasis dialog dua arah, bukan sekadar instruksi.
3. Mengakui bahwa remaja sedang melalui fase kemandirian yang sehat, bukan memberontak.

Sementara bagi remaja, memahami bahwa perasaan lebih mendengar teman daripada orang tua adalah bagian normal dari tumbuh dewasa. Menurut peneliti, perubahan ini dapat membantu mereka untuk bisa menjaga hubungan keluarga tetap harmonis.




(faz/faz)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads