Langkah Menyusun Artikel Sains yang Baik dan Menarik Ala Jurnalisme Sains

Trisna Wulandari - detikEdu
Senin, 03 Nov 2025 06:00 WIB
Artikel sains penting untuk menyampaikan hasil penelitian ke publik. Namun, penyederhanaan berlebihan demi menarik pembaca bisa membuat isi artikel keliru. Foto: Unsplash/Glenn Carstens-Peters
Jakarta -

Artikel sains di media punya peran dalam menyampaikan penelitian ilmiah terbaru ke dalam bahasa yang bisa dipahami publik. Lewat produk jurnalisme sains tersebut, warga bisa tahu info tentang isu-isu yang penting bagi hidupnya sehari-hari, mulai dari isu kesehatan sampai lingkungan.

Sayangnya, media terkadang masih kesulitan menyederhanakan temuan penelitian dengan benar. Contohnya, penyederhanaan berlebihan seperti pada judul artikel 'ilmuwan menemukan obat kanker', atau 'lapisan ozon sedang pulih' diniatkan untuk menarik perhatian pembaca. Namun, judul ini berisiko salah menggambarkan isi penelitian yang sebenarnya lebih kompleks.

Hal tersebut disampaikan Sibel Erduran, profesor Pendidikan Sains dan Direktur Penelitian di Universitas Oxford, Inggris, dalam jurnal Science (2025).

Erduran menambahkan, judul artikel sains tersebut bisa jadi tidak dibuat oleh jurnalisnya sendiri. Orang lain di media tersebut bisa mengganti judulnya dengan niat marketing; agar artikelnya lebih menarik klik pembaca.

"Terlepas apapun itu, penyederhanaan berlebihan berisiko menimbulkan salah paham tentang bagaimana sains bekerja, yang kemudian berkembang menjadi keliru memahami sains," tulisnya dalam studi berjudul 'Beyond misalignment of science in the news and in schools', dipublikasi Januari 2025.

Ia menambahkan, tekanan untuk menulis berita dengan cepat di masa kini berisiko memicu masalah.

"Di era berita yang berkembang pesat, tekanan untuk menerbitkan berita dengan cepat dapat mengakibatkan penyebaran informasi yang tidak lengkap atau tidak akurat," tuturnya.

Lantas, bagaimana langkah menulis artikel sains yang baik dan menarik dengan mempraktikkan jurnalisme sains?

Langkah Menyusun Artikel Sains yang Baik dan Menarik

Managing Editor The Conversation Indonesia (TCID), Robby Irfany Maqoma, menjelaskan bagaimana awak media bisa mempraktikkan jurnalisme sains dalam bertugas. Sebab, menurut studi, kepercayaan masyarakat terhadap ilmuwan masih tinggi.

Hasil penelitian Viktoria Cologna dan rekan-rekan dalam jurnal Nature Human Behaviour berjudul Trust in Scientist and Their Role in Society Across 68 Countries, 20 Januari 2025, menunjukkan temuan tersebut. Di Indonesia sendiri, masyarakat terutama berharap penelitian yang diangkat menyentuh topik kesehatan, energi, kemiskinan, dan militer.

Sebanyak 84% responden juga setuju ilmuwan harus mendekat ke publik, bukan ke politisi (12%). Para responden juga menilai nilai-nilai keagamaan tidak serta-merta berseberangan dengan penerimaan pada sains.

Robby mengakui, di sisi lain, masih ada tantangan ketidakpercayaan peneliti pada jurnalis lantaran hasil tulisan di media dapat berbeda dengan penjelasannya, yang juga bisa berdampak pada institusi asal dan pendana penelitiannya. Di samping itu, ada pula tantangan kurangnya pelatihan public speaking dan kehumasan bagi peneliti untuk menyebarkan hasil studinya.

"Namun, penting untuk menjadikan ilmuwan sebagai narasumber karena kepercayaan pada ilmuwan masih tinggi," ucapnya.

Untuk itu, Robby memberikan sejumlah tips menyusun artikel sains yang menarik, lengkap dengan pelibatan ilmuwan. Simak di bawah ini.

Sains Dulu, Lanjut Story

Cara kerja jurnalisme konvensional biasanya mendahulukan liputan lapangan untuk melaporkan story. Kemudian, barulah jurnalis mewawancarai ahli dan mencari temuan riset dan data ilmuwan untuk melengkapi kisah di lapangan.

Pada jurnalisme sains, posisinya dibalik. Temuan riset atau informasi dari ilmuwan didahulukan dalam kerja. Lalu, baru lakukan konfirmasi dan peliputan lapangan untuk mengumpulkan story.

Robby menjelaskan, pada karya ilmiah, bukti sains dengan kualitas tertinggi yakni systematic review. Posisi ini disusul meta-analysis.

Jenjang kedua secara berurutan yakni randomized controlled trial (RCT), cohort study, case control study, kemudian case report. Jenjang di bawahnya yakni opini ahli atau informasi latar.

Studi dan Verifikasi Dokumen

Mulai studi dan memverifikasi dokumen secara intensif, baik dari akademisi maupun sumber lainnya. Contohnya dari platform penerbit kampus maupun jurnal independen, Google Scholar, Researchgate, dan platform lain seperti SciSpace.

Ia menambahkan, Arxiv yang menyimpan pre-print articles juga bisa dimanfaatkan. Begitu juga dengan Research Square.

Jika dokumen terkunci atau terhalang paywall, alias harus membayar, lakukan pembayaran jika memang ada dananya. Besarannya beragam, mulai dari USD 20-40, umumnya sekitar USD 40 (Rp 666 ribu).

Namun, jika tidak ada dana, kontak penelitinya.

"Biasanya dikasih, karena mereka ingin studinya dibaca," tuturnya dalam pada Saintek Media Bootcamp: Memperkuat Literasi Sains Lewat Jurnalisme di Grha Kemdiktisaintek, Jl Pintu Satu Senayan, Jakarta, Jumat (31/10/2025).

"Nilai beritanya tinggi, asal mau studi dokumen," imbuhnya.

Ia mengakui ada tantangan jurnal bermasalah di RI. Untuk memverifikasinya, gunakan laman SINTA Journals untuk cek peringkat jurnal dengan mengisikan nama jurnal. Ada peringkat S1-S6, dengan yang tertinggi yakni S1.

"Biasanya di TCID, kita sampai SINTA 3. SINTA 4-5, kita periksa lagi jurnalnya. Baru lihat isi karya ilmiahnya," ucapnya.

Sementara itu, verifikasi jurnal internasional dapat dilakukan melalui laman ScimagoJR (SJR). Isikan nama jurnal pada SJR, lalu cek peringkat.

"Ada Q1-S4, biasanya TCID pakai Q1-Q2," ucapnya.

Jurnalis juga bisa memanfaatkan situs PubPeer mengecek hasil studi. Ia menjelaskan, platform ini memiliki fitur berbagai catatan. Peneliti lain bisa menggunakannya untuk mendiskusikan dan menunjukkan kekeliruan atau inkonsistensi pada isi artikel ilmiah yang sedang jurnalis verifikasi.

"Kalau ada contradictions, kita bisa tanyakan ke peneliti dan expert lain," kata Robby.


Jurnal predator juga bisa dicek melalui situs Beall's List. Pengecekan di database ini memastikan hasil studi yang ingin didiseminasikan lewat artikel sains benar dan tidak masuk jurnal predator.

"Kalau masuk, saran saya jangan pakai," ucapnya.

Verifikasi Hal-Hal Prioritas

Ia menjelaskan, dalam verifikasi sebuah karya ilmiah, ada hal-hal yang prioritas diperiksa, yakni kejelasan metodologi dan sampling, pendanaan riset dan konflik kepentingan, serta integritas karya ilmiah serta penerbitnya.

Lebih lanjut, periksa juga waktu penelitian. Sebuah studi bisa jadi memakai data 2022, lalu karya ilmiahnya dikirimkan pada 2023, dan baru dipublikasi pada 2024 atau 2025. Mengingat nilai kebaruan memengaruhi relevansi hasil studi, khususnya di media, maka tahap pemeriksaan ini perlu dilakukan.

Kemudian, periksa juga kedekatan periset dengan objek penelitian. Robby menjelaskan, ada praktik helicopter research di dunia penelitian, yang biasanya dilakukan peneliti negara maju saat mengambil data dari negara berkembang. Mereka menganalisis sendiri data tersebut tanpa bekerja sama dengan peneliti atau negara tempat penelitian tersebut dilakukan.

"Misalnya data hutan Indonesia, itu (analisisnya) nggak kerja sama sama peneliti hutan Indonesia," ucapnya.

Mengantisipasi hal ini, ia mengatakan jurnalis dapat menggunakan penelitian yang sudah ada di Indonesia.

"Karena kedekatan ini penting, supaya bener-bener melihat, memastikan, si penelitiannya itu turun ke lapangan atau nggak; mereka memahami data yang mereka pegang atau nggak," imbuhnya.

Pada ulasan riset, formula 5W + 1H terdiri dari konteks masalah (why), siapa penelitinya (who), di jurnal apa risetnya terbit (where), judul jurnal/judul riset beserta temuannya (what), kapan penelitiannya dan kapan jurnalnya terbit (when), serta bagaimana metodenya (how).

Tindak lanjuti (follow up) informasi sains dari ahli maupun siaran pers sampai komponen di atas jelas dan lengkap. Kemudian, tuliskan dengan bahasa yang sederhana tapi akurat.

Saat menulis, gunakan struktur naratif atau bercerita agar pembaca tertarik. Robby mengatakan, 'bumbui' riset yang berskala luas dengan latar cerita yang kuat. Contohnya yakni pada karya ilmiah bertopik transportasi daring yang menggunakan data se-Indonesia, tulis latar kisah masalahnya yang ditemukan di lapangan.

"Wawancara ojol: pengemudi, pengguna; dibandingkan dengan data dari riset," tuturnya.

Kemudian, lengkapi dengan temuan riset-riset terkait, serta pandangan ahli pada bidang yang relevan. Alih-alih sekadar menampilkan bad news, tawarkan juga jurnalisme solusi. Ia mengatakan, cerita yang lengkap dan berdampak bisa memancing riset berikutnya.

"Ini efek bola salju yang bisa kita lakukan, memancing riset berikutnya, ada pendanaan yang berkelanjutan buat scientist. Ini kontribusi kita buat scientist dan sains," tuturnya.



Simak Video "Cara Natasha Rizky Hadapi 'Stuck' Saat Nulis"

(twu/nwk)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork