Pembahasan diskriminasi ilmuwan belakangan kembali mengemuka di media sosial dan hasil studi. Salah satunya menyorot bagaimana penerbit jurnal dari negara maju menolak kiriman paper saat peneliti diketahui berasal dari institusi negara berkembang atau dari kelompok minoritas.
Peneliti Francisco JimΓ©nez-Trejo mengungkap, beberapa jurnal papan atas membahas rasisme ilmiah sistemik. Salah satunya terlihat dari kesenjangan penulisan studi antara negara-negara berpenghasilan rendang dan negara berpenghasilan tinggi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam jurnal The Lancet Regional Health - America (2025), mereka juga menyorot adanya kesenjangan pendanaan penelitian terhadap ilmuwan kulit putih dan ilmuwan Afrika-Amerika. Ulasan mereka tentang rasisme ilmiah ini dipublikasi dengan judul Scientific racism as a public health emergency of global concern.
Sementara itu, peneliti Kathomi Gatwiri dan rekan-rekan dalam jurnal Sociology Compass (2025) mengungkapkan, tulisan karya peneliti yang bekerja dari perspektif budaya, teori, dan politik yang terpinggirkan kerap mengalami rasisme. Pengalaman ini khususnya dialami akademisi Afrika-Amerika atau orang asli (masyarakat adat).
Temuan tersebut diperoleh peneliti dari wawancara mendalam dengan 23 akademisi dari 14 universitas berbeda di Australia, mulai dari peneliti di jenjang awal karier hingga peneliti senior. Mereka merupakan peneliti asal ras dan budaya minoritas yang tersebar pada berbagai disiplin ilmu.
Peneliti Kena Rasisme
Salah satu rasisme Eurosentris tersebut terjadi melalui sistem tinjauan sejawat (peer review). Para peneliti responden mengungkap, feedback yang mereka antara lain kasar atau destruktif.
Billy, salah satu responden, menuturkan pengalamannya saat mengirim ulasan ke Medical Journal of Australia atas karya yang menurutnya rasis. Tulisannya ditolak, tetapi kemudian mengajukan banding atas permintaan editor.
"Tanggapan yang saya terima adalah, 'Kami menolak banyak kiriman. Kami tidak berutang penjelasan kepada siapa pun'. Itu saja," jelasnya dalam artikel Maintaining Standards or Gatekeeping the Academy? Reflections of Peer Review Experiences by Racially and Culturally Minoritized Scholars in Australia, dipublikasi 22 Agustus 2025.
"Bagi saya, ada sesuatu di dalamnya. Kami tidak ingin dihadapkan dengan rasisme dalam profesi medis," imbuhnya.
Billy menuturkan, cara rasis yang dilakukan kadang terang-terangan, tetapi juga kadang secara halus. Bentuk lainnya yakni menuntut peneliti minoritas untuk bekerja ekstra untuk merevisi relevansi karya mereka.
Masalah Tinjauan Sejawat
Dijelaskan peneliti, tinjauan sejawat merupakan bagian dari model penerbitan akademis Barat. Tahap ini dinilai sebagai latihan formal untuk mempertahankan standar dan kualitas penelitian serta pengetahuan.
Pada tahap tinjauan sejawat, mereka yang meninjau bertugas memvalidasi penelitian, mengevaluasi karya ilmiah, dan meningkatkan ketelitian penelitian yang sedang diproduksi. Namun, pekerja yang tidak dibayar ini berisiko bias, subjektif, tidak konsisten, dan mengkritik dengan tidak adil. Masalahnya, risiko ini terkadang dinormalisasi dalam tahap tinjauan peer review.
Melawan Sistem yang Rasis
Menghadapi rasisme yang mereka alami, peneliti responden di antaranya menyesuaikan diri dan menyiasasi norma kaku industri publikasi ilmiah. Angela, contohnya, memilih menerima jumlah publikasinya lebih sedikit daripada tidak berkualitas.
"Saya belum cukup banyak menerbitkan karya dalam beberapa tahun terakhir. Karya yang saya hasilkan tidak akan masuk ke jurnal berdampak tinggi yang, ketika mereka melihat peringkatnya, akan masuk ke jurnal niche," kata Angela.
"Saya tidak akan mengubah apa pun sekarang. Saya lebih suka meninggalkan dunia akademis daripada menjadi sesuatu yang tidak saya sukai atau bermain-main dengannya," imbuhnya.
Peneliti juga menemukan responden yang melawan hegemoni peer review dengan mengajukan pertanyaan provokatif kepada reviewer. Ada juga yang bertindak sebagai reviewer yang suportif dan kolaboratif, menanggapi editor sebagai lawan bicara, dan menulis dengan cara yang menantang templat standar penulisan akademis.
Media Merespons Bias pada Penerbitan Ilmiah
Managing Editor The Conversation Indonesia, Robby Irfany Maqoma, mengatakan juga menemui adanya bias pada jurnal-jurnal ilmiah. Ia menuturkan, sejumlah ilmuwan juga coba menyiasati hal ini agar studinya dapat dipublikasi.
"Menganggap negara berkembang ini tidak kompeten, bias-bias itu selalu ada," tuturnya pada Saintek Media Bootcamp: Memperkuat Literasi Sains Lewat Jurnalisme di Grha Kemdiktisaintek, Jl Pintu Satu Senayan, Jakarta, Jumat (31/10/2025).
"Dan betul itu terjadi. Di Indonesia, teman-teman peneliti juga sering bercerita bahwa mereka itu kesusahan. Maka harus memakai afiliasi luar negeri, bahkan ada yang rela jadi visiting scholar walaupun tidak punya waktu demi memuluskan artikel mereka bisa terbit di jurnal bergengsi," imbuhnya.
Kendati demikian, Robby mengatakan gerakan melawan juga berkembang di dalam negeri, termasuk dari redaksi media. Upaya ini didukung kualitas sejumlah jurnal Indonesia yang sudah baik.
"Ketika ada suatu penemuan, kita akan periksa dulu yang di Indonesia itu ada atau tidak. Biasanya, sepanjang metodenya bagus, transparan, kita akan pakai dari Indonesianya dulu, bukan dari luar, sepanjang itu relevan," tuturnya mencontohkan.
"Karena kita tidak mungkin cuma pakai satu jurnal sebagai satu bukti. Biasanya kita akan mencari jurnal-jurnal lain yang memang relevan. Dan kami selalu mengusahakan, usahakan supaya tidak dari satu jurnal saja. Jadi dibandingkan dengan jurnal yang lain bukan semata-mata pertimbangan bias itu saja, tetapi meragamkan narasumbernya," imbuhnya.
Ia mengibaratkan, pada hukum, satu artikel ilmiah sama halnya dengan satu bukti atau satu saksi. Butuh beberapa bukti dan saksi agar menjadi kuat.
"Jadi kita dudukkan setara saja di antara jurnal-jurnal kredibel di Indonesia. Kalau belum ada yang lain, kita tahan," ucapnya.
(twu/pal)











































