Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada Februari 2025 lalu menunjukkan bahwa porsi pekerja sektor informal di Indonesia mencapai 59,4%. Menurut pakar UGM, tingginya angka pekerja sektor informal berkaitan dengan kemiskinan struktural di Tanah Air.
"Perlu dicatat, bahwa salah satu pilar pengentasan kemiskinan adalah active labor policy atau memberikan pekerjaan yang baik dan layak. Saya menekankan bahwa meskipun angka pengangguran terbuka mungkin rendah, yaitu kurang dari 5% banyak pekerja tetap berada dalam kondisi underemployment atau pekerjaan informal yang tidak memiliki jam kerja yang memadai," ungkap WisnuSetiadiNugroho selaku Ekonom UGM dalam laman UGM dikutip Jumat (31/10/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Gelombang PHK di sektor manufaktur dan jasa mendorong para pekerja beralih ke sektor informal. Tak hanya itu, banyak lulusan sarjana dan pekerja yang terpaksa beralih ke sektor informal karena pilihan terbatas. Menurut Wisnu, fenomena tersebut menjadi semacam "pelampung" bagi angkatan kerja yang tidak terserap oleh sektor formal.
"Jadi saya menilai bahwa kemiskinan struktural dan keterbatasan lapangan kerja formal adalah bagian penting dari permasalahan ini," katanya.
Menurut Wisnu, kurangnya tingkat penyerapan tenaga kerja formal yang memadai, penurunan jam kerja penuh, dan pertumbuhan usaha rumah tangga menjadi pokok utama dari kasus ini. Ia mencontohkan sebanyak 80% lapangan kerja baru antara 2018-2024 yang muncul di usaha rumah tangga informal.
Solusi Bukan dengan Menambah Lapangan Kerja
Lulusan Colorado State University itu memiliki beberapa saran yang dapat diupayakan pemerintah, yakni:
1. Fokus pada kualitas pekerjaan, bukan hanya kuantitas.
2. Mendorong formalitas dan transisi dari informal ke formal atau menerapkan skema insentif agar usaha informal dapat naik kelas
3. Mendorong pengembangan sektor produktif, seperti industrialisasi yang menyerap banyak tenaga kerja
4. Meningkatkan kapasitas tenaga kerja
Tidak hanya itu, Wisnu menegaskan bahwa upaya meningkatkan produktivitas tenaga kerja dan kapasitas usaha juga penting untuk dilakukan. Hal ini penting untuk menghindari jebakan 'skill trap'.
"Memperkuat sistem pelatihan vokasi, magang, dan link and match antara pendidikan dan kebutuhan industri agar lulusan memiliki kompetensi yang dibutuhkan," pungkasnya.
(nir/pal)








































.webp)













 
             
             
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
 