Sebanyak 15,9 juta anak Indonesia ditemukan tumbuh tanpa sosok ayah atau fatherless. Hal ini menjadi perhatian khusus dari masyarakat, terutama ahli di bidang psikologi.
Perlu diketahui jika istilah ini bukan berarti anak tidak memiliki figur ayah dalam keluarga. Dalam beberapa kasus, ayah bisa hadir secara fisik namun tidak secara emosional dalam proses pertumbuhan anak.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dilansir dari Kompas yang mengolah data Mikro Survei Sosial Ekonomi Nasional Badan Pusat Statistik (Susenas BPS) Maret 2024, anak Indonesia yang fatherless ini setara 20,1 persen dari total 79,4 juta anak berusia kurang dari 18 tahun.
Dari 15,9 juta anak fatherless, 4,4 juta anak tinggal di keluarga tanpa ayah. Sementara itu, 11,5 juta anak lain tinggal bersama ayah dengan jam kerja lebih dari 60 jam per minggu atau lebih dari 12 jam per hari.
Dekan Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, Dr Rahmat Hidayat, mengatakan jika ketidakhadiran figur ayah dalam keluarga berdampak pada perkembangan anak meliputi aspek psikologis hingga aspek sosial.
Fatherless Bisa Pengaruhi Rasa Percaya Diri Anak
Ia menilai ketiadaan figur ayah bisa mempengaruhi pembentukan rasa percaya diri, hingga kesulitan dalam membentuk identitas diri. Menurutnya, ketidakhadiran ayah ini akibat pekerjaan yang menuntut mobilitas tinggi.
"Banyak keluarga masa sekarang yang mengalami ketidakhadiran ayah karena faktor pekerjaan yang menuntut mobilitas tinggi. Namun, kehadiran ayah tetap dibutuhkan untuk mendukung perkembangan emosional dan sosial anak," paparnya dalam laman UGM dikutip Kamis (16/10/2025).
Rahmat mengatakan, terdapat tiga proses utama pembelajaran dalam perjalanan tumbuh kembang seorang anak yakni observasional, behavioral dan kognitif. Ketiganya membutuhkan sosok kehadiran peran ayah sebagai role model dalam mendukung perkembangan emosional.
Ia menjelaskan, ketidakhadiran ayah secara emosional maupun fisik menyebabkan anak kehilangan sosok model perilaku utama baik dalam pengendalian diri, kedisiplinan, interaksi sosial, serta sikap bertanggung jawab.
Minta Pemerintah Turun Tangan
Menurutnya, perlu adanya peran aktif pemerintah dalam mengatasi fenomena fatherless ini. Salah satunya edukasi mengenai pendidikan pranikah pada calon pasangan agar siap menjalani tanggung jawab sebagai orangtua.
Rahmat menyoroti pendekatan yang lebih sistemik dan intensif dalam berjalannya program pranikah agar tidak semata hanya berhenti pada kegiatan formalitas dalam memenuhi proses administratif saja.
"Edukasi peran dalam menghadapi pernikahan harus menjadi bagian penting sebelum membangun komitmen berkeluarga, karena seringkali kita menganggap pernikahan sebagai hal alami, padahal itu dunia baru yang menuntut kesiapan psikologis dan pemahaman peran antara ayah dan ibu." jelasnya.
Disamping itu, Rahmat menilai pemerintah juga perlu melakukan pemerataan lapangan pekerjaan pada daerah di luar Jawa. Menurutnya, keadaan tersebut tidak dapat disalahkan sepenuhnya oleh individu atau keluarga, melainkan karena adanya ketimpangan ekonomi dan kesempatan kerja.
(nir/nwk)











































