Nama Hasto Kristiyanto dan Tom Lembong sempat jadi sorotan publik pada Juli 2025. Keduanya menerima pengampunan negara berupa abolisi dan amnesti. Apa sebenarnya arti abolisi dalam hukum Indonesia?
Istilah abolisi memang tidak sepopuler grasi atau amnesti. Namun, dalam sistem hukum Indonesia, abolisi berperan penting sebagai salah satu hak prerogatif Presiden.
Sepanjang sejarah, kebijakan ini pernah dipakai untuk menyelesaikan konflik politik hingga kasus yang melibatkan tokoh nasional.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Apa Itu Abolisi dan Bedanya dengan Amnesti
Abolisi berasal dari kata bahasa Latin yakni abolitio. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) abolisi adalah penghapusan penuntutan pidana yang diberikan oleh seorang presiden.
Ketika abolisi diberikan, proses hukum terhadap seseorang langsung dihentikan sehingga perkara dianggap selesai. Abolisi dapat menghentikan penuntutan sejak awal, sebelum putusan pengadilan dijalankan.
Hal ini berbeda dengan amnesti. Amnesti berlaku setelah ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dan menghapuskan seluruh akibat hukumnya.
Amnesti sendiri berasal dari kata bahasa Yunani, amnestia, yang artinya melupakan. Pemberian amnesti dilakukan sebagai bentuk menghapuskan pidana yang telah dilakukan.
Amnesti bisa diberikan baik sebelum diadili maupun saat menjalani pemidanaan. Pemberian amnesti biasanya didasarkan alasan kasih, politik, yuridis, dan bahkan seremonial.
Dalam Naskah Akademik RUU Grasi, Amnesti, Abolisi, dan Rehabilitasi (GAAR), disebutkan bahwa abolisi diberikan "untuk alasan kepentingan negara antara lain pertahanan dan keamanan, keutuhan wilayah negara, kemanusiaan, serta perdamaian."
Dasar Hukum Abolisi
1. UUD 1945 Pasal 14 ayat (2): Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan pertimbangan DPR.
2. UU Darurat No. 11 Tahun 1954: Presiden bisa memberi abolisi atas dasar kepentingan negara. Pasal 4 menegaskan: "Dengan pemberian abolisi, penuntutan ditiadakan."
3. Keputusan Presiden (Keppres): jadi bentuk hukum resmi pemberian abolisi.
4. RUU GAAR (2022): pemerintah menyiapkan aturan baru agar abolisi lebih jelas dan transparan. RUU ini diharapkan memberi kepastian hukum, kejelasan mekanisme, serta batasan jelas agar abolisi tidak disalahgunakan untuk kepentingan politik sesaat.
Mekanisme Pemberian Abolisi
Secara garis besar, mekanisme abolisi meliputi beberapa tahap.
- Permohonan biasanya diajukan oleh pihak terpidana, keluarga, atau kuasa hukumnya kepada presiden melalui Menteri Hukum dan HAM.
- Selanjutnya, Menteri Hukum meminta nasihat tertulis dari Mahkamah Agung untuk menilai aspek yuridis dari permohonan tersebut.
- Presiden kemudian menimbang masukan tersebut serta pertimbangan politik dari DPR
- Sebelum akhirnya mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) yang berisi pengabulan atau penolakan abolisi.
Contoh Pemberian Abolisi di Indonesia
1. Konflik RI-Belanda (1954)
UU Darurat No. 11/1954 memberi abolisi bagi mereka yang terlibat persengketaan politik sebelum pengakuan kedaulatan 1949.
2. Perdamaian Aceh (2005)
Presiden SBY mengeluarkan Keppres No. 22/2005 tentang amnesti umum dan abolisi bagi anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Ini jadi bagian penting perjanjian damai Helsinki.
3. Kasus Hasto dan Tom Lembong
Dikutip dari Lex Jurnalica Volume 22 Nomor 2, Agustus 2025, Presiden Prabowo memberi amnesti kepada Hasto Kristiyanto (kasus suap KPU) dan abolisi kepada Tom Lembong (kasus impor gula). Amnesti menghapus hukuman Hasto 3,5 tahun penjara. Abolisi menghentikan penuntutan Tom yang divonis 4,5 tahun.
Kebijakan ini menimbulkan kontroversi karena dinilai bisa melemahkan independensi peradilan dan menurunkan kepercayaan publik.
Pro dan Kontra Abolisi
Dalam sejarahnya, abolisi terbukti membantu meredam konflik, baik dalam konteks politik maupun keamanan negara. Namun, di sisi lain, abolisi juga dianggap berpotensi menimbulkan moral hazard.
Pejabat publik bisa merasa terlindungi dari jerat hukum, sementara masyarakat menilai adanya perlakuan istimewa bagi tokoh tertentu.
Banyak ahli hukum menekankan bahwa abolisi sebaiknya tidak diberikan untuk tindak pidana serius seperti korupsi, kejahatan HAM berat, genosida, atau kejahatan perang. Selain itu, pemberian abolisi harus dilakukan secara transparan, objektif, dan proporsional agar sejalan dengan prinsip negara hukum demokratis.
Abolisi menjadi salah satu instrumen hukum yang unik. Karena bisa menjadi jalan damai dan rekonsiliasi, tetapi juga rawan disalahgunakan jika tidak diatur dengan baik.
Sejarah Indonesia menunjukkan bagaimana abolisi bisa dipakai untuk menyatukan bangsa, tetapi juga memunculkan polemik ketika diterapkan pada kasus korupsi. Dalam hal ini, transparansi dan objektivitas menjadi kunci agar kewenangan presiden dalam memberikan abolisi berjalan sesuai kepentingan negara, bukan sekadar kepentingan politik.
*Penulis adalah peserta magang Program PRIMA Magang PTKI Kementerian Agama
(faz/faz)