Sebanyak 157 dari total 193 negara anggota PBB telah mengakui Palestina. Angka ini setara dengan 81% negara anggota PBB. Dengan pengakuan ini, negara-negara tersebut menjalin hubungan diplomatik resmi dengan Otoritas Palestina.
Hal tersebut disampaikan Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (UGM) Drs Muhadi Sugiono, MA dalam laman kampus, dikutip Jumat (26/9/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Muhadi mengatakan, pengakuan terhadap sebuah negara merupakan salah satu unsur penting dalam hukum internasional terkait dengan berdirinya negara.
Ia menjelaskan, berdasarkan Konvensi Montevideo 1933, empat kriteria dan definisi standar sebuah negara yakni memiliki populasi permanen, batas-batas teritorial yang jelas, pemerintah, dan kemampuan menjalin hubungan atau kerja sama dengan negara lain.
"Pengakuan resmi bisa diberikan jika kriteria-kriteria itu dipenuhi oleh negara yang akan berdiri," ucapnya.
Bisa Menjadi Anggota Penuh PBB
Pengakuan dari negara Barat dan Eropa menurutnya juga memungkinkan Palestina mendaftarkan diri sebagai full member (anggota penuh) PBB. Hal ini akan turut mendukung hak, kewajiban, dan posisi Palestina di forum internasional seperti PBB.
"Dengan menjadi full member of the United Nations, maka semua hak dan semua kewajiban itu kemudian bisa didapatkan negara yang baru itu," ucapnya.
Disampaikan juga Amerika Serikat sebagai negara yang memberikan dukungan terhadap Israel saat ini perlahan mulai melunak dengan adanya upaya mengumpulkan negara-negara Islam beberapa waktu lalu termasuk Indonesia.
Dalam pertemuan diajukan proposal yang salah satunya terkait siapa yang akan mengisi wilayah konflik ini apabila diberikan pengakuan dan Israel harus menarik diri dari wilayah itu.
"Nah artinya kalau dilihat dari sisi ini, Amerika sendiri sebenarnya sudah mulai gusar ya, dengan sikapnya itu dan dia mulai galau, mulai ragu-ragu dengan sikapnya itu", ungkap Muhadi.
State Building
Muhadi menambahkan, pengakuan negara-negara lain dan bergabungnya Palestina sebagai anggota PBB menimbulkan konsekuensi untuk masuk dalam program PBB, termasuk state building. Dalam hal ini, Palestina menjalani pembangunan aparatur negara yang ditentukan oleh otoritas yang sah di wilayahnya.
State building didasarkan pada gagasan bahwa ketertiban dan stabilitas merupakan fondasi perdamaian, yang diperlukan untuk menjalankan negara yang berwibawa dan efektif.
Ia berpendapat, saat Palestina mulai terintegrasi dengan sistem nasional, negara ini perlu memastikan punya kontrol atas wilayahnya sendiri, termasuk kelompok-kelompok bersenjata yang ada di dalamnya seperti Hamas. Hal ini terlepas dari apakah kelompok-kelompok tersebut dilibatkan atau tidak dalam proses-proses penyiapan negara.
Kendati demikian, ia menilai proses ke depannya kemungkinan besar akan mengubah konstelasi negara Palestina.
"Memang ada pemerintah pendudukan Palestina itu, tetapi kan kemudian ada kelompok-kelompok yang berjuang sendiri, termasuk Hamas dan sebagainya. Bagaimana kelompok-kelompok itu kemudian bisa bersatu, disatukan dalam sebuah institusi yang namanya negara Palestina", ucapnya.
(twu/nwk)











































