Pakar IPB Ungkap Bahaya Remaja Curhat ke AI: Bisa Bikin Ketergantungan!

ADVERTISEMENT

Pakar IPB Ungkap Bahaya Remaja Curhat ke AI: Bisa Bikin Ketergantungan!

Nikita Rosa - detikEdu
Jumat, 26 Sep 2025 10:29 WIB
London, UK - 05 03 2025: Apple iPhone screen with Artificial Intelligence icons internet AI app application ChatGPT, DeepSeek, Gemini, Copilot, Grok, Claude, etc.
Logo Chatbot AI. (Foto: Getty Images/alexsl)
Jakarta -

Curhat ke chatbot Artificial Intelligence (AI) di kalangan remaja bukanlah hal yang jarang. Kendati demikian, pakar IPB University mengingatkan dampak negatif yang bisa muncul.

Kepala Pusat Kajian Gender dan Anak (PKGA) IPB University, Dr Yulina Eva Riany, menegaskan jika tren ini perlu dipahami secara kritis karena menyimpan peluang sekaligus tantangan. Jika melihat dari kacamata remaja, Dr Yulina berpendapat jika AI dianggap netral dan tidak menghakimi.

"Mereka merasa lebih aman mengungkapkan perasaan tanpa takut dimarahi, disalahkan, atau diejek," jelas Dr Yulina dalam laman IPB University, Kamis (25/9/2025).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Selain itu, ketersediaan AI selama 24 jam membuatnya seolah menjadi 'teman virtual alami' bagi generasi Z dan Alpha.

Dampak Bahaya Curhat ke AI

Namun, di balik sisi positif sebagai penyalur emosi, fenomena ini mencerminkan adanya kesenjangan komunikasi antara remaja dengan orang tua dan jejaring sosialnya. Jika tidak dikelola dengan baik, curhat ke AI dapat menimbulkan risiko serius.

ADVERTISEMENT

"Remaja bisa saja mengalami kebocoran data pribadi karena interaksi mereka tersimpan di server penyedia layanan AI," ujarnya.

Ketergantungan emosional juga dapat muncul dari fenomena ini. Selain itu, AI yang selalu memberi respons instan membuat remaja kurang belajar mengelola frustasi, menunggu, atau bernegosiasi dengan orang lain.

"Keterampilan empati, membaca ekspresi wajah, dan komunikasi nyata bisa tereduksi jika semua curhat digantikan AI," tambahnya.

Peran Orang Tua dan Sekolah

Dr Yuliana menekankan pentingnya peran orang tua dan sekolah. Orang tua perlu membangun komunikasi dua arah, mendengarkan tanpa menghakimi, dan memberikan literasi digital tentang risiko berbagi data pribadi.

"Sesekali tanyakan kepada anak, dengan cara suportif, apa yang ia bicarakan dengan AI. Pendampingan aktif ini krusial agar remaja tidak salah langkah," tuturnya.

Sekolah juga didorong untuk melakukan integrasi literasi digital dan emosional dalam kurikulum. Guru bimbingan konseling (BK) juga perlu memahami fenomena ini agar remaja tetap nyaman berbicara dengan manusia.

"Sekolah dapat membentuk peer support system, yakni kelompok teman sebaya terlatih untuk mendengarkan. Dengan begitu, remaja tidak hanya bergantung pada AI," jelasnya.

Dr Yulina menilai fenomena curhat ke AI harus dijadikan momentum memperkuat komunikasi sehat dalam keluarga dan lingkungan sekolah. Terakhir, ia menyarankan agar platform AI bisa menerapkan moderasi konten ketat, transparansi data, serta safeguard otomatis untuk merespons kata kunci berbahaya.

"AI sebaiknya diposisikan sebagai pendamping, bukan pengganti psikolog atau konselor. AI hanyalah alat, bukan pengganti relasi manusia," pungkasnya.




(nir/nwk)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads