Penggunaan angka-angka statistik kerap dijadikan sekadar kosmetik untuk menampilkan citra positif pembangunan. Padahal, realitas di lapangan yang dirasakan masyarakat sehari-hari sering kali jauh berbeda dengan narasi angka tersebut.
Hal tersebut dikemukakan peneliti senior Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI), Teguh Dartanto, PhD. Ia menilai ketidakselarasan tersebut menjadi pemicu gelombang unjuk rasa masyarakat.
"Banyak angka-angka statistik itu menjadi sebuah kosmetik. Artinya, antara angka dan rasa yang dirasakan masyarakat itu berbeda. Ketika angka dan rasa tidak lagi sama, yang terjadi adalah unjuk rasa," ujar Teguh dalam siniar YouTube LPEM FEB UI bertajuk "Membaca Akar Resah: Statistik Kosmetik, Program Populis, hingga Minimnya Empati", dikutip Kamis (4/9/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mantan Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI itu mencontohkan, pemerintah sering membanggakan angka pengangguran yang turun, tetapi tidak pernah melihat lebih mendalam.
Teguh menyebut yang sebenarnya terjadi adalah meskipun banyak PHK, mau tidak mau orang harus bekerja karena di Indonesia sistem jaminan sosial tidak memberikan jaminan kepada pengangguran. Pilihan termudah bagi orang-orang yang kehilangan pekerjaan ini masuk ke sektor informal.
"Meskipun banyak PHK, orang mau tidak mau harus tetap bekerja karena sistem jaminan sosial kita tidak memberi perlindungan kepada pengangguran. Akhirnya mereka masuk ke sektor informal, menjadi driver ojek online misalnya, karena itu yang paling cepat menyerap tenaga kerja," jelasnya.
Dengan kata lain, penurunan tingkat pengangguran lebih banyak mencerminkan pergeseran ke pekerjaan informal, bukan peningkatan kesempatan kerja yang layak.
"Banyak statistik ini menjadi kosmetik pembenaran bahwa ini sudah hebat sudah itu, tapi kita enggak pernah mau melihat lebih mendalam sebenarnya permasalahan yang ada," ujarnya.
Statistik Kemiskinan Menurun, Tapi...
Fenomena serupa juga terjadi pada data kemiskinan. Secara keseluruhan, angka kemiskinan nasional memang turun. Namun, jika dicermati lebih dalam, kemiskinan di perkotaan justru mengalami kenaikan. "Data kemiskinan kita turun, tapi kalau kita mau melihat lebih mendalam, kemiskinan di perkotaan itu naik," papar Teguh.
Ia menilai, ketika harapan yang dibangun melalui data resmi tidak sejalan dengan kenyataan hidup sehari-hari, kekecewaan publik pun meluas. Situasi ini semakin diperparah oleh tekanan ekonomi yang dirasakan kelas menengah bawah.
Selain kesenjangan data dan realitas, Teguh menyoroti perilaku elit politik yang kerap memicu ketidakpuasan publik. "Berbagai ketimpangan ditambah perilaku yang kurang pas dari elite kita itu membuat masyarakat akhirnya amarahnya meledak," katanya.
Menurutnya, dalam konteks Indonesia yang besar dan majemuk, kondisi ini selalu rawan ditunggangi kepentingan tertentu. Ia pun menyampaikan respons dari presiden atas protes masyarakat dalam beberapa waktu belakangan, belum cukup membidik permasalahan mendasarnya, masih sebatas dalam konteks politik dan keamanan. Namun, isu besar terkait protes masyarakat belum disasar secara mendalam.
Teguh menilai dalam jangka pendek pemerintah perlu melakukan peningkatan transfer ke daera, membatalkan berbagai pajak daerah atau moratorium sementara.
(nah/nah)