Luka Batin Rakyat karena Pejabat & Aparat, Berapa Lama Mampu Pulih Kembali?

ADVERTISEMENT

Kolom Edukasi

Luka Batin Rakyat karena Pejabat & Aparat, Berapa Lama Mampu Pulih Kembali?

Subarsono - detikEdu
Rabu, 03 Sep 2025 20:30 WIB
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIPOL) UGM, Dr Subarsono, mengomentari gejolak yang tengah terjadi di Tanah Air
Foto: UGM/Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIPOL) UGM, Dr Subarsono, mengomentari gejolak yang tengah terjadi di Tanah Air
Jakarta -

Pasca demo besar-besaran dan penjarahan rumah anggota parlemen & pejabat, Presiden Prabowo Subianto akhirnya angkat bicara.

Dalam sebuah pidato resmi di Istana Negara, yang didampingi para Ketua Partai Politik (Parpol) Minggu (31/8/2025), ia menyampaikan tujuh poin penting dan satu di antaranya yakni besaran tunjangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan kunjungan kerja ke luar negeri, akan segera dicabut atau dimoratorium. Sudah tentu 7 point tersebut dimaksudkan untuk mereda atau kalau bisa menghentikan demo yang selanjutnya berpotensi mengganggu stabilitas politik dan kondisi sosial nasional.

Penjarahan barang-barang milik pribadi yang dilakukan massa secara anarkis di rumah anggota parlemen Ahmad Sahroni, Eko Patrio, Uya-Kuya dan Nafa Urbach tentu tidak bisa dibenarkan dengan alasan apa pun.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Fenomena ini bisa dibaca: Pertama, sebagai puncak dari kedongkolan publik atas respons para wakil rakyat dalam menanggapi kritik publik akibat kenaikan tunjangan parlemen yang fantastis, tidak melihat kondisi sosial dan ekonomi yang yang terjadi di negeri ini.

Kedua, tentu saja tindakan anarkis massa juga sebagai peringatan kepada wakil rakyat agar tidak mencederai amanat yang telah diberikan rakyat dalam mewujudkan Indonesia yang lebih adil dan makmur.

ADVERTISEMENT

Ketiga, pembelajaran bagi partai publik untuk mempersiapkan kadernya sebelum duduk di parlemen agar memiliki kemampuan berkomunikasi yang pantas dan memiliki empati sosial dengan kondisi rakyat yang diwakili.

Buntut dari adanya protes massa adalah Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach di nonaktifkan oleh Partai Nasdem, sedangkan Eko Patrio dan Uya Kuya dicopot dari keanggotaan DPR oleh Partai Amanat Nasional (PAN).

Terminologi nonaktif dapat bermakna multitafsir, yang salah satunya dapat diinterpretasikan bahwa yang bersangkutan kelak bisa diaktifkan kembali. Penggunaan diksi atau pilihan kata dalam memberikan sanksi ini, perlu mendasarkan pada terminologi yang baku, yakni pergantian antar waktu keanggotaan di DPR, yang dimungkinkan suatu saat dapat maju lagi sebagai kandidat DPR.

Pertanyaannya, penggunaan diksi nonaktif apa bisa diartikan sebagai pemecatan sebagai anggota Parpol? Itu semua perlu diklarifikasi oleh Partai Politik yang bersangkutan kalau Parpol yang bersangkutan mau membangun legitimasi dan kepercayaan publik ke depan. Kejelasan penggunaan kata tersebut akan memengaruhi tingkat recovery publik terhadap luka batin yang masih membara akibat demo. Apalagi Minggu (31/82025) ada kematian Rheza Sendy Pratama, seorang pendemo mahasiswa AMIKOM di kota Yogyakarta.

Terlepas dari berbagai analisis para pengamat politik tentang penyebab timbulnya demonstrasi yang besar-besaran dan para pendemo ditunggangi, tulisan ini fokus tentang bagaimana luka batin publik bisa sembuh.

Untuk itu, penting bagi pemerintah dan DPR untuk mengakui akar masalahnya dan memiliki komitmen untuk tidak mengulangi lagi kesalahan yang sama dalam merumuskan kebijakan publik, yakni kenaikan tunjangan DPR.

Mereka perlu sadar bahwa kesalahan kebijakan dapat menjadi entry point bagi beberapa pihak, seperti: kelompok oposisi, aktivis, kelompok tidak suka pada pemerintah, dan lain-lain untuk bersinergi dan memobilisasi massa bukan saja bertujuan mengkritisi kebijakan tetapi juga dapat digunakan untuk menggoyang pemerintah dan stabilitas politik.

Demo massa yang besar, penjarahan dan bahkan memakan korban anak bangsa hendaknya mampu membuka hati nurani para politisi untuk dekat dengan rakyat dan mendengarkan nafas rakyat dalam kehidupan keseharian, bukan duduk di singgasana dengan fasilitas yang mewah dan menjauhkan mereka dengan rakyat yang diwakili.

Para anggota parlemen perlu memiliki keberanian untuk menerima pendemo yang datang ke Gedung DPR untuk berkomunikasi dan berdialog. Mereka tidak sepantasnya menutup pagar dengan beton dan oli. Juga bukan waktu tepat bagi sebagian wakil rakyat malah bepergian ke luar negeri di tengah gejolak politik di Tanah Air dan kritik pada institusi mereka.

Kesediaan untuk menerima rakyat sebagai pemegang kedaulatan negeri ini akan mampu mempercepat proses recovery sakit yang diderita rakyat, tak lama setelah HUT Kemerdekaan ke-80 RI tahun ini. Pemangku kebijakan saat ini harus selalu bertanya apakah kemerdekaan betul-betul telah terjadi pada mereka atau justru mereka merasa hidup dalam suasana arogansi kekuasaan para elite, yang sebetulnya sesama anak bangsa sendiri. Kalau itu yang terjadi, maka pilu dan luka batin publik ini sulit pulih kembali.

*) Dr Subarsono
Pakar Kebijakan Publik dan Ekonomi Politik Pembangunan Universitas Gadjah Mada (UGM)
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIPOL) UGM

Artikel ini adalah kiriman pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggung jawab penulis. (Terimakasih - Redaksi)




(faz/faz)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads