Soroti Fenomena Rojali, Dosen UGM: Waspada PHK Ritel!

ADVERTISEMENT

Soroti Fenomena Rojali, Dosen UGM: Waspada PHK Ritel!

Nikita Rosa - detikEdu
Minggu, 24 Agu 2025 11:00 WIB
Warga mengunjungi pusat perbelanjaan di Jakarta, Kamis (31/7/2025).
Warga mengunjungi pusat perbelanjaan di Jakarta, Kamis (31/7/2025). Foto: Andhika Prasetia/detikcom
Jakarta -

Istilah rojali belakangan kerap digunakan untuk menyebut suatu fenomena di pusat perbelanjaan. Apa itu rojali dan bagaimana dampaknya?

Dalam laman resmi UGM dijelaskan, istilah rojali merupakan singkatan dari rombongan jarang beli. Rojali adalah orang-orang yang berkunjung ke pusat perbelanjaan tanpa diikuti dengan aktivitas belanja. Istilah ini juga dipadankan dengan istilah rohana, singkatan dari rombongan hanya nanya.

Dosen dan ekonom Universitas Gadjah Mada (UGM), Dr. I Wayan Nuka Lantara, melihat kondisi ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di berbagai negara lain. Apa alasannya?

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Maraknya Fenomena Rojali di Berbagai Belahan Dunia

Dr. Wayan berpendapat bahwa fenomena rojali muncul lantaran melemahnya daya beli masyarakat dan berubahnya pola konsumsi pascapandemi. Ia melihat fenomena ini juga terjadi di negara maju seperti Jepang dan Jerman. Di sana, orang-orang lebih banyak window shopping atau melihat-lihat tanpa membeli.

ADVERTISEMENT

"Secara global, daya beli masyarakat sedang mengalami tekanan. Di Jerman maupun Jepang, saya melihat fenomena serupa. Di Jepang, orang lebih banyak window shopping tanpa membeli. Jadi bukan hanya di Indonesia," ungkapnya dalam laman UGM, dikutip Minggu (24/8/2025).

Di Indonesia, ia menjelaskan, fenomena ini dipengaruhi dua faktor utama. Pertama, kenaikan harga kebutuhan pokok yang memicu inflasi membuat masyarakat melakukan relokasi anggaran.

"Harga beras, daging, hingga transportasi meningkat. Akibatnya, belanja nonesensial seperti pakaian atau produk gaya hidup di mal menjadi prioritas kedua," ucapnya.

Kedatangan pengunjung ke mal bukan lagi untuk berbelanja, tetapi mencari hiburan. Mereka merasa uang yang dimiliki lebih layak layak dibelanjakan untuk hal lain yang lebih penting.

Faktor kedua adalah pergeseran perilaku belanja setelah pandemi Covid-19. Kebiasaan membeli barang secara daring masih berlanjut hingga kini karena perbedaan harga yang cukup signifikan dibandingkan di mal.

"Banyak orang melihat produk secara langsung di pusat perbelanjaan, lalu membelinya secara online karena lebih murah. Fenomena ini dikenal sebagai showrooming," ujarnya.

Efek Fenomena Rojali

Jika kondisi ini terus berlanjut, Wayan menilai bisnis ritel bisa terpukul. Bahkan, tak menutup kemungkinan adanya PHK di sektor pusat perbelanjaan. Oleh karena itu, ia menekankan pentingnya langkah antisipatif dari pemerintah, mengingat industri ritel menyerap banyak tenaga kerja.

"Dua pihak perlu mendapat perhatian: pelaku usaha ritel melalui insentif pajak atau stimulus tertentu seperti penyelenggaraan event di mal, dan masyarakat melalui pengendalian inflasi agar daya beli terjaga. Tanpa itu, kelas menengah yang selama ini menopang konsumsi justru akan tergerus," paparnya.

Wayan juga menyoroti pertumbuhan ritel di Indonesia yang masih di bawah rata-rata negara ASEAN. Sementara ASEAN mencapai pertumbuhan enam persen per tahun, Indonesia berada di bawah lima persen.

Data ini, tegas Wayan, harus menjadi perhatian serius pemerintah, mengingat mall di Indonesia tidak hanya berfungsi sebagai pusat perbelanjaan, tetapi juga sebagai ruang publik bagi masyarakat dan menjadi tempat mencari peruntungan bagi para tenaga kerjanya.

"Sinergi pemerintah dengan dunia usaha ritel semakin diperkuat dengan penyelenggaraan dialog atau diskusi bersama asosiasi ritel Indonesia agar apa yang menjadi keluhan dan harapan dapat tersampaikan," pungkasnya.




(nir/twu)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads