Penyebaran Kabar Kemerdekaan, dari Coretan Gerbong Kereta-Radio

ADVERTISEMENT

Penyebaran Kabar Kemerdekaan, dari Coretan Gerbong Kereta-Radio

Trisna Wulandari - detikEdu
Senin, 18 Agu 2025 19:00 WIB
Museum Perumusan Naskah Proklamasi berdiri anggun di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Bangunan ini masih mempertahankan gaya arsitektur Eropa abad ke-20.
Rumah Laksamana Maeda jadi saksi bisu proklamasi kemerdekaan RI. Foto: Pradita Utama
Jakarta -

Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, tetapi tidak semua warga saat itu tahu kabar ini. Tanpa kemudahan akses komunikasi dan internet seperti hari ini, butuh upaya penyebaran kabar kemerdekaan dari satu daerah ke daerah lain sehingga mereka baru mendengar pada 18 Agustus hingga beberapa bulan setelahnya.

Tanggal 17 Agustus 1945 sekitar pukul 05.00, sebelum upacara proklamasi kemerdekaan Indonesia dimulai di Jl Pegangsaan Timur No 56, Bung Hatta berpesan pada para pemuda yang bekerja bekerja di kantor berita dan pers, terutama BM Diah, untuk memperbanyak teks proklamasi dan menyiarkannya ke seluruh dunia, seperti dikutip dari buku Sejarah SMA Kelas XII Program IPS oleh Prof Dr M Habib Mustopo, dkk.

Kabar Kemerdekaan Lewat Radio, Kantor Disegel

Pagi hari itu juga, teks proklamasi diterima dari wartawan Domei, Syafruddin. Teks itu disiarkan markonis F Wuz melalui radio di Kantor Berita Domei atau Kantor Berita Gabungan (kini Kantor Berita Antara), yang semua merupakan kantor berita resmi dari Kekaisaran Jepang.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Siaran proklamasi kemerdekaan dilakukan atas penugasan 3 kali penyiaran berturut-turut dari Kepala Bagian Radio Kantor Berita Domei, Waidan B. Palenewen, dikutip dari Mengenal Indonesia: oleh Aku Cinta Indonesia, Tak Kenal Maka Tak Sayang oleh Boli Sabon Max.

Namun, sebelum penyiaran ketiga bisa dilakukan, tentara Jepang yang marah kemudian memerintahkan penghentian siaran. Kendati demikian, pemuda Indonesia tetap menyiarkan teks proklamasi setiap 30 menit hingga pukul 16.00 WIB.

ADVERTISEMENT

Pimpinan tentara Jepang di Jawa memerintahkan pemuda untuk meralat berita proklamasi dan menyatakannya sebagai kekeliruan. pada 20 Agustus 1945, pemancar tersebut disegel Jepang dan pegawainya dilarang masuk.
sehingga pemancar tersebut disegel dari pegawainya sendiri pada 20 Agustus 1945.

Pemuda dan pembaca berita Radio Domei Jusuf Ronodipuro lalu membuat pemancar baru dengan bantuan teknisi radio seperti Sukarman, Sutamto, Susilahardja, dan Suhandar. Mereka mengambil alat pemancar dari Kantor Berita Domei dan memindahkannya satu persatu ke tempat pemancar baru di Jalan Menteng 31. Dengan cara tersebut, mereka bisa terus menyiarkan berita kemerdekaan Indonesia sambil pemuda lainnya mengupayakan penyebaran lewat surat kabar dan selebaran.

Penyebaran Langsung oleh Tokoh PPKI

Para utusan daerah yang menghadiri sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) juga membawa langsung kabar Indonesia telah merdeka kepada warga di daerah masing-masing.

Sementara itu, warga Indonesia juga masih dilarang pasukan Jepang untuk disebarkan. Keterbatasan transportasi, komunikasi, dan ancaman tentara Jepang saat itu membuat kabar ini tidak sampai serentak se-Indonesia pada 17 Agustus 1945, terutama di luar Jawa.

Kabar Kemerdekaan di Koran dan Coretan Gerbong Kereta

Para pemuda yang menyebarkan kabar kemerdekaan lewat surat kabar dan selebaran antara lain BM Diah, Sayuti Melik, dan Sumanang. BM Diah dan rekan-rekannya menyebarkan berita proklamasi dengan mencetak surat kabar dan selebaran untuk penjuru Indonesia.

Harian Suara Asia di Surabaya menjadi koran pertama yang mengabarkan berita proklamasi.

Kemudian pada 20 Agustus 1945, hampir sebagian besar surat kabar di Jawa memuat berita proklamasi kemerdekaan dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) 1945.

Di samping selebaran, pemuda juga memasang plakat, poster, hingga membuat coretan di tembok dan gerbong kereta api yang mengabarkan kemerdekaan Indonesia. Salah satunya bertuliskan slogan 'Respect Our Constitution, August 17!!! (Hormatilah Konstitusi Kami, 17 Agustus!!!)'

Sementara itu, masih banyak tentara Jepang di Indonesia sampai September 1945. BM Diah dan para pemuda lainnya memutuskan ikut angkat senjata. Mereka lalu merebut percetakan surat kabar Djawa Shimbun yang menerbitkan Harian Asia Raya, lalu menerbitkan surat kabar Merdeka pada 1945.

Papan Tulis Kemerdekaan di Bandung

Pihak Jepang tidak hanya melarang penyiaran kabar kemerdekaan RI. Mereka melancarkan propaganda agar tidak ada berita kemerdekaan yang tersiar ke warga Indonesia.

Sejumlah surat kabar dan radio terkena imbasnya, antara lain Tjahaja, Soeara Merdeka, Perdjuangan Kita, dan lainnya, dikutip dari Bandung 1945-1946 ole Egi Azwul Fikri.

Di Bandung, pelarangan tersebut diumumkan Hideki Zenda, yang menyatakan, "Pengumuman, bahwa dilarang menyiarkan apa-apa yang dikutip dari surat kabar Tjahaja Bandung."

Wartawan Tjahaja sempat bingung karena berita kekalahan Jepang pada Sekutu tidak boleh diedarkan, sedangkan mereka sebelumnya sudah memberitakan revolusi dan propaganda.

Dua pemuda dari stasiun radio Hoshokyoku pada 16 Agustus 1945 bahkan sudah diutus meliput proklamasi kemerdekaan RI di 17 Agustus 1945. Sepulangnya dari Jakarta, mereka tidak bisa menyiarkan berita ini akibat stasiun radio di Bandung itu juga masih diduduki Jepang.

Mereka kemudian tahu Kantor Berita Domei ternyata bisa menyebarkan kabar kemerdekaan lewat buletin karena mendapat kawat berisi teks proklamasi. Para wartawan Tjahaja cepat-cepat menulis kabar kemerdekaan Indonesia di papan tulis besar.

Papan tulis itu diletakkan pemuda bernama Bari Lukman di depan kantor mereka dengan izin Moh Kurdi.

Dari papan tulis tersebut, setiap orang yang lewat bisa melihat hingga mengerumuni tulisan kabar kemerdekaan tersebut. Kabar kemerdekaan ini cepat tersebar ke penjuru Bandung, dari mulut ke mulut hingga pengajian-pengajian.

Percetakan dan Mobil Pick-up Kemerdekaan

Percetakan Siliwangi yang dikomando Ili Sasmita turut membuat kertas selebaran pengumuman proklamasi kemerdekaan Indonesia. Kemudian sejak 18 Agustus, Radio Republik Indonesia menyiarkan lagu Indonesia Raya.

Kabar kemerdekaan ini disampaikan berminggu-minggu sehingga warga terpelajar maupun tidak sama-sama yakin bahwa proklamasi kemerdekaan RI tidak semu dari pemberian pihak Jepang.

Di Bandung, memberi konteks tentang peristiwa kemerdekaan yang diraih bangsa sendiri menjadi penting. Sebab, beberapa dekade sebelumnya, orang Belanda di Bandung menguasai peran penting politik, orang China di bidang perdagangan, sedangkan pribumi ningrat menjadi tuan tanah.

Sementara itu, pribumi biasa di sana menjadi buruh. Karena itu, rakyat nonpolitisi nasionalis butuh waktu untuk tahu dan yakin atas cara yang benar untuk menyikapi kemerdekaan RI.

Mengupayakan kesamaan pengertian arti kemerdekaan ini, sejumlah pegawai RRI menggunakan mobil pick up untuk menjelaskan proklamasi. Setelah menghubungi kepala daerah setempat, mereka berkeliling ke daerah-daerah sekitar Bandung, seperti di Dayeuhkolot, Lembang, Banjara, Cimahi, Padalarang, dan Banjaran.

Kabar Kemerdekaan dari Jakarta ke Aceh

Di berbagai daerah, kabar kemerdekaan Indonesia coba disembunyikan pasukan Jepang. Termasuk di antaranya yakni di Aceh.

Dikutip dari Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh oleh Muhammad Ibrahim dkk, Direktorat Jenderal Kebudayaan, opsir bangsa Indonesia dari tentara sukarela Giyugun, tentara pembantu Heiho, dan Hikoyo Tokubetsu di Aceh dikumpulkan pihak militer Jepang pada 16 Agustus 1945.

Mereka diberi tahu bahwa organisasi militernya dibubarkan dan mereka dikembalikan kampung halaman masing-masing. Tidak ada sama sekali kabar tentang menyerah tanpa syarat yang dilakukan Jepang pada Sekutu.

Baru pada 21 Agustus 1945, sejumlah pemuda Aceh dari kantor media Hodoka Kutaradja dan Atjeh Simbun mulai tahu kabar kemerdekaan RI. Namun, berita di Atjeh Simbun di Kutaraja disaring ketat oleh Jepang sehingga tidak bisa memuat perubahan sikap Jepang yang mulai melunak.

Radio-radio sekutu saat itu juga masih diawasi ketat sehingga tidak bisa didengarkan orang-orang di Indonesia.

Akhirnya, kabar kemerdekaan Indonesia mulai menyebar di Sumatera, termasuk Aceh, pada akhir Agustus 1945. Kabar ini dibawa Mr TM Hasan dan Dr M Amir, yang kembali dari Jakarta ke Sumatera pada 24 Agustus 1945.

Kedua tokoh tersebut pergi ke Palembang, Bukittinggi, Tarutung, lalu Medan pada 29 Agustus 1945. Kabar dari mereka membuat informasi proklamasi kemerdekaan RI lebih cepat tersebar.




(twu/nah)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads