Isu Privasi Data di Produk AI, Google for Education Klaim Beri Perlindungan

ADVERTISEMENT

Isu Privasi Data di Produk AI, Google for Education Klaim Beri Perlindungan

Trisna Wulandari - detikEdu
Kamis, 07 Agu 2025 19:00 WIB
Stuart Miller Head of Marketing for Asia Pacific (APAC) Google for Education .
Google for Education Lead Marketing for Asia Pacific Stuart Miller. Foto: Rizky Nur Amalia/detikINET
Jakarta -

Google meluncurkan sejumlah program berbasis kecerdasan buatan (AI) yang menyasar sektor pendidikan, mulai dari jenjang dasar hingga perguruan tinggi. Tiga program unggulan yang diperkenalkan antara lain Gemini for Education, Google AI Pro, dan NotebookLM.

Pada Rabu (6/8/2025), Google mengumumkan Indonesia sebagai salah satu dari lima negara pertama di mana mahasiswa berusia 18 tahun ke atas dapat menjajal Google AI Pro secara gratis selama 12 bulan. Empat negara lainnya adalah Jepang, Korea, Amerika Serikat, dan Brasil.

Namun muncul kekhawatiran terkait privasi data pengguna, baik pelajar maupun pendidik, terutama menyangkut penggunaan data sensitif dari dokumen yang diunggah ke produk-produk tersebut.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menanggapi hal ini, Google for Education Lead Marketing untuk Asia Pasifik, Stuart Miller, mengatakan Google berkomitmen melindungi privasi data pengguna di sektor pendidikan. Ia mengklaim para pengguna memiliki kendali penuh untuk mengelola dan mengatur penggunaan informasi mereka.

ADVERTISEMENT

"Google tidak menggunakan informasi itu, data itu, dan itu tidak digunakan untuk hal-hal seperti ads atau berbagi ke pihak ketiga," ucapnya pada Press Briefing - Google AI Mendukung Pendidikan Bermutu dan Aman Untuk Semua di Restoran Kembang Goela, Karet Semanggi, Jakarta, Kamis (7/8/2025).

Miller menyatakan, pihaknya juga memastikan produk dan programnya mengikuti kebijakan pemerintah di negara-negara operasinya, termasuk dapat diaudit.

"Kami melindungi data Anda juga di setiap negara tempat kami beroperasi. Kami memastikan untuk mengikuti semua kebijakan dari pemerintah," ucapnya.

Kekhawatiran akan privasi data dalam teknologi berbasis AI tersebut pernah diungkap Jennifer King, peneliti kebijakan privasi dan data di Stanford University Institute for Human-Centered Artificial Intelligence (Stanford HAI). Bersama Caroline Meinhardt, manajer riset kebijakan Stanford HAI, ia menerbitkan white paper berjudul "Rethinking Privacy in the AI Era: Policy Provocations for a Data-Centric World" pada 2024 lalu.

Dikutip dari laman Stanford HAI, King menyampaikan ancaman terhadap privasi bukanlah hal baru. Namun, AI memperbesar skala risiko tersebut secara signifikan.

Menurut King, sistem AI sangat haus data dan tidak transparan. "Sehingga kita makin tidak memiliki kendali atas data pribadi yang dikumpulkan, bagaimana data itu digunakan, dan apakah kita bisa mengoreksi atau menghapusnya," ujarnya.

King mengatakan dalam situasi tersebut hampir mustahil bagi pengguna internet untuk sepenuhnya terlepas dari pengawasan digital sistemik dan AI memperparah kondisinya.

Tak hanya soal pengawasan, King juga menyoroti potensi penyalahgunaan data oleh pelaku kejahatan. Teknologi AI generatif yang dilatih dengan data yang diambil dari internet, berisiko menyimpan informasi pribadi maupun hubungan sosial seseorang. Celah ini bisa dimanfaatkan dalam serangan siber seperti spear-phishing, bahkan pemerasan menggunakan kloning suara berbasis AI yang menyamar sebagai korban.

Lebih lanjut, data yang awalnya diunggah untuk tujuan tertentu, seperti resume atau foto, sering kali dipakai kembali untuk melatih sistem AI tanpa persetujuan pemiliknya. Praktik semacam ini, kata King, bisa berdampak serius pada hak-hak sipil.




(twu/pal)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads