Cerita Peneliti BRIN Temukan Jejak Tsunami Purba, Paling Jauh 2 Km dari Laut

ADVERTISEMENT

Cerita Peneliti BRIN Temukan Jejak Tsunami Purba, Paling Jauh 2 Km dari Laut

Trisna Wulandari - detikEdu
Kamis, 07 Agu 2025 11:30 WIB
Peneliti BRIN Purna Sulastya Putra
Tim peneliti BRIN menemukan jejak tsunami purba berusia 400-3.000 tahun di selatan Jawa, hingga 2 km dari bibir pantai. Foto: Trisna Wulandari/detikEdu
Jakarta -

Sejumlah jejak tsunami purba usia 400-3.000 tahun ditemukan tim peneliti dari Pusat Riset Kebencanaan Geologi (PRKG) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) di wilayah selatan Jawa. Titik terjauh mencapai 2 km dari bibir pantai.

Temuan tersebut disampaikan peneliti PRKG BRIN Dr Purna Sulastya Putra, MT pada diskusi Menggali Jejak Tsunami Purba di Selatan Jawa di Gedung BJ Habibie BRIN, Thamrin, Jakarta, Rabu (6/8/2025).

"Saat ini itu rata-rata kita paling jauh sekitar 2 km dari sepantai yang kita eksplorasi. Kita coba cari juga yang lebih jauh gitu, tapi lokasi-lokasi (jauh) yang paling efektif itu sekitar 2 kilometer," kata Purna.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

ADVERTISEMENT

Mencari Jejak Tsunami Purba

Pencarian bukti-bukti tsunami purba ini di antaranya guna mencari tahu interval atau berapa tahun sekali tsunami besar bisa terjadi di lokasi rentan seperti selatan Jawa. Pengumpulan jejak tsunami purba dilakukan sejak 2006, usai gempa dan tsunami Pangandaran, Jawa Barat yang menimbulkan lebih dari 600 korban jiwa.

Bukti-bukti tsunami di berbagai daerah selatan Jawa menunjukkan tsunami pernah terjadi Lebak, Banten; Pangandaran, Jawa Barat; Adipala, Cilacap, Jawa Tengah; Kulon Progo, DI Yogyakarta; hingga Lumajang, Jawa Timur antara 3.000-400 tahun lalu.

Endapan di Rawa

Untuk mencari tahu terjadinya tsunami di daerah tersebut, peneliti di antaranya menggali keberadaan lapisan endapan (sedimen) tsunami. Pasir laut pada sedimen ini berwarna terang, kontras dengan tanah rawa di bawahnya.

Purna menjelaskan, pencarian jejak tsunami dilakukan di cekungan seperti rawa dan laguna karena air dan endapan tsunami bisa menggenang di cekungannya.

"Ketika memasuki (cekungan yang) rendah itu, mungkin kecepatannya akan berkurang, kemudian dia berpotensi mengendapkan sedimen," ucapnya.

Ia menambahkan, lapisan endapan tsunami rawa juga lebih aman dari kerusakan akibat proses pascapengendapan. Rawa aktif juga dinilai lebih menjaga lapisan endapan tsunami karena akan terbentuk endapan rawa yang menutupinya, termasuk lapisan daun yang jatuh ke sana.

"Atau di laguna, misalnya. Jadi di lokasi-lokasi seperti itu adalah tempat yang paling bagus untuk mengendapkan tsunami," ucapnya.

Ia menggarisbawahi, lapisan tsunami tersebut juga bisa hilang karena aktivitas manusia. Untuk itu, rawa atau laguna yang secara alami terisolasi diharapkan bantu kerja peneliti untuk menggali jejak bencana pesisir tersebut.

"Diharapkan, kalau digali lebih dalam, itu masih ada jejak-jejak tsunami ratusan atau ribuan tahun lalu. Mungkin masih ada lagi," kata Purna.

Membandingkan Lokasi dengan Peta Zaman Belanda

Purna menuturkan, peneliti terkadang tidak mengetahui pasti apakah rawa di dekat pantai cukup tua untuk meneliti jejak tsunami purba. Untuk itu, mereka terkadang membandingkan lokasi rawa saat ini dengan peta-peta di zaman penjajahan Belanda.

"Misalnya ternyata ini rawa yang cukup baru, maka kita harus beralih ke daerah-daerah untuk mencari rawa yang lain, yang sudah cukup tua, yang memungkinkan merekam tsunami, ratusan, dua ribuan tahun yang lalu," tuturnya.

Ia menambahkan, peneliti juga harus mempertimbangkan cepatnya perubahan garis pantai di selatan Jawa.

"Tapi biasanya, kalau di selatan Jawa ya sekitar 1 kilometer dari garis pantai ini. Karena, di beberapa tempat di selatan Jawa, garis pantainya itu maju ke arah laut sangat cepat. Jadi itu juga harus kita pertimbangkan, karena sedimentasi dan gerakan cukup cepat," imbuhnya.

Di samping peta tua, pihaknya juga menggunakan aspek sejarah untuk menilik kemungkinan terjadinya tsunami ratusan tahun lalu. Ia mencontohkan, jika suatu wilayah ditinggalkan usai abad ke-15, peneliti coba mencari tahu apakah tindakan tersebut berkaitan dengan tsunami, perang, atau perebutan wilayah.

Bertanya pada Warga

Purna mengatakan, tim peneliti di lapangan juga bertanya pada warga. Cara ini diharapkan bisa menggali info keberadaan jejak tsunami.

"Pas menggali sumur, itu mereka dapat apa? Ini lapisan tanahnya seperti apa? Itu sering kali kita tanyakan," tuturnya.

"Nanti di kedalaman 2 meter ada lapisan pasir, misalnya. Nah itu kan informasi menarik yang coba kita, kemudian menjadi kita semangat, misalnya untuk mungkin menggali, gitu," sambung Purna.

Informasi-informasi tersebut menurutnya sangat penting bagi peneliti.

Di sisi lain, ia mengatakan lapisan tsunami terkadang terlalu tipis untuk dilihat warga secara akurat. Kendati demikian, informasi warga tetap dapat bermanfaat.

"Jadi yang disebut pasir mungkin bukan yang kita harapkan gitu ya, tapi yang di bawahnya, yang merupakan endapan pasir dari lingkungan pantai purbanya dulu, misalnya," ucapnya.

"Tapi dari situ kemudian kita punya gambaran, misalnya lingkungan pantai purbanya di kedalaman 2 meter. Artinya, kita masih bisa berharap dapat lapisan tsunami di atasnya, misalnya," kata Purna.

Purna mengatakan, pihaknya juga terbuka bagi warga yang hendak menginfokan adanya lapisan pasir di kedalaman tanah tertentu di daerahnya. Dari studi lanjutan, bisa diketahui apakah lapisan pasir tersebut benar-benar lapisan endapan tsunami atau tidak.

"Di beberapa tempat mereka kadang memperhatikan itu juga. Jadi ada lapisan-lapisan pasir yang kadang kita temukan," pungkasnya.




(twu/faz)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads