Tim peneliti Pusat Riset Kebencanaan Geologi, Badan Riset dan Inovasi Nasional (PRKG BRIN) mengungkap tsunami raksasa yang pernah menghantam wilayah pesisir selatan Pulau Jawa sekitar 1.800 tahun lalu. Jejak tsunami tersebut antara lain ditemukan di Lebak, Pangandaran, dan Kulon Progo.
Peneliti Ahli Madya PRKG BRIN Dr Purna Sulastya Putra menjelaskan, peneliti di antaranya mencari tahu interval atau berapa tahun sekali tsunami raksasa pernah terjadi dan akan terjadi lagi di daerah ramai penduduk seperti selatan Jawa. Caranya dengan mengumpulkan bukti-bukti tsunami di lapisan sedimen di rawa-rawa.
Setelah menemukan bukti-bukti tsunami besar dari 3.000 tahun dan 1.800 tahun lalu, peneliti coba mencari tahu bukti tsunami yang lebih muda.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pengumpulan bukti tsunami semula dilakukan sejak 2006 usai gempa dan tsunami Pangandaran, selatan Jawa Barat pada 17 Juli 2006.
Tsunami Pangandaran 2006 dengan gempa bumi M 7,7 sendiri menelan korban jiwa lebih dari 600 orang.
"Kita memerlukan studi paleotsunami untuk bisa merancang mitigasi yang tepat," kata Purna pada diskusi jelang Hari Teknologi Nasional (Harteknas) ke-30 di Gedung BJ Habibie BRIN, Thamrin, Jakarta, Rabu (6/8/2025).
Jejak Tsunami Selatan Jawa di Lebak
Jejak tsunami di Lebak, Banten berasal dari sejumlah kejadian berbeda. Jejak tsunami yang lebih muda berusia 400 tahun. Angka ini diketahui dari penanggalan lapisan paleotsunami di rawa setempat.
Jejak tsunami 400 tahun lalu di Lebak berupa bongkah-bongkah kayu di kedalaman kurang dari 1 meter yang menghampar di seluruh kawasan rawa. Namun, kayu tersebut tidak berasal dari sana dan diperkirakan terbawa tsunami.
Di bawahnya, jejak tsunami berusia 3.000 tahun berupa lapisan pasir yang kaya mikrofauna dari laut. Cangkang biota laut foraminifera di sana berisi mineral yang hanya terbentuk di lingkungan laut.
"Ini merupakan salah satu indikasi penting bahwa lapisan pasir yang mengandung mineral ini itu berasal dari laut.
Temuan jejak tsunami di Lebak juga berupa branching coral (karang bercabang) dengan posisi masih berdiri. Purna menjelaskan, bentuknya menunjukkan karang tersebut masih hidup saat tiba-tiba tertimbun oleh pasir sekitar 3.000 tahun lalu.
"Ini adalah contoh paleotsunami juga, tapi yang kemungkinan terjadi di dasar laut," terangnya.
Jejak Tsunami Selatan Jawa di Pangandaran
Sementara itu, jejak tsunami di Pangandaran di antaranya berupa lapisan pasir tidak rata berusia 400 tahun. Penanggalan dilakukan pada buah nipah yang ditemukan di sana.
Purna menjelaskan, temuan ini mengindikasikan adanya gempa sangat kuat yang mengangkat (uplift) dan disertai tsunami besar.
Jejak Tsunami Selatan Jawa di Adipala, Cilacap
Biota laut seperti radiolaria dan foraminifera juga menjadi jejak tsunami di Adipala, Cilacap, Jawa Tengah. Usianya sekitar 1.800 tahun lalu.
"Radiolaria ini juga mikrofauna laut ya, yang sebenarnya jarang ditemukan di dalam lapisan tsunami, karena radiolaria biasanya hidup di laut yang cukup dalam," kata Purna.
Jejak Tsunami Selatan Jawa di Kulon Progo
Temuan berupa anak dan induk foraminifera juga diperkirakan terdampar akibat tsunami di lokasi penelitian di Kulon Progo. Seperti di Adipala, penanggalan menunjukkan usianya sekitar 1.800 tahun lalu.
Purna mengatakan, penggalian pertama di Kulon Progo berlangsung sekitar 2016/2017. Endapannya berlokasi sekitar 2 km dari Bandar Udara Internasional Yogyakarta di KapanΓ©won Temon, Kulon Progo.
"Kedalaman 40-50-an meter," ucapnya.
Ia menambahkan, peneliti juga menemukan tiga lapisan paleotsunami di lokasi Kulon Progo. Lapisan terbawah tertutup air, tetapi dua lainnya sedang dianalisis untuk mengetahui kapan kisaran kejadian tsunaminya.
Cara ini diharapkan dapat bantu peneliti mencari kejadian tsunami yang lebih muda dan mengidentifikasi waktu perulangannya sebagai bagian dari mitigasi.
Dukung Kesiapsiagaan
Purna menggarisbawahi, penelitian tim riset PRKG BRIN bertujuan untuk mendukung kesiapsiagaan dan mitigasi bagi masyarakat maupun pemerintah.
"Kita menyampaikan hasil riset kami berdasarkan data lapangan dan analisis di lab, memang hasilnya seperti itu, bahwa zaman dulu, kita pernah mengalami kejadian tsunami yang masing-masing berulang. Harapan kita, menyampaikan itu untuk kesiapsiagaan, bukan kehebohan dan lain sebagainya," tuturnya.
"Sebenarnya yang di sana (lokasi) nggak masalah, maksudnya nggak langsung heboh. Baik itu misalnya ketika kita sampaikan ke desa atau kecamatan, atau ke BPBD, misalnya. Bahkan kemarin yang yang Kulon Progo, saya juga dihubungi dari Pemprov Jogja. Mereka sebenarnya ingin tahu betul juga gitu, ya," imbuhnya.
Pranata Humas BRIN, Sugiarti mengatakan, temuan ini menyorot pentingnya kepedulian pemerintah daerah untuk menyesuaikan pembangunan infrastruktur sesuai dengan potensi risiko bencana di daerah masing-masing.
"Mungkin harus diterjemahkan oleh pemerintah daerah, bagaimana membuat desain yang aman bencana, dan penyampaian komunikasi sains ke masyarakat lebih detail," ucapnya.
"Bencana alam tidak bisa kita hindari, tapi bagaimana kita sebagai manusia bisa mengantisipasi, mitigasi, sehingga meminimalisir korban-korban jiwa yang akan terjadi," imbuhnya.
(twu/nwk)