Para menteri luar negeri dari 15 negara Barat mengeluarkan pernyataan bersama yang menyerukan dihidupkannya kembali solusi dua negara sebagai jalan damai bagi konflik Israel-Palestina.
Menteri Luar Negeri Prancis, Jean-Noel Barrot, dalam unggahannya di platform X menyampaikan bahwa negaranya bersama 14 negara lain mendukung pengakuan atas negara Palestina.
"Di New York, bersama 14 negara lainnya, Prancis mengeluarkan seruan kolektif: kami menyatakan keinginan kami untuk mengakui Negara Palestina dan mengundang mereka yang belum melakukannya untuk bergabung dengan kami," tulis Menteri Luar Negeri Prancis Jean-Noel Barrot di X, dilansir kantor berita AFP, Rabu (30/7/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam pernyataan bersama tersebut, 15 negara termasuk Spanyol, Norwegia, dan Finlandia menegaskan "komitmen teguh mereka terhadap visi solusi dua negara."
Sejarah Solusi Dua Negara
Akar konflik Israel-Palestina berawal dari masa ketika wilayah Palestina berada di bawah kendali Inggris. Ketegangan mulai meningkat antara komunitas Arab dan Yahudi, seiring dengan gelombang migrasi orang Yahudi ke kawasan tersebut untuk menghindari penindasan di Eropa.
Dikutip dari Reuters, tahun 1947 menjadi tonggak penting ketika Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyetujui rencana untuk membagi kawasan yang diperebutkan menjadi dua negara terpisah. Satu untuk orang Arab dan satu untuk orang Yahudi, dengan Yerusalem berada di bawah pengawasan internasional.
Rencana itu disambut baik oleh para pemimpin Yahudi, yang dalam skema pembagian diberikan 56 persen wilayah. Sebaliknya, negara-negara Arab yang tergabung dalam Liga Arab menolak keras usulan tersebut.
Deklarasi berdirinya negara Israel diumumkan pada 14 Mei 1948. Hanya sehari setelahnya, lima negara Arab melancarkan serangan militer. Perang yang meletus berakhir dengan kemenangan Israel, yang memperluas penguasaannya hingga mencakup sekitar 77 persen wilayah Palestina.
Dampaknya, sekitar 700.000 warga Palestina terpaksa meninggalkan rumah mereka, baik karena melarikan diri maupun diusir. Mereka tersebar sebagai pengungsi di wilayah Yordania, Lebanon, Suriah, serta di Jalur Gaza, Tepi Barat, dan Yerusalem Timur.
Pada Perang Enam Hari tahun 1967, Israel kembali memperluas wilayahnya. Mereka merebut Tepi Barat dan Yerusalem Timur dari Yordania, serta Jalur Gaza dari Mesir. Sejak saat itu, Israel menguasai seluruh wilayah dari Laut Mediterania hingga Lembah Yordan.
Warga Palestina terus hidup tanpa status kewarganegaraan yang jelas, banyak di antaranya berada di bawah pendudukan Israel atau hidup sebagai pengungsi di negara-negara tetangga.
Gagasan tentang solusi dua negara mulai mendapatkan pijakan dalam Kesepakatan Oslo tahun 1993, yang ditengahi Amerika Serikat. Kesepakatan ini ditandatangani oleh Ketua Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) Yasser Arafat dan Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin.
Dalam perjanjian itu, PLO mengakui keberadaan negara Israel dan berjanji meninggalkan jalur kekerasan. Sebagai gantinya, dibentuk Otoritas Palestina, yang diharapkan menjadi cikal bakal negara Palestina merdeka dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kota.
Namun, upaya untuk mencapai perdamaian final menemui jalan buntu. Pada tahun 2000, Presiden AS Bill Clinton mempertemukan Arafat dan Perdana Menteri Israel Ehud Barak dalam perundingan di Camp David. Namun, perundingan itu gagal mencapai kesepakatan.
Salah satu ganjalan terbesar adalah status Yerusalem yang oleh Israel diklaim sebagai "ibu kota abadi dan tak terpisahkan", sementara Palestina menginginkannya sebagai pusat pemerintahan negara mereka di masa depan.
(pal/nwk)