TKA dan Mutu Pendidikan Kita

ADVERTISEMENT

Kolom Edukasi

TKA dan Mutu Pendidikan Kita

Ahmad Tholabi Kharlie - detikEdu
Selasa, 29 Jul 2025 17:00 WIB
Ahmad Tholabi Kharlie,
Wakil Rektor Bidang Akademik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Foto: (Dokumentasi pribadi)
Jakarta -

Kebijakan pemerintah tentang Tes Kemampuan Akademik (TKA) bagi siswa sekolah terus menjadi perbincangan publik. Dalam forum bersama rektor perguruan tinggi negeri (PTN) se-Indonesia(28/7/2025) Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu'ti menyampaikan posisi strategis TKA sebagai kebijakan nasional untuk penguatan kualitas dan integritas pendidikan Indonesia.

Menurut Mu'ti, TKA merupakan jalan tengah antara kebutuhan akan alat ukur akademik yang objektif dan tekanan publik untuk tidak menghidupkan kembali ujian nasional. TKA sejatinya dirancang bukan sebagai ujian kelulusan, melainkan sebagai instrumen pemetaan dan penempatan.

TKA tidak menilai karakter siswa, tapi murni memotret kompetensi akademik, dan hasilnya menjadi referensi penting baik bagi sekolah, perguruan tinggi, maupun pemerintah dalam menyusun kebijakan peningkatan mutu pendidikan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

ADVERTISEMENT

Bukan Sekadar Alat Ukur

Di tengah dinamika perubahan pendidikan yang terus bergulir, kehadiran TKA yang dimotori oleh Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) patut dipahami bukan sekadar kebaruan kebijakan. Lebih dari itu, TKA merupakan artikulasi dari kebutuhan mendasar sistem pendidikan nasional untuk meneguhkan kembali prinsip objektivitas, akuntabilitas, dan keterbukaan dalam pengukuran capaian akademik siswa.

Dalam lanskap pendidikan kita, penilaian akademik selama ini kerap dibelenggu oleh homogenitas nilai rapor yang nyaris seragam, kendati realitas kompetensi siswa sangat variatif sebagaimana terpotret dari hasil UN, Asesmen Nasional, hingga UTBK.

Fenomena ini menunjukkan adanya ketimpangan antara representasi nilai dalam rapor dan pencapaian riil siswa yang diukur secara eksternal. Dalam konteks ini, TKA hadir sebagai solusi untuk menutup jurang tersebut melalui asesmen terstandar berbasis komputer yang bersifat eksternal.

Tentu, TKA bukanlah upaya menggantikan penilaian satuan pendidikan. Ia hanya bersifat melengkapi. Dalam semangat ini, TKA mengingatkan kita pada gagasan klasik dari Benjamin Bloom (1956) yang menyatakan bahwa asesmen merupakan bagian integral dari pembelajaran, bukan sekadar pengukur hasil.

Asesmen yang baik bukan hanya mengukur apa yang siswa tahu, tapi juga memberi umpan balik bagi guru dan sistem untuk memperbaiki proses belajar.

Dengan pilihan mata pelajaran wajib, yakni Bahasa Indonesia, Matematika, dan Bahasa Inggris, serta dua mata pelajaran pilihan dari pelbagai disiplin ilmu, TKA tidak hanya menguji pengetahuan dasar, tapi juga memberi ruang bagi pemetaan potensi akademik yang lebih spesifik.

Ini sejalan dengan prinsip multiple intelligences yang dikemukakan Howard Gardner (1989) bahwa setiap anak memiliki kecerdasan yang berbeda dan memerlukan ruang untuk diekspresikan secara adil.

Yang menarik, posisi TKA dalam sistem seleksi masuk perguruan tinggi bukan sebagai substitusi SNBP atau SNBT, melainkan sebagai validator nilai rapor. Dalam skema SNBP yang selama ini sangat bergantung pada penilaian internal sekolah, kehadiran TKA dapat menjadi penyeimbang sekaligus penguat objektivitas. Hal ini mengingatkan pada gagasan Thomas R. Guskey (2003) bahwa asesmen harus memiliki integritas dan keadilan demi menjamin kepercayaan publik terhadap sistem pendidikan.

Mendikdasmen Abdul Mu'ti menyatakan bahwa dalam jalur prestasi, nilai rapor tidak lagi menjadi satu-satunya rujukan, melainkan akan divalidasi oleh hasil TKA sebagai bentuk asesmen akademik yang sahih dan berstandar nasional (5/3/2025). Mu'ti menegaskan bahwa TKA bersifat tidak wajib dan bukan penentu kelulusan, melainkan alat bantu untuk meningkatkan objektivitas seleksi serta menguatkan ekosistem asesmen nasional.

Dalam jangka panjang, data TKA yang diintegrasikan ke sistem Satu Data Nasional dan SNBP dapat menjadi sumber informasi penting bagi pengambil kebijakan, baik untuk perbaikan kurikulum, pengembangan guru, maupun strategi peningkatan mutu pembelajaran di sekolah. TKA, dalam hal ini, bukan hanya alat ukur individual,melainkan bagian dari quality assurance sistemik yang bersifat kolektif.

Lebih jauh, TKA merepresentasikan pergeseran penting dalam paradigma evaluasi pendidikan, yakni dari sistem assessment of learning menuju assessment for learning. Dengan adanya Sertifikat Hasil TKA (SHTKA) yang dapat diakses oleh siswa dan sekolah, proses evaluasi menjadi lebih transparan dan reflektif. Siswa tidak hanya mengetahui posisinya, tapi juga bisa merancang langkah perbaikan secara mandiri.

Namun, di balik keunggulannya, implementasi TKA tetap menuntut kehati-hatian. Skema pelaksanaan daring dan semi daring, sistem pengawasan silang, hingga rekrutmen penyelia dari perguruan tinggi, menjadi aspek krusial yang perlu dijaga integritasnya. Sebab, sebagaimana dikemukakan Pasi Sahlberg (2011), pakar pendidikan asal Finlandia, integritas sistem pendidikan tidak hanya dibangun oleh kurikulum dan asesmen, tetapi oleh kepercayaan antar pemangku kepentingan.

Instrumen Dialog

Dalam konteks seleksi mahasiswa baru, TKA berperan penting sebagai penyeimbang antara penilaian internal sekolah dan kebutuhan perguruan tinggi atas data akademik yang lebih terstandar dan dapat dipertanggungjawabkan.

Sistem Seleksi Nasional Berbasis Prestasi (SNBP) selama ini mengandalkan nilai rapor sebagai komponen utama, namun kerap dipersoalkan karena sifatnya yang sangat bergantung pada kebijakan dan kultur asesmen masing-masing sekolah.

Di sinilah TKA hadir sebagai instrumen yang mampu memberikan dimensi objektivitas, yang tidak hanya memperkuat akurasi seleksi, tapi juga meningkatkan kepercayaan publik terhadap proses masuk ke perguruan tinggi negeri.

Posisi perguruan tinggi dalam kerangka ini tidak sekadar sebagai pengguna hasil TKA, tapi juga sebagai mitra strategis dalam menjamin kredibilitas sistem. Keterlibatan PTN dalam penyeliaan pelaksanaan TKA, sebagaimana dirancang oleh BSKAP Kemdikdasmen, telah menciptakan ruang kolaborasi sangat baik.

Dengan memantau langsung ruang-ruang ujian, perguruan tinggi ikut memastikan bahwa proses asesmen berlangsung adil dan bebas dari manipulasi. Hal ini juga sejalan dengan prinsip quality assurance pendidikan tinggi yang selama ini menjadi fokus Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi.

Sinergi ini tentu tidak akan berjalan efektif tanpa konsolidasi kelembagaan antara Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemdikdasmen) dan Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemdiktisaintek).

Sebagai dua poros yang selama ini bekerja dalam ritme masing-masing, keduanya dituntut membangun sistem komunikasi kebijakan yang terintegrasi, utamanya dalam perumusan standar asesmen, pengolahan data akademik, dan pengambilan kebijakan strategis lintas jenjang.

Konsolidasi ini niscaya akan memperkuat keberlanjutan kebijakan TKA serta menjamin bahwa output pendidikan menengah selaras dengan kebutuhan dan standar dunia pendidikan tinggi.

Lebih jauh, integrasi TKA ke dalam ekosistem seleksi mahasiswa baru mencerminkan kebutuhan akan sistem pendidikan nasional yang tidak fragmentaris. Pendidikan dasar, menengah, dan tinggi semestinya terhubung dalam satu ekosistem yang menjunjung tinggi prinsip equity, excellence, dan transparency.

Dalam skema seperti itu, TKA menjadi titik temu antara hulu dan hilir pendidikan nasional, yang saling menyapa dan mengoreksi, bukan berjalan sendiri-sendiri.

Maka, ketika TKA mulai diimplementasikan secara nasional pada November 2025 nanti, kita berharap kehadirannya tidak semata-mata disambut sebagai kebijakan teknokratik, melainkan sebagai landmark perubahan paradigma dalam penilaian pendidikan. Karena pada akhirnya, kualitas pendidikan tidak hanya ditentukan oleh apa yang kita ajarkan, tapi juga bagaimana kita mengukur dan merespons hasilnya secara adil, terbuka, dan bertanggung jawab.

* Ahmad Tholabi Kharlie
Wakil Rektor bidang Akademik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com




(pal/pal)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads