Dosen Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga (Unair), Puji Karyanto SS MHum, menyambut baik kebijakan tersebut. Ia menilai, upaya ini merupakan bentuk rekayasa budaya yang positif.
Menurutnya eksistensi sebuah kebudayaan bisa bertahan melalui dua jalur. Pertama jalur alamiah karena ada hubungan memiliki antara budaya dan masyarakatnya.
"Serta jalur rekayasa seperti yang dilakukan Dinas dengan mewajibkan penggunaan bahasa Jawa," ujarnya dalam keterangan tertulis Unair yang dikutip Kamis, (10/7/2025).
Ia menyoroti penurunan penggunaan bahasa Jawa, terutama di kalangan generasi Z. Salah satu indikatornya terlihat dari nilai pelajaran bahasa Jawa yang sering lebih rendah dibanding bahasa Inggris.
"Artinya, penggunaan bahasa Jawa belum diterima secara baik dalam kehidupan keseharian mereka," terangnya.
Perihal dampak kebijakan tersebut dalam menumbuhkan kebanggaan berbahasa Jawa, Puji menilai efektivitasnya akan sangat bergantung pada seberapa konsisten pelaksanaannya di lapangan.
Meski begitu, ia tetap menegaskan bahwa kebijakan ini merupakan bagian dari rekayasa budaya yang penting untuk mencegah punahnya bahasa daerah. "Surabaya dalam peta kebudayaan Jawa tergolong pinggiran. Bukan pusat budaya Jawa. Maka pengenalan budaya Jawa mainstream tetap diperlukan," ujarnya.
Ia juga menekankan tantangan pelaksanaan kebijakan ini, terutama di sekolah dengan latar belakang bahasa ibu siswa yang beragam. Menurutnya, semua pihak harus terlibat, tidak hanya guru bahasa Jawa. "Kalau semua pemangku kepentingan aware, maka kendala seperti perbedaan dialek Jawa Surabaya dengan Jawa Mataraman bisa diatasi bersama," jelasnya.
Pentingnya Integrasi dan Inovasi
Lebih lanjut, Puji berpendapat bahwa penggunaan bahasa Jawa di sekolah perlu diimbangi dengan pembelajaran budaya Jawa lainnya seperti kesenian atau sastra Jawa.
"Belajar tembang macapat misalnya, akan menumbuhkan kegembiraan sekaligus mengenalkan sastra Jawa yang puitis dan berbeda dengan bahasa keseharian," ungkapnya.
Ia juga menekankan bahwa bahasa Jawa sarat nilai rasa dan unggah-ungguh. "Bahasa Jawa itu penuh perasaan. Misalnya kata 'jatuh' dalam bahasa Indonesia hanya satu, sedangkan dalam bahasa Jawa ada gelungup, kejengkang, dan sebagainya. Ini mengajarkan nilai rasa kepada penuturnya," tuturnya.
Puji berharap kebijakan ini dijalankan secara konsisten dan tidak sporadis. "Kebijakan seperti ini harus berkelanjutan dan diukur keberhasilannya. "Jika kurang berhasil, harus dicari terobosannya. Selain itu, perlu inovasi-inovasi agar sosialisasi bahasa Jawa ke generasi Z tidak hanya sebatas pedagogi. Tetapi juga dalam percakapan sehari-hari," pungkasnya.
(pal/nwk)