Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengeluarkan kebijakan larangan perjalanan bagi warga dari 12 negara pada Senin (9/6/2025) lau. Alasannya, Trump menyebut untuk menjaga keamanan nasional dan mencegah terorisme di AS.
Kebijakan ini bukan yang pertama di Pemerintahan Trump. Pada periode pertamanya menjabat sebagai presiden, warga dari enam negara berpenduduk mayoritas muslim juga dilarang masuk ke AS. Namun, kebijakan ini dibatalkan oleh Presiden Joe Biden, demikian dilansir BBC.
Kini, saat Trump kembali menjabat, ia mengeluarkan pelarangan yang serupa. Hal ini membuat imigran yang tinggal di AS dan dilarang oleh Trump, merasakan ketakutan, kebingungan, dan kecemasan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Adapun 12 negara yang dimaksud Trump yaitu sebagai berikut.
12 Negara yang Warganya Dilarang Bepergian ke AS
1. Afghanistan
2. Iran
3. Yaman
4. Libya
5. Chad
6. Sudan
7. Congo-Brazzaville
8. Equatorial Guinea
9. Somalia
10. Eritrea
11. Haiti
12. Myanmar
Selain itu, ada juga negara tambahan yang terkena pembatasan visa, yakni Burundi, Kuba, Laos, Sierra Leone, Togo, Turkmenistan, dan Venezuela.
Bagaimana Nasib Pelajar Internasional yang Kuliah di AS?
Seorang pengacara imigrasi yang berbasis di Northampton, Massachusetts, Dan Berger, mengatakan kebijakan Trump akan membuat nasib pelajar asing menghadapi ketidakpastian. Meskipun, katanya, larangan dari Trump tidak akan memengaruhi para pelajar.
"Larangan tersebut tidak akan memengaruhi mahasiswa internasional dari negara-negara tersebut jika mereka memiliki visa yang sah atau mereka yang berada di AS pada saat larangan tersebut dikeluarkan," ucapnya, dikutip dari NBC News, Selasa (10/6/2025).
Namun, larangan Trump akan memengaruhi calon pelajar yang akan pergi ke AS. Para pelajar internasional yang akan menjadi mahasiswa di kampus-kampus AS, akan sangat ketat dalam mendapatkan visa. Terutama bagi pelajar yang berasal dari negara-negara yang dilarang oleh Trump.
Berger mengatakan, para mahasiswa dari negara-negara yang terkena dampak, saat ini tengah merasa khawatir. Mereka tidak tahu dengan apa yang dapat terjadi pada mereka.
Pelajar dalam situasi itu, menurutnya, kemungkinan akan menghadapi pengawasan tambahan di setiap langkah proses imigrasi.
Sementara sebagian yang lain, berpikir bahwa mereka mungkin tidak dapat mewujudkan impian mereka dalam studinya di AS.
"Masih banyak pertanyaan yang belum terjawab. Bahkan jika mereka tidak termasuk yang dilarang bepergian, apakah para pelajar akan bisa mendapatkan visa tepat waktu?" tanya Berger.
"Apakah mereka akan bisa datang ke AS? Dan begitu mereka tiba di AS, apakah mereka bisa bepergian dan bertemu keluarga mereka atau melakukan kerja lapangan atau melakukan hal-hal lain atau belajar di luar negeri saat mereka berada di sini?" lanjutnya.
Berger mengungkapkan, nasib pelajar internasional terutama yang terdampak, masih belum pasti. Apakah akan ada kebijakan baru dalam satu atau dua bulan atau akan seperti apa.
(faz/pal)