Menteri Ketenagakerjaan (Menaker)Yassierli menghapus syarat batas usia dalam lowongan kerja. Kebijakan ini tertuang dalam Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Nomor M/6/HK.04/V/2025 tentang Larangan Diskriminasi dalam Proses Rekrutmen Tenaga Kerja.
Yassierli mengatakan SE ini bertujuan untuk menghapus syarat diskriminatif seperti batas usia pelamar yang banyak dikeluhkan di job fair (bursa kerja). Aturan lebih lanjut akan dituangkan pada Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenakar), termasuk sanksi bagi perusahaan pelanggar.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam rancangan Permenaker tersebut, sambungnya, penghapusan batas usia pelamar ini dikecualikan pada pekerjaan yang karakteristik pekerjanya benar-benar berkaitan dengan usia. Di samping itu, pengecualian atas penghapusan batas usia pelamar tidak menghilangkan hak masyarakat secara umum untuk memperoleh pekerjaan.
"SE ini diterbitkan untuk mempertegas komitmen pemberi kerja terhadap prinsip non diskriminasi dan pedoman jelas agar rekrutmen kerja dilakukan objektif dan adil," kata Yassierli di kantornya, Jakarta, Rabu (28/5/2025), dilansir detikFinance.
Fleksibilitas Usia Pelamar Kerja dan PHK
Sebelumnya, dosen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSdK) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (UGM) Dr Hempri Suyatna SSos MSi menilai rencana penghapusan batasan usia sebagai syarat dalam lowongan pekerjaan perlu dilakukan. Menurut Hempri, penerapan rencana ini khususnya penting di tengah maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK) di berbagai industri.
"Fleksibilitas ini penting karena banyak orang kehilangan pekerjaan. Pemerintah harus mendorong penciptaan lapangan kerja sekaligus memberi akses lebih luas kepada masyarakat dari berbagai kelompok usia untuk bekerja secara layak," ucapnya di kegiatan Sekolah Wartawan di UGM, Senin (26/5/2025), dikutip dari laman kampus.
Ia menggarisbawahi, penghapusan batasan usia pada lowongan kerja perlu tetap berdasarkan hak asasi manusia dan perlindungan anak. Dengan begitu, kebijakan ketenagakerjaan ini nantinya tetap perlu melarang adanya pekerja anak.
"Jangan sampai kita membuka akses kerja tetapi justru mengorbankan hak tumbuh kembang anak. Usia anak itu adalah masa membangun karakter dan inovasi, bukan untuk bekerja. Jadi meski aturannya dihapus, tetap batasan usia itu diperhatikan," ucapnya.
Mengatasi Gelombang PHK
Peneliti di Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM ini menjelaskan, peningkatan angka PHK sektor industri dan naiknya angka pengangguran saat ini menjadi ancaman superproduktif lintas sektor. Setelah industri padat karya seperti garmen dan tekstil, gelombang PHK juga merambah industri teknologi dan media.
Faktor gelombang PHK ini antara lain penurunan daya beli masyarakat, efisiensi anggaran perusahaan, kenaikan biaya produksi, otomatisasi dan adopsi teknologi, serta ketergantungan pada pasar ekspor. Buntutnya antara lain risiko peningkatan angka kemiskinan.
"Kondisi ini tentunya membawa dampak signifikan pada struktur sosial ekonomi masyarakat. Salah satu yang paling disorot adalah potensi menurunnya kelas menengah. Ketika kelas menengah turun, daya beli melemah, angka kemiskinan pun berisiko naik," ucapnya.
Di samping itu menambah fleksibilitas batas usia pelamar kerja, Hempri mengusulkan agar isu PHK juga diatasi dengan pembatasan masuknya produk asing yang masif dan tidak terkontrol.
Kemudian, pemerintah perlu mendorong ekosistem pengembangan usaha yang kondusif, membuat kebijakan-kebijakan yang mengatasi masalah korban PHK, melaksanakan hilirisasi inovasi, menyalurkan bantuan sosial, dan memberikan stimulus untuk kelas menengah. Stimulus ini dapat berupa akses modal, teknologi, pemasaran, dan pelatihan berbasis kebutuhan pasar yang sebenarnya.
Kata Pengusaha soal Batas Usia Pelamar
Terpisah, Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) merespons rencana pemerintah untuk menghapus batas usia pada syarat lowongan kerja.
Ketua Bidang Ketenagakerjaan APINDO Bob Azam mengatakan syarat batas usia digunakan pengusaha sebagai penyaring pelamar, mengingat sejumlah lowongan kerja mensyaratkan kesehatan fisik dan kesigapan pekerja. Screening usia pelamar ini menurutnya juga berkaitan dengan biaya rekrutmen.
"Misalnya, lowongannya 10, yang datang 1.000. Jadi, apa seribu-seribunya harus dites? Itu kan biaya juga. Akhirnya perusahaan mensyaratkan usia sebagai screening," kata Bob pada acara Media Briefing Apindo Indonesia Quarterly Update, di Jakarta Selatan, Selasa (13/5/2025), dilansir detikFinance.
Bob berpendapat, alih-alih menyoal batasan usia, lowongan kerja harus diperbanyak. Cara ini menurutnya juga untuk merespons banyaknya suplai pada pasar tenaga kerja.
Di samping penambahan lowongan kerja, ia juga mengatakan perlu ada reskilling yang juga didukung dana dari pemerintah. Dengan begitu, keterampilan tenaga kerja terus relevan dan dapat mendukung karier.
"Memang ini perlu dana dari pemerintah untuk reskilling mereka, untuk mendapatkan skill yang lebih baik lagi sehingga mereka mendapatkan income yang lebih bagus lagi. Jadi peningkatan kesejahteraan pekerja itu diperoleh dari reskilling, bukan dari peningkatan upah minimum (UM)," imbuhnya.
(twu/pal)