Pada tahun lalu "brain rot" dinobatkan sebagai Kata Tahun 2024 versi Oxford. Frasa tersebut didefinisikan sebagai dugaan kemunduran mental atau intelektual seseorang yang diakibatkan terlalu banyak menonton konten daring yang remeh atau tidak menstimulasi, seperti video TikTok misalnya.
Sebuah penelitian belum lama ini dari para ilmuwan otak di Tianjin Normal University China mengungkapkan hal senada.
Apa yang Ditemukan dalam Studi Tersebut?
Para ilmuwan tersebut memindai otak lebih dari seratus mahasiswa sarjana dan meminta mereka mengisi kuesioner tentang kebiasaan mereka menonton video daring pendek.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Survei tersebut mencakup pernyataan seperti, "Hidup saya akan terasa hampa tanpa video pendek" dan "Tidak dapat menonton video pendek akan sama menyakitkannya dengan kehilangan seorang teman". Peserta diminta menunjukkan seberapa besar mereka setuju.
Menariknya, para peneliti menemukan mereka yang merasa paling terikat dengan video pendek memiliki perbedaan yang nyata dalam struktur otak. Para peserta ini memiliki lebih banyak materi abu-abu di korteks orbitofrontal (OFC) mereka, wilayah di dekat bagian depan otak yang terlibat dalam pengambilan keputusan dan pengaturan emosi.
Demikian pula, mereka memiliki lebih banyak materi abu-abu di otak kecil mereka, yakni struktur kecil berbentuk kembang kol di bagian belakang otak yang berperan dalam gerakan dan emosi.
Peneliti menyimpulkan ini adalah berita buruk bagi para penggemar TikTok karena memiliki OFC yang terlalu besar dapat menjadi tanda peningkatan kepekaan terhadap reward/penghargaan dan stimulasi yang terkait dengan konten video pendek. Mereka berspekulasi menonton terlalu banyak video TikTok mungkin telah menyebabkan pembengkakan saraf tersebut.
Di sisi lain, mereka menilai otak kecil yang lebih kuat dapat membantu otak memproses konten video pendek dengan lebih efisien, mungkin akibat dari seringnya menonton secara berlebihan. Hal ini dapat menciptakan siklus penguatan, di mana menonton lebih banyak video memperkuat jalur-jalur otak ini, sehingga kebiasaan tersebut semakin mengakar.
Tim tersebut juga melakukan pemindaian otak kedua, melacak aktivitas otak peserta saat mereka beristirahat dengan mata tertutup.
Mereka menemukan sinkronisasi aktivitas yang lebih besar dalam beberapa area otak. Ini termasuk korteks prefrontal dorsolateral (daerah yang terlibat dalam pengendalian diri), korteks cingulate posterior (area yang terlibat dalam memikirkan diri sendiri), thalamus (semacam stasiun relai untuk sinyal otak), dan otak kecil.
Para peneliti menjelaskan perbedaan fungsional otak ini dapat mencerminkan berbagai masalah di antara peserta yang lebih kecanduan. Masalah tersebut termasuk kesulitan melepaskan diri dari video dan kecenderungan untuk melakukan perbandingan sosial yang berlebihan saat menontonnya.
Mereka juga meminta peserta untuk mengisi kuesioner tentang rasa iri hati. Faktor ini diukur dengan seberapa besar mereka setuju dengan pernyataan seperti, "Saya berusaha untuk mencapai prestasi yang lebih tinggi dari orang lain".
Dikutip dari BBC Science Focus, yang menarik, para ilmuwan menemukan banyak kaitan antara kecanduan video dan perbedaan otak juga dikaitkan dengan tingkat rasa iri yang lebih tinggi. Hal ini menunjukkan rasa iri dapat membuat seseorang lebih cenderung menonton video pendek dan seiring waktu kebiasaan ini dapat menyebabkan perubahan yang berpotensi membahayakan di otak.
Apakah TikTok Menyebabkan 'Brain Rot'?
Penting untuk memahami keterbatasan mendalam dari penelitian ini. Penting juga untuk mempertimbangkan penelitian ini dalam konteks sejarah yang lebih luas karena teknologi dan media telah lama memicu klaim-klaim neurologis.
Sudah hampir 20 tahun sejak majalah The Atlantic menerbitkan fitur sampul yang menanyakan "Apakah Google membuat kita bodoh?" dan jawaban yang diklaim, singkatnya adalah "Ya!".
Penulisnya, Nicholas Carr menyesalkan ia pernah menjadi "penyelam di lautan kata-kata". Namun sekarang, berkat Google ia disebut meluncur "di permukaan seperti orang di jet ski".
Banyak sekali penelitian pencitraan otak dengan kualitas yang meragukan diterbitkan pada era yang sama. Banyak pada waktu itu yang mengaku menunjukkan efek bencana World Wide Web.
Hampir dua dekade berlalu dan manusia baik-baik saja. Namun tentu saja, ketakutan sebelumnya ini terjadi sebelum munculnya TikTok.
Dikutip dari BBC SCience Focus, neurosaintis kognitif Dr Christian Jarett bertanya kepada Prof Peter Etchells, seorang ahli tentang efek psikologis teknologi digital di Bath Spa University.
"Sejauh pengetahuan saya tidak ada sains yang mendukung gagasan bahwa video pendek secara khusus atau unik buruk dalam hal efek pada otak," ujar Prof Etchells.
Lalu, mungkinkah studi tentang video pendek merupakan penjelasan sains yang positif? Tidak juga, bukti menunjukkan sebaliknya.
Keterbatasan Penelitian
Ada beberapa keterbatasan studi tersebut. Jika tujuannya adalah untuk membuktikan menonton TikTok membahayakan otak, pendekatan yang lebih efektif adalah memindai otak peserta sebelum dan sesudah mereka mengonsumsi konten yang dianggap berbahaya dalam jumlah yang berbeda.
Akan tetapi, penelitian ini sepenuhnya bersifat cross-sectional, artinya penelitian ini hanya menangkap satu momen dalam satu waktu, tidak ada perbandingan sebelum dan sesudah untuk menunjukkan hubungan sebab dan akibat.
"[Dari penelitian ini] Anda tidak dapat mengatakan apa pun tentang apakah menonton video pendek menyebabkan perubahan pada otak, atau apakah jenis struktur otak tertentu mendahului jenis konsumsi video tertentu," jelas Etchells.
"Penelitian ini tidak benar-benar menambahkan sesuatu yang berguna bagi pemahaman kita tentang bagaimana teknologi digital memengaruhi kita," imbuhnya.
Bahkan jika kita menerima spekulasi para peneliti bahwa video TikTok mungkin telah menyebabkan perubahan otak yang mereka amati, masih ada beberapa masalah yang perlu dipertimbangkan.
Pertama, para peneliti menganalisis seluruh otak untuk mencari perbedaan yang berkorelasi dengan skor pada skala kecanduan video. Pendekatan ini merupakan masalah umum dalam penelitian pencitraan otak karena meningkatkan risiko menemukan hasil positif palsu.
Dengan kata lain, semakin banyak perbandingan yang dibuat, semakin besar kemungkinan menemukan perbedaan acak yang tampak signifikan tetapi sebenarnya hanya kebetulan.
Kedua, bahkan jika kita menerima bahwa perbedaan otak yang diamati itu nyata dan disebabkan oleh menonton TikTok, menafsirkannya melibatkan banyak spekulasi. Para peneliti membingkai peningkatan sinkronisasi di otak yang dikenal sebagai homogenitas regional (ReHo) sebagai efek negatif.
Menurut Etchells, ReHo sendiri pada dasarnya tidak baik atau buruk. Penelitian lain, bahkan telah menghubungkan peningkatan ReHo di wilayah otak tertentu dengan hasil positif, seperti yang diamati dalam pelatihan meditasi.
Mungkin kelemahan terbesar penelitian ini adalah ketergantungannya pada ukuran kecanduan video pendek berbasis kuesioner, yang tidak memiliki validitas ilmiah yang kuat.
"Kecanduan video pendek pada dasarnya adalah istilah yang diciptakan, dan bukan gangguan klinis yang diformalkan dan dapat didiagnosis," kata Etchells.
Walau terdapat pendapat seperti ini, waktu yang dihabiskan untuk menonton video yang receh masih bisa menjadi masalah bagi sebagian orang. Hal ini penting untuk fokus pada pengembangan kebiasaan media yang lebih sehat.
"Sering kali, ketika kita melihat penelitian seperti ini menjadi berita, itu adalah kesempatan yang baik untuk berhenti sejenak dan merenungkan apakah kita senang dengan penggunaan teknologi kita," kata Etchells.
"Jika ada kekhawatiran di sana, ada baiknya memikirkan apa yang dapat Anda lakukan untuk menyingkirkan hal-hal yang tidak Anda sukai sambil menghargai bahwa kita memperoleh banyak manfaat dari teknologi ini," ujarnya.
(nah/faz)