Sejarah Beduk, Alat Musik Pengiring Takbiran Malam Idul Fitri

ADVERTISEMENT

Sejarah Beduk, Alat Musik Pengiring Takbiran Malam Idul Fitri

Devita Savitri - detikEdu
Minggu, 30 Mar 2025 20:00 WIB
Beduk terbesar di dunia ada di Purworejo, Jawa Tengah
Sejarah beduk yang jadi alat musik pengiring saat takbiran Idulfitri. Foto: Weka Kanaka/detikcom
Jakarta -

Suara beduk bukanlah suara yang aneh bagi umat muslim, terutama di Indonesia. Alat tersebut dibunyikan sebagai pertanda beberapa momen beribadah dari adzan untuk salat lima waktu hingga mengiring momen takbiran saat malam Hari Raya Idulfitri.

Beduk menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) VI Daring berarti gendang besar yang biasanya ada di surau atau masjid. Beduk dipakai dengan cara dipukul untuk memberitahukan waktu salat.

Pada dasarnya, beduk merupakan alat musik. Ya, alat musik pukul yang sumber bunyinya berasal dari kulit dan dibunyikan dengan stik kayu dengan ujung dibalut kain atau karet ban.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ukuran beduk beragam, umumnya memiliki panjang kira-kira 1-1,5 meter dengan diameter 30-40 cm. Tapi tahukah detikers bila kehadiran beduk tidak serta merta hadir di Indonesia?

Banyak pendapat dari sejarah beduk di Nusantara. Dirangkum detikEdu, berikut sejarahnya.

ADVERTISEMENT

Sejarah Beduk di Indonesia

Mengutip laman Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), tradisi menabuh beduk di Indonesia memiliki beberapa pendapat. Salah satunya menjelaskan bila beduk sudah ada di Indonesia dan meluas pada abad ke-16.

Pendapat ini disampaikan oleh komandan ekspedisi Belanda, Cornelis de Houtman melalui catatan perjalanannya, De Eerste Boek. Saat dirinya tiba di Banten, ia menuliskan melihat genderang yang digantung dan dibunyikan menggunakan tongkat pemukul.

Tetapi alat itu dahulu dibunyikan sebagai peringatan adanya bahaya dan penanda waktu. Ketika Islam datang, keberadaan beduk semakin masif dan dikaitkan oleh Wali Songo.

Selanjutnya pendapat kedua berkaitan dengan Laksamana Cheng Ho, seorang penjelajah terkenal dari Cina. Ia mengembara antara 1405-1433 dan sempat singgah di Indonesia.

Kala itu, Cheng Ho disebut menjelajah dengan pasukan besar. Armadanya terdiri dari 307 kapal dengan 27 ribu pelaut.

Bahkan hingga saat ini disebut belum ada pengembara yang melebihi armada milik Laksamana Cheng Ho. Tidak sekadar singgah, ia diyakini turut menyebarkan agama Islam di pelosok Nusantara.

Pada awal abad ke-15, Cheng Ho diutus oleh Raja Ming Cina untuk datang ke Semarang, Indonesia. Kala itu ia disambut baik oleh Raja Semarang.

Cheng Ho mempertujukan kesenian beduk ketika memberi tanda baris-berbaris oleh tentaranya. Sebelum kembali ke Cina, Cheng Ho kemudian memberikan hadian beduk itu kepada Raja Semarang.

Raja tersebut menerima beduk tersebut dan menyebutkan akan mendengarkan bunyi beduk hanya di masjid. Sejak saat itu, beduk menjadi bagian yang tak terpisahkan dari masjid.

Sama dengan asal-usul yang digambarkan Cornelis de Houtman, beduk kemudian populer dan diperkenalkan oleh para Wali Songo. Mereka menggunakan alat musik beduk untuk menyebarkan agama Islam kepada masyarakat Jawa.

Mirip dengan catatan yang disampaikan de Houtman, M Habib Mustopo dalam buku Sejarah untuk Kelas 2 SMA menjelaskan beduk sudah jadi tradisi bangsa Indonesia sejak zaman dahulu. Menurutnya, beduk juga menjadi bukti percampuran kepercayaan lokal antara Hindu-Budha dan Islam.

Bangsa Indonesia mempergunakan alat tersebut sebagai tanda pemberitahuan atau panggilan untuk mengumpulkan orang. Baik dalam keadaan bahaya maupun upacara-upacara keagamaan.

Dari banyaknya pendapat tersebut, satu hal yang tidak terbantahkan adalah beduk kini menjadi budaya Indonesia. Kita bisa dengan mudah menemukannya di masjid-masjid seluruh Indonesia.

Saat ini beduk terbesar disampaikan Ahmad Rofi' Usmani dalam buku Jejak-jejak Islam disebut ada di Masjid Raya Purworejo, Jawa Tengah. Beduk ini punya diameter 194 cm dengan panjang 292 cm.

Konon beduk itu diberi nama "Kyai Bagelen" karena dibuat pada masa Pangeran Diponegoro yang diperintahkan Raden Tumenggung Cokronegoro I, Bupati Purworejo pertama. Tahun pembuatannya tidak dapat dipastikan secara jelas, tetapi diperkirakan antara 1832-1840 M.

Peran beduk sangat erat dalam menyambut atau merayakan Hari Raya Idulfitri. Banyak tradisi di Indonesia dilakukan dengan iringan suara khas beduk.

Contohnya seperti yang dikutip dari laman Kementerian Agama yakni, tradisi Meugang di Aceh, Ronjok Sayak di Bengkulu, Bedulang di Bangka, Batoro di Riau, Grebeg Syawal di Yogyakarta, dan Ngadongkapkeun di Banten.

Lalu ada tradisi Ngejot di Bali, Perang Topat di Lombok, Binarundak di Sulawesi Utara, hingga Festival Meriam Karbit di Kalimantan Barat.




(det/nwk)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads