Daya Beli Turun Gegara Precautionary Saving, Apa Itu? Ini Penjelasan Dosen Ekonomi

ADVERTISEMENT

Daya Beli Turun Gegara Precautionary Saving, Apa Itu? Ini Penjelasan Dosen Ekonomi

Nikita Rosa - detikEdu
Selasa, 25 Mar 2025 20:00 WIB
Ilustrasi Pasar
Ilustrasi Jual Beli di Masyarakat. (Foto: Istimewa)
Jakarta -

Penurunan daya beli masyarakat Indonesia pada awal 2025 tengah menjadi sorotan. Dosen ekonomi menduga jika penurunan ini akibat precautionary saving. Apa itu?

Fatkur Huda selaku Pakar Ekonomi Universitas Muhammadiyah Surabaya (UM Surabaya) mengatakan Indeks Harga Konsumen (IHK) atau inflasi Februari 2025 yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan Indonesia mengalami deflasi selama dua bulan berturut-turut. Tingkat deflasi bulanan sebesar -0,48% dan deflasi tahunan (year-on-year) sebesar -0,09%.

Komoditas yang paling banyak berkontribusi pada deflasi antara lain tarif listrik, beras, daging ayam ras, bawang merah, tomat, dan cabai merah. BPS mencatat jika kondisi ini merupakan deflasi tahunan pertama dalam 25 tahun terakhir.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Hal ini menunjukkan adanya penurunan konsumsi masyarakat secara signifikan, yang biasanya menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi di bulan Ramadan," ujar Fatkur dalam laman UM Surabaya dikutip Selasa (25/3/2025).

Lebih lanjut, Fatkur menduga jika kondisi ini diakibatkan oleh fenomena precautionary saving. Apa itu?

ADVERTISEMENT

Precautionary Saving Diduga Sebagai Penyebab Daya Beli Menurun

Fatkur merujuk data dari Mandiri Spending Index (MSI) yang menunjukkan penurunan signifikan pada sektor belanja non-esensial, dengan porsi belanja hiburan, olahraga, dan rekreasi turun dari 7,7% menjadi 6,5%, sementara belanja supermarket meningkat ke 15,9%, mengindikasikan peralihan ke kebutuhan dasar. Fenomena ini kemudian dikenal sebagai precautionary saving.

"Fenomena ini dikenal sebagai precautionary saving, di mana masyarakat lebih memilih menyimpan uang sebagai bentuk antisipasi ketidakpastian ekonomi di masa depan yang kemudian berdampak pada pola konsumsi," jelasnya.

Precautionary saving ini didorong dari tingginya angka Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Berdasarkan data dari Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) mencatat jika sepanjang tahun 2024, sebanyak 77.965 tenaga kerja kehilangan pekerjaan, dengan tambahan 3.325 orang terdampak PHK pada Januari 2025. Bahkan, PHK massal di PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) per 1 Maret 2025 menyebabkan lebih dari 10.000 karyawan kehilangan sumber pendapatan mereka.

Kondisi ini memberikan pengaruh terhadap meningkatnya angka pengangguran, sehingga masyarakat merasa cemas dan dengan terpaksa semakin mengurangi konsumsi kebutuhan tersier.

"Kita tahu bahwa konsumsi rumah tangga memainkan peran kunci dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Jika kemudian konsumsi melemah, maka permintaan agregat menurun, yang berpotensi memperlambat pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan," jelasFatkur.

Pemerintah Harus Turun Tangan

Fatkur menegaskan pemerintah untuk mendorong daya beli masyarakat. Hal ini mengingat pentingnya konsumsi dalam menjaga stabilitas ekonomi.

Misal dengan pemberian insentif fiskal bagi dunia usaha untuk menghindari PHK lebih lanjut, memberikan bantuan sosial bagi kelompok ekonomi rentan, serta kebijakan yang mendorong pertumbuhan sektor ritel dan UMKM.

"Tanpa langkah-langkah ini, risiko stagnasi ekonomi akan semakin besar yang kemudian dapat memperburuk kesejahteraan masyarakat dalam jangka panjang,"pungkasnya.




(nir/nwk)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads