Revisi Undang-Undang (RUU) TNI, Polri, hingga Kejaksaan tengah bergulir di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Terbaru, media sosial dihebohkan dengan rapat Panja Komisi I DPR RI dengan pemerintah yang membahas RUU TNI, diketahui oleh kelompok sipil.
Kelompok sipil yang mengatasnamakan diri dari Koalisi Reformasi Sektor Keamanan ini meminta agar rapat Panja RUU TNI dihentikan. Mereka mempersoalkan rapat Panja ini digelar secara tertutup.
"Kami dari Koalisi Reformasi Sektor Keamanan pemerhati di bidang pertahanan, hentikan, karena tidak sesuai ini diadakan tertutup," ucap salah satu peserta aksi yang menolak rapat Panja bernama Andrie di Hotel Fairmont, Senayan, Jakarta Pusat, sebagaimana dikutip dari detikNews Minggu (16/3/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Bapak-Ibu yang terhormat, yang katanya ingin dihormati, kami menolak adanya pembahasan di dalam, kami menolak adanya dwifungsi ABRI, hentikan proses pembahasan RUU TNI," tambahnya.
Menyoal hal ini, Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara FSH UINSA Surabaya, Titik Triwulan Tutik memberikan catatan kritis terkait RUU TNI, Polri, hingga Kejaksaan. Menurutnya, RUU tersebut bukan bersifat memperkuat pengawasan, tetapi justru berlomba-lomba menambah kewenangan masing-masing.
"Ketentuan ini membuka peluang prajurit aktif mengisi jabatan di semua kementerian atau lembaga. Hal ini sebagaimana pada masa pemberlakuan dwifungsi ABRI di era Orde Baru," katanya dalam detikNews.
Apa Itu Dwifungsi ABRI?
Dosen Hukum Tata Negara di Fakultas Hukum Universitas Jambi, Muhammad Eriton, SH, MH, CLA, menjelaskan dwifungsi ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) mengandung pengertian bahwa ABRI mengemban dua fungsi.
Fungsi pertama sebagai kekuatan hankam (pertahanan dan keamanan). Kemudian fungsi kedua sebagai kekuatan sosial politik.
Konsep dwifungsi ABRI, pertama dicetuskan oleh Jenderal AH Nasution pada 11 November 1958. Kemudian di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto, dwifungsi ABRI dilandaskan melalui Ketetapan MPRS No II Tahun 1969.
Tujuan dwifungsi ABRI yakni untuk mewujudkan stabilitas nasional yang dinamis di segenap aspek kehidupan bangsa dalam rangka memantapkan tannas (Ketahanan Nasional) dan tujuan nasional berdasarkan Pancasila.
"Fungsi sebagai kekuatan sosial politik hakikatnya adalah tekad dan semangat pengabdian ABRI untuk ikut secara aktif berperan serta bersama-sama dengan segenap kekuatan sosial politik lainnya memikul tugas dan tanggung jawab perjuangan bangsa Indonesia dalam mengisi kemerdekaan dan kedaulatannya," ucapnya, dikutip dari laman resmi Universitas Jambi.
Menurut Eriton, pada mulanya, penempatan personil militer yang meluas pada instansi/lembaga pemerintahan dan lembaga masyarakat, menimbulkan silang pendapat. Akhirnya, kondisi ini menuntut perlunya aktualisasi dwifungsi ABRI (fungsi sospol) di kemudian hari.
Namun, aktualisasi dwifungsi ABRI bisa efektif apabila ada keseimbangan kepentingan, yaitu keharmonisan antara kepentingan militer dan kepentingan sipil.
"Konsensus selalu dapat dibuat atas dasar tidak satu pun pihak boleh mendominasi pihak yang lain. Kecurigaan terhadap golongan lain harus dihindari, kearifan harus ditumbuhkan agar konflik internal tentang hal ini tidak merebak menjadi perpecahan yang mengganggu tannas," paparnya.
Berakhirnya Orde Baru dan Reformasi ABRI pada 1998-1999
Dalam buku Sejarah 3 SMA Kelas XII yang ditulis oleh Drs Sardiman A M, M Pd., selepas Soeharto turun, BJ Habibie yang menggantikan posisi Presiden RI langsung membuat keputusan yang positif. Keputusannya yakni memperjuangkan reformasi, di antaranya:
- Membuka ruang bagi kebebasan termasuk kemerdekaan berserikat dan kebebasan pers
- Membebaskan para tahanan politik (tapol) Orde Baru
- Memberi peluang berlangsungnya Pemilu yang demokratis
- Membiarkan lembaga kepresidenan lebih longgar dalam menerima kritik.
Pada masa BJ Habibie, orang bebas mengemukakan pendapatnya di muka umum, baik melalui rapat umum, unjuk rasa atau demonstrasi. Hal ini dijamin oleh UU No 9 tahun 1998 yang saat itu dibuat oleh DPR dan pemerintah.
BJ Habibie juga melakukan reformasi dalam tubuh ABRI. Sebab, pada masa Orde Baru, ABRI mempunyai kekuatan yang sangat strategis dalam bidang pertahanan dan keamanan serta dalam sosial politik masyarakat melalui dwifungsi ABRI.
Pada era awal reformasi itu, konsep dwifungsi ABRI secara substansial bertentangan dengan tuntutan dan semangat global ke arah demokratisasi.
Kemudian pada 5 Mei 1999, POLRI dipisahkan dari ABRI. Kemudian ABRI yang terdiri dari Angkatan Darat (AD), Angkatan Laut (AL), dan Angkatan Udara (AU) berubah nama menjadi TNI.
Mengembalikan Dwifungsi ABRI Bisa Mengancam Fondasi Demokrasi
Direktur Eksekutif Amnesty Universitas Negeri Semarang (Unnes), Raihan Muhammad, berpendapat bahwa mengembalikan dwifungsi ABRI merupakan langkah mundur bagi bangsa Indonesia. Kondisi ini berpotensi mengancam fondasi demokrasi yang telah dibangun dengan susah payah.
Menurutnya, keberadaan dwifungsi ABRI bisa menimbulkan campur tangan militer dalam urusan sipil. Jika ini terjadi, maka ada potensi banyak penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
"Pengalaman masa lalu harus menjadi pelajaran berharga bagi pemerintahan saat ini. Kembali pada praktik lama yang telah dikecam oleh rakyat Indonesia merupakan pengkhianatan terhadap semangat reformasi yang seharusnya terus dijaga dan diperkuat," ungkap Raihan.
Ia menilai, bahwa kritik dan penolakan terhadap dwifungsi ABRI harus terus diutarakan secara terbuka oleh seluruh elemen masyarakat yang berkomitmen untuk menjaga demokrasi dan memperjuangkan keadilan.
"Keberhasilan Reformasi 1998 tidak boleh disia-siakan dengan keputusan yang mengancam kembali ke era kelam tersebut," ujarnya.
Alih-alih fokus kepada Revisi UU, Raihan menekankan TNI seharusnya fokus pada agenda reformasi institusinya, yang bertujuan memperkuat profesionalisme dan efektivitas militer, bukan terlibat dalam urusan sipil yang seharusnya menjadi domain pemerintahan sipil.
"Pentingnya profesionalisme militer memastikan bahwa TNI tetap terfokus pada tugas-tugas militernya yang utama, yakni mempertahankan dan melindungi kedaulatan negara," tuturnya.
(nah/nah)