Studi terbaru menemukan jika puasa bisa memperkaya daya ingat. Namun, studi juga menemukan ada kerugian yang ditimbulkan. Apa itu?
Menurut pakar, saat dalam kondisi lapar setelah mempelajari sesuatu, otak bisa memprioritaskan mengingat beberapa jenis informasi daripada yang lain. Hal ini terungkap dalam sebuah penelitian pendahuluan kecil yang diterbitkan dalam Neurobiology of Learning and Memory, Volume 218, March 2025.
Penelitian menemukan jika puasa setelah belajar meningkatkan ingatan untuk pengetahuan dan fakta umum, tetapi mengorbankan ingatan untuk detail tertentu seperti di mana dan kapan peristiwa terjadi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Teka-teki Kekuatan Ingatan
Selama ini, para ilmuwan telah tertarik pada bagaimana ingatan diperkuat, suatu proses yang dikenal sebagai konsolidasi. Tidur secara luas diakui sebagai waktu utama untuk proses ini.
Meski begitu, penelitian yang muncul menyarankan jika keadaan lain, seperti lapar, mungkin juga memengaruhi cara otak kita memperkuat informasi baru.
Penelitian sebelumnya pada hewan, dan sampai batas tertentu pada manusia, telah mengisyaratkan adanya hubungan antara puasa dan ingatan. Misalnya, penelitian pada lalat buah (Drosophila melanogaster) menunjukkan jika kelaparan dapat meningkatkan konsolidasi ingatan saat lalat terjaga.
Namun, tidak jelas apakah puasa secara khusus memengaruhi proses konsolidasi itu sendiri, atau apakah puasa memengaruhi aspek-aspek lain dari memori, seperti pembelajaran awal atau mengingat informasi di kemudian hari.
"Saya seorang peneliti memori dengan minat utama pada bagaimana tidur mengkonsolidasikan memori," kata penulis studi Jan Born, kepala Institut Psikologi Medis dan departemen Neurobiologi Perilaku di Universitas TΓΌbingen dalam PsyPot, dikutip Minggu (2/3/2025).
"Ketertarikan saya pada rasa lapar berasal dari sebuah studi pada Drosophila (oleh kelompok Amita Seghal) yang menunjukkan bahwa puasa dapat meningkatkan memori serta tidur, meskipun melalui mekanisme yang berbeda. Studi ini merupakan langkah pertama dalam menerapkan temuan-temuan pada Drosophila ini kepada manusia yang sehat," sambungnya.
Penelitian terhadap Manusia yang Berpuasa
Untuk mengeksplorasi pertanyaan ini pada manusia, para peneliti merekrut laki-laki sehat untuk dua eksperimen terpisah. Dalam setiap eksperimen, para peserta mengambil bagian dalam dua kondisi: satu di mana mereka berpuasa, dan yang lain di mana mereka makan makanan biasa.
Untuk memastikan perbandingan yang jelas, setiap peserta mengalami kondisi puasa dan makan pada waktu yang berbeda, dengan setidaknya jeda empat minggu di antaranya. Desain ini memungkinkan peneliti untuk membandingkan efek puasa dengan makan pada individu yang sama.
Sebelum memulai setiap kondisi, peserta menjalani diet biasa selama dua hari dan menghindari kafein dan alkohol. Pada hari pertama setiap kondisi, peserta tiba di lab setelah makan siang standar dan kemudian memulai periode puasa selama 18,5 jam. Keesokan paginya, dalam keadaan puasa, mereka melakukan beberapa tugas memori.
Dalam Eksperimen 1, tugas-tugas ini meliputi mempelajari pasangan kata, menyelesaikan tes memori visual menggunakan bentuk abstrak, dan melakukan latihan mengetuk jari untuk menilai memori keterampilan motorik.
Dalam Eksperimen 2, tugas bentuk visual diganti dengan tes memori 'Apa-Di Mana-Kapan' yang lebih kompleks, yang menguji memori untuk objek, lokasi, dan waktu. Tugas pasangan kata dan tugas mengetuk jari tetap sama dalam kedua eksperimen.
Setelah tugas-tugas pembelajaran ini, periode konsolidasi kritis dimulai. Dalam kondisi 'kenyang', peserta menerima makanan standar selama sepuluh jam berikutnya, termasuk sarapan, makan siang, dan camilan.
Dalam kondisi "puasa", mereka terus berpuasa selama periode sepuluh jam yang sama, hanya menerima air dan teh buah.
Dalam kedua kondisi tersebut, peserta menerima makan malam standar setelah periode konsolidasi sepuluh jam ini. Para peneliti dengan hati-hati melakukan standarisasi makanan untuk memastikan makanan tersebut tidak terlalu menarik, untuk meminimalkan potensi penguatan positif dari makan.
Makanan tersebut juga disesuaikan dengan kebutuhan kalori masing-masing peserta berdasarkan tinggi badan, berat badan, usia, dan tingkat aktivitas mereka.
Untuk menilai daya ingat, peserta kembali ke lab 24 atau 48 jam kemudian, tergantung pada percobaannya. Dalam Percobaan 1, daya ingat diuji setelah 48 jam, dan peserta dalam keadaan kenyang, setelah makan sebelum pengujian.
Dalam Percobaan 2, daya ingat diuji lebih awal, setelah 24 jam, dan peserta dalam keadaan berpuasa, mencerminkan keadaan mereka selama fase pembelajaran awal.
Selama sesi mengingat, peserta diuji pada tugas memori yang sama yang telah mereka pelajari sebelumnya. Sepanjang penelitian, para peneliti memantau kadar glukosa darah dan meminta peserta untuk menilai rasa lapar mereka untuk memastikan bahwa manipulasi puasa itu efektif.
Mereka juga menggunakan kuesioner untuk menilai suasana hati, kelelahan, dan rasa kantuk untuk memperhitungkan faktor-faktor ini dalam analisis mereka.
Hasil percobaan pertama menunjukkan jika berpuasa selama periode konsolidasi 10 jam meningkatkan daya ingat untuk pasangan kata.
Peserta dalam kondisi puasa mengingat lebih banyak pasangan kata dengan benar dan merespons lebih cepat saat mengingatnya dibandingkan saat mereka dalam kondisi kenyang. Namun, puasa mengganggu memori spasial
Para peneliti berspekulasi jika saat kita lapar, otak kita mungkin memprioritaskan pemadatan informasi dasar dan faktual sambil mungkin menekan penyandian informasi kontekstual yang terperinci.
Mereka menyarankan jika rasa lapar dapat mengurangi gangguan dari hipokampus, yang biasanya memainkan peran penting dalam memori episodik, sehingga memungkinkan konsolidasi representasi semantik yang lebih efisien di korteks. Namun, penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengonfirmasi dan memperluas temuan ini.
"Mungkin, orang harus menyadari bahwa (sedikit) kelaparan mungkin merupakan kondisi untuk meningkatkan (jenis) memori tertentu," kata Born.
(nir/faz)