Rencana pemerintah menggunakan 20 juta hektare lahan untuk cadangan pangan menuai polemik. Hal ini karena pemanfaatan lahan hutan yang sangat luas itu dianggap oleh pakar sebagai deforestasi.
Meski begitu, Menteri Kehutanan (Menhut), Raja Juli Antoni menegaskan, rencana pemerintah memanfaatkan hutan, tidak dilakukan dengan cara membuka lahan baru atau deforestasi.
"Saya tegaskan, area kehutanan cadangan, area hutan cadangan pangan, energi, dan air, tidak dilakukan dengan cara membuka hutan baru atau deforestasi," jelas Raja Juli dalam rapat kerja bersama Komisi IV DPR RI di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, pada Kamis (23/1/2025), dikutip dari detikFinance Jumat (24/1/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menhut Raja Juli mengatakan bahwa saat ini kawasan hutan baik produksi maupun lindung, teridentifikasi dalam kondisi terbuka karena LOA dan bekas kebakaran hutan.
Menurutnya, lahan tersebut dapat dioptimalkan dan berproduksi sebagai hutan cadangan pangan, energi, dan air. Area itu, katanya, akan dipulihkan melalui program rehabilitasi dan lahan dengan pola agroforestri atau multi-usaha kehutanan (MUK).
"Hal ini merupakan optimalisasi fungsi hutan, sebagai hutan cadangan pangan dan energi, serta air," terangnya.
Lahan Hutan untuk Cadangan Pangan Tetap Disebut Deforestasi...
Merespons hal ini, Guru Besar Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof Priyono Suryanto S Hut, MP, Ph D, mengatakan bahwa cara pandang pemerintah perlu dilebarkan, bukan hanya pergeseran ke LOA dan bekas kebakaran.
Menurutnya, pergeseran lokasi harus disertai dengan konsep yang komprehensif. Dia juga menjelaskan bahwa LOA merupakan logged over area atau biasa disebut kawasan hutan bekas tebangan.
"Pergeseran lokasi (ke LOA) bukan berarti bebas deforestasi-degradasi. Namun pergeseran lokasi yang disertai dengan konsep besar kehutanan untuk pangan, energi dan air seperti apa," kata Prof Priyono kepada detikEdu, Jumat (24/1/2025).
Menyoal cadangan pangan nasional, lanjutnya, narasi besar penguatnya perlu dirumuskan oleh pemerintah secara holistik. Tujuannya agar dalam implementasinya mendapatkan partisipasi para pihak.
"Seperti yang sering disampaikan oleh Presiden Prabowo Subianto agar energi anak bangsa ini tidak dibawa ke hal yang remeh temeh. Hanya sebatas setuju atau menolak," ujarnya.
"Di mana pun posisi kawasan hutan yang dicadangkan untuk pangan, energi dan air akan tetap mengarah pada deforestasi dan degradasi kalau konsepnya tidak holistik," tegas Dosen Fakultas Kehutanan UGM tersebut.
Prof Priyono yang juga ketua umum Masyarakat Agroforestri Indonesia (MAFI), menekankan bahwa pemerintah tetap perlu mengerem laju deforestasi, meski perlu menggunakan lahan hutan untuk cadangan pangan, energi, dan air.
"Rezim hutan untuk pangan, energi, dan air dengan menggunakan aliran warisan kehutanan kolonial (scientific forestry), maka sebenarnya nanti yang tercapai tidak kesekaligusan. Pangan, energi dan air berjalan tidak secara bersama. Namun saling menegasikan; fokus pangan dan energi menegasikan air. Fokus air tidak prospek untuk pangan dan energi. Meskipun dengan menggunakan pendekatan agroforestri baru," paparnya.
Proyek Zaman Penjajahan
Sebelumnya, Guru Besar Kehutanan UGM Prof Ir Widiyatno, S Hut, M Sc, Ph D, IPM, menyebut bahwa program proyek pangan yang dicanangkan pemerintah bukan hal yang baru. Sebab, program semacam ini sudah terjadi sejak zaman penjajahan.
Karena itu, dia khawatir program ini justru bisa menciptakan kerentanan traumatik. Pembukaan lahan, lanjutnya, tidak hanya berdampak pada keseimbangan alam, tetapi juga keadaan sosial pada masyarakat yang terdampak.
Terlebih dengan adanya dampak yang akan diterima penduduk asli sekitar hutan, maka berpotensi memunculkan konflik.
"Pada akhirnya hanya menyebabkan konflik internal dalam masyarakat dikarenakan politik penguasaan tanah. Tanah mereka diambil namun kesejahteraan tidak mereka dapatkan," ujarnya, sebagaimana dikutip dari laman resmi UGM, Jumat (24/1/2025).
Pemerhati kebijakan sosial ekonomi pertanian UGM, Prof Subejo, S P, M Sc, Ph D, bahkan berpendapat, melakukan alih fungsi lahan sebanyak 20 juta hektar yang direncanakan untuk sumber energi dinilai belum perlu untuk diimplementasikan.
Sebab, menurutnya, kebutuhan akan energi berbahan dasar kelapa sawit atau bioetanol masih bisa dicukupi dengan jumlah hutan sawit yang ada saat ini.
"Pembukaan lahan hutan juga memiliki banyak efek samping yang akan dirasakan yang mana sesuai dalam rencana pembangunan berkelanjutan perlu mempertimbangkan keseimbangan keragaman hayati dan ketersediaan pangan," tuturnya.
(faz/pal)