Mengenal Ikan Coelacanth yang Ditemukan di Gorontalo, Si Purba Era Dinosaurus

ADVERTISEMENT

Mengenal Ikan Coelacanth yang Ditemukan di Gorontalo, Si Purba Era Dinosaurus

Novia Aisyah - detikEdu
Senin, 20 Jan 2025 11:30 WIB
Warga di Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo, dihebohkan dengan penemuan ikan Coelacanth sepanjang 1 meter oleh nelayan bernama Oskar Kaluku (60).
Foto: Nelayan menemukan ikan Coelacanth sepanjang 1 meter. (dok. istimewa)
Jakarta -

Nelayan di Desa Imana, Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo menemukan ikan purba coelacanth. Oskar Kaluku (60), nama nelayan tersebut, menemukan coelacanth berukuran panjang 1 meter dengan berat 41 kilogram dalam keadaan sudah mati.

"Iya, nelayan kami warga Desa Imana (menemukan) ikan ini namanya coelacanth, ini adalah ikan purba, ikan langka yang dilindungi," kata Kepala Desa Imana, Isnain Talaban, dikutip dari detikSulsel, Senin (20/1/2025).

Isnain menyebut, Oskar menemukan ikan ini ketika sedang melaut pada Kamis (16/1/2025) sekitar pukul 16.00 WITA. Ia mengatakan ikan coelacanth itu mendekati perahu Oskar.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Itu ikan dilihat ikan besar kaya menghampiri perahunya. Ketika dilihat ikan sudah mendekati perahuhnya pak Oskar ambil alat pancing namanya gancu kalau di sini nelayan bilang ganjo, kemudian pak Oskar ambil dengan gancu ini," jelasnya.

Sesampainya di darat dan Oskar memperlihatkan ikan itu kepada warga, mereka merasa kaget dengan ukuran ikan itu. Warga baru pertama kali melihat ikan ini dan bahkan tak mengetahui namanya.

ADVERTISEMENT

"Iya, ikan ini sudah mati. Panjang ikan 1 meter untuk berat 41 kg itu yang kami dengar dari nelayan," ujar Isnain.

Ikan coelacanth berhasil selamat dari beberapa era kepunahan. Ikan jenis ini mampu bertahan dari kepunahan yang menggilas dinosaurus, selamat dari 'Great Dying' yang memusnahkan sekitar 90 persen spesies di bumi, dan selamat dari dua dari lima kepunahan massal bumi.

Coelacanth pertama kali dideskripsikan oleh Louis Agassiz pada 1836 dari sebuah fosil berusia 260 juta tahun. Ia menamai genus ikan tersebut Coelacanthus. Sejak saat itu, lebih banyak lagi fosil coelacanth yang ditemukan, dengan rentang usia 409-66 juta tahun.

Seperti dikutip dari Natural History Museum, ikan ini biasanya ditemukan 90-300 meter di bawah permukaan, di perairan bersuhu 18Β°C ke bawah.

Ikan ini berlindung di dalam gua pada siang hari dan keluar pada malam hari untuk berburu sotong, cumi-cumi, dan ikan. Diperkirakan mereka memiliki umur 100 tahun.

Pada 1975, para ilmuwan menemukan ikan ini melahirkan anak-anaknya. Telur menetas di dalam tubuh betina dan anak-anak ikan ini tumbuh sekitar 30 sentimeter sebelum dilahirkan setelah masa kehamilan lebih dari satu tahun.

Di masa lalu, coelacanth hidup di berbagai habitat termasuk laut dangkal, danau air tawar dan sungai, serta daerah laut yang lebih dalam. Saat ini, coelacanth secara khusus terkait dengan daerah vulkanik perairan dalam, seperti Kepulauan Komoro.

Penemuan Ikan Coelacanth di Afrika dan Indonesia

Pada 22 Desember 1938 kurator East London Museum di Afrika Selatan, Marjorie Courtenay-Latimer, melihat seekor ikan yang tidak seperti ikan lainnya. Ikan tersebut tertangkap dalam jaring pukat, dan dengan panjang 1,5 meter dengan lapisan sisik berwarna biru cerah dan sirip yang aneh dan berdaging.

Untuk mengidentifikasi temuannya, Courtenay-Latimer meminta bantuan JLB Smith, seorang ahli ikan dan dosen di Universitas Rhodes di Makhanda (Grahamstown). Ketika menerima suratnya pada bulan Januari, Smith langsung terpikat.

"Dari gambar dan deskripsi Anda, ikan tersebut menyerupai bentuk yang telah lama punah," tulisnya sebagai balasan.

Korespondensi Courtenay-Latimer dan Smith terus berlanjut hingga Smith dapat mengunjungi London Timur pada Februari dan melihat sendiri spesimen tersebut.

"Saya berdiri seolah-olah terpaku pada batu. Ya, tidak ada keraguan sedikit pun, sisik demi sisik, tulang demi tulang, sirip demi sirip, itu adalah Coelacanth yang sebenarnya," ujar Smith dalam bukunya yang berjudul Old Fourlegs pada 1956.

Smith menamai ikan tersebut Latimeria chalumnae sesuai dengan nama Courtenay-Latimer dan tempat penangkapannya, yaitu muara Sungai Chalumna.

Ketika terungkap, kisah tentang fosil ikan yang kini masih hidup itu menjadi berita utama di seluruh dunia.

Smith mulai mencari spesimen kedua, tetapi harus menunggu hingga tahun 1952, ketika Ahmadi Abdulla, seorang nelayan dari Kepulauan Komoro yang berjarak 2.000 km jauhnya, mendapatkannya. Meskipun ini adalah coelacanth hidup kedua yang tercatat dalam ilmu pengetahuan barat, secara lokal ikan ini disebut gombessa. Dua hingga tiga ekor telah ditangkap setiap tahun saat memancing di malam hari.

Ikan tersebut dianggap sangat penting sehingga sebuah pesawat militer dikirim untuk mengambilnya. Perhatian dunia pun kembali tersita. Bahkan Hollywood pun terpikat, dengan penemuan ini yang diduga menginspirasi monster dari film "Creature from the Black Lagoon" tahun 1954.

Sejak 1952, L. chalumnae telah ditemukan di tempat lain di pantai timur Afrika, termasuk di Madagaskar, Mozambik, dan Kenya.

Pada 1997, hampir 60 tahun setelah penemuan L. chalumnae di Afrika Selatan, coelacanth kembali mengejutkan dunia. Di sebuah pasar terbuka di Pulau Sulawesi, Arnaz Mehta Erdmann dan suaminya yang seorang ahli ichthyologist, Mark Erdmann, menemukan seekor ikan besar berwarna cokelat yang langsung dikenali sebagai coelacanth.

Ikan tersebut telah ditangkap secara lokal dan seperti halnya Smith, perburuan pun berlanjut untuk mendapatkan spesimen kedua. Para nelayan mengenal hewan tersebut sebagai raja laut, namun baru pada tahun berikutnya, tangkapan lainnya dilaporkan.

Dari analisis DNA, para ilmuwan dapat mengetahui bahwa ikan Indonesia itu adalah spesies yang berbeda dengan L. chalumnae. Ahli ikan dari Prancis, Laurent Pouyaud, secara resmi menamai spesies baru ini Latimeria menadoensis.

Persaingan sengit terjadi di antara kedua tim, dengan Erdmann menyatakan bahwa penamaan tersebut merupakan tindakan pembajakan ilmiah yang tidak terhormat.

Coelacanth Sulawesi dianggap rentan oleh International Union for Conservation of Nature, sedangkan coelacanth Samudra Hindia Barat terancam punah. Kedua spesies ini sekarang dilindungi dari perdagangan oleh Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES).




(nah/nwy)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads