Ilmuwan Ubah Bakteri di Kulit Jadi Vaksin, Benarkah Tak Harus Disuntikkan?

ADVERTISEMENT

Ilmuwan Ubah Bakteri di Kulit Jadi Vaksin, Benarkah Tak Harus Disuntikkan?

Hani Muthmainnah, Fahri Zulfikar - detikEdu
Sabtu, 18 Jan 2025 16:00 WIB
ahli bioteknologi Stanford Michael Fischbach dan timnya menciptakan vaksin topikal yang melindungi tikus dari tetanus.
Foto: Stanford University/ Linda A.Cicero/Ahli bioteknologi Stanford Michael Fischbach dan timnya menciptakan vaksin topikal yang melindungi tikus dari tetanus.
Jakarta -

Bagaimana jadinya jika vaksin berbentuk krim dan dioleskan, bukan disuntik? Hal ini menjadi kenyataan berkat studi dari para peneliti Universitas Stanford.

Dalam studi yang terbit di Nature pada 11 Desember 2024, para peneliti melakukan terhadap Staphylococcus epidermidis, spesies bakteri yang umumnya tidak berbahaya dan dapat menjajah kulit. Mereka menemukan bahwa sistem imun memberikan respons yang jauh lebih agresif terhadap S. epidermidis daripada yang diperkirakan siapa pun.

Para peneliti fokus terhadap aspek utama respons imun-produksi antibodi. Hal ini diuji coba pada seekor tikus yang kulitnya biasanya tidak terdapat S. epidermidis.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Peneliti ingin mengetahui apakah akan memunculkan respons antibodi terhadap mikroorganisme tersebut jika mikroorganisme itu muncul di sana.

Pembuktian Vaksinasi pada Tikus

Profesor Bioteknologi dan Direktur Keluarga Liu di Stanford, Michael Fischbach, Ph D, melakukan percobaan awal dengan mencelupkan kapas ke dalam botol kecil berisi S. epidermidis. Kapas tersebut kemudian digosokkan pada kepala tikus.

ADVERTISEMENT

Dia dan timnya kemudian mengambil darah pada waktu tertentu selama enam minggu berikutnya. Hasilnya, sistem kekebalan tikus ini bisa menghasilkan antibodi yang mengikat S. epidermidis.

"Respons antibodi tikus terhadap S. epidermidis, 'mengejutkan'," kata Fischbach, dikutip dari laman Universitas Stanford.

"Kadar antibodi tersebut meningkat perlahan, lalu sedikit lebih banyak lagi dan kemudian lebih banyak lagi," imbuhnya.

Selama enam minggu, diketahui bahwa antibodi tersebut mencapai konsentrasi yang lebih tinggi daripada yang diharapkan dari vaksinasi biasa dan antibodi tersebut tetap berada pada kadar tersebut.

Fischbach mengatakan bahwa respons antibodi mereka sama kuat dan spesifiknya seperti saat bereaksi terhadap patogen.

"Hal yang sama tampaknya terjadi secara alami pada manusia," lanjutnya.

"Kami memperoleh darah dari donor manusia dan menemukan bahwa kadar antibodi yang beredar di dalam darah mereka yang ditujukan terhadap S. epidermidis sama tingginya dengan apa pun yang biasa kita dapatkan dari vaksinasi," tambahnya.

Proses Agar Vaksin Bisa Siap Pakai

Fischbach kemudian mempelajari bagaimana vaksin itu bisa dipakai bukan dengan disuntik melainkan dioleskan pada manusia. Mereka mengungkapkan bahwa bagian dari S. epidermidis yang paling bertanggung jawab untuk memicu respons imun yang kuat adalah protein yang disebut 'Aap'.

Peneliti menjelaskan, protein itu merupakan struktur besar seperti pohon yang lima kali lebih besar dari protein rata-rata.

Dalam hal ini, Aap bisa memicu peningkatan tidak hanya antibodi yang ditularkan melalui darah yang dikenal oleh ahli imunologi sebagai IgG, tetapi juga antibodi lain, yang disebut IgA, yang bersarang di lapisan mukosa lubang hidung dan paru-paru kita.

"Kami memunculkan IgA di lubang hidung tikus. Patogen pernapasan yang menyebabkan flu biasa, pilek, dan COVID-19 cenderung masuk ke dalam tubuh kita melalui lubang hidung. Vaksin biasa tidak dapat mencegah hal ini. Vaksin hanya bekerja setelah patogen masuk ke dalam darah. Akan jauh lebih baik jika patogen tidak masuk sejak awal," ungkap Fischbach.

Setelah mengidentifikasi Aap sebagai target utama antibodi, para ilmuwan mencari cara untuk memanfaatkannya. Peneliti mengganti gen yang mengkodekan sepotong toksin tetanus dengan fragmen gen yang mengkodekan komponen yang biasanya ditampilkan dalam dedaunan protein mirip pohon raksasa ini.

Kemudian mereka mengulangi celup (kapas) lalu usap, menggunakan S. epidermidis yang tidak diubah atau S. epidermidis hasil rekayasa hayati yang mengkodekan fragmen toksin tetanus.

Hasilnya, mereka menemukan bahwa mereka masih bisa mendapatkan respons antibodi yang menyelamatkan nyawa pada tikus hanya setelah dua atau tiga aplikasi.

"Kami tahu vaksin ini berhasil pada tikus. Selanjutnya, kami perlu membuktikannya berhasil pada monyet. Itulah yang akan kami lakukan," ujar Fischbach.

"Jika semuanya berjalan lancar, ia berharap pendekatan vaksinasi ini dapat memasuki uji klinis dalam waktu dua atau tiga tahun," pungkasnya.




(faz/faz)

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads