Gencatan senjata telah disepakati Hamas dan Israel mulai Minggu, 19 Januari 2025 mendatang. Kabar ini menjadi momen bahagia karena sudah lebih dari setahun sejak 7 Oktober 2023, Israel menghancurkan Palestina dan membunuh warga sipil.
Menurut laporan Al Arabiya News, yang dikutip Kamis (16/1/2025), gencatan senjata akan disepakati selama enam minggu. Kesepakatan ini disusul dengan pembebasan sandera dan penarikan pasukan Israel di Gaza secara bertahap.
Per Januari 2025 ini, telah menandai konflik yang berlangsung selama sekitar 15 bulan. Laporan Kementerian Kesehatan di Gaza pada Senin (13/1/2025) menyebutkan, jumlah korban jiwa sejak Oktober 2023 telah mencapai 46.584 orang dan sekitar 109.731 lainnya terluka dalam serangan Israel. Korban ini termasuk perempuan dan anak-anak.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain membunuh banyak orang di Gaza, serangan Israel ke Palestina juga menyumbang dampak lingkungan yang signifikan. Penelitian melaporkan bahwa konflik Israel-Gaza menyumbang emisi karbon, yang berpengaruh pada perubahan iklim global.
Penelitian tersebut dilakukan oleh tim peneliti dari Lancaster University, Queen Mary University of London, hingga University of Energy and Natural Resources, Ghana pada Oktober 2023 hingga Februari 2024.
Emisi yang Dihasilkan dalam 120 Hari Pertama Konflik
Studi memperkirakan emisi karbon yang dihasilkan dalam 120 hari pertama konflik Israel-Gaza. Hasilnya, emisi yang dihasilkan lebih besar daripada emisi tahunan di 26 negara dan wilayah.
Emisi merupakan sejumlah gas, panas, cahaya, dan semacamnya yang dihasilkan. Emisi karbon berarti gas yang dikeluarkan dari hasil pembakaran senyawa yang mengandung karbon ke atmosfer. Emisi ini yang dapat menyumbang pemanasan global yang bisa mengakibatkan suhu naik secara signifikan.
Peneliti Pasca Doktoral di Lancaster Environment Centre, Fred Otu-Larbi, mengatakan bahwa penelitian timnya memberikan perkiraan komprehensif mengenai emisi gas rumah kaca akibat konflik dan menyerukan wajibnya pelaporan emisi militer.
"Jika memperhitungkan infrastruktur perang yang dibangun oleh Israel dan Hamas, total emisinya meningkat melebihi emisi di 36 negara dan wilayah," ucapnya dikutip dari laman resmi Lancaster University.
Dalam studi yang bertajuk "A Multitemporal Snapshot of Greenhouse Gas Emissions from the Israel-Gaza Conflict" tersebut, peneliti juga memperkirakan bahwa emisi rekonstruksi dapat menimbulkan dampak lingkungan yang cukup besar.
Emisi yang terkait dengan pembangunan kembali Gaza diperkirakan lebih tinggi dibandingkan emisi tahunan di lebih dari 135 negara atau setara dengan emisi yang dihasilkan Swedia dan Portugal.
"Perkiraan tertinggi emisi dari aktivitas sebelum perang, masa perang, dan pasca perang sebanding dengan pembakaran 31.000 kiloton batu bara, cukup untuk menggerakkan sekitar 15,8 pembangkit listrik tenaga batu bara selama setahun," papar peneliti.
Dalam studinya, para peneliti memperkirakan emisi karbon dari konflik Israel-Gaza dalam tiga periode berbeda: kegiatan persiapan konstruksi sebelum konflik, emisi dari 120 hari pertama peperangan aktif (Oktober 2023 - Februari 2024), dan proyeksi emisi dari upaya rekonstruksi masa depan di Gaza.
Total emisi dari konflik yang langsung dalam 120 hari pertama, diperkirakan antara 420.265 dan 652.552 ton setara karbon dioksida (tCO2e). Angka ini meningkat drastis jika mempertimbangkan aktivitas konstruksi sebelum dan sesudah perang, yang mencapai antara 47.669.097 dan 61.443.739 tCO2e.
Emisi Karbon dari Operasi Militer
Menurut penelitian sebelumnya oleh Stuart Parkinson dari Scientists for Global Responsibility (SGR) dan Linsey Cottrell dari Conflict and Environment Observatory (CEOBS), operasi militer bertanggung jawab atas sekitar 5,5% emisi karbon global.
Sayangnya, emisi militer sering kali tidak dilaporkan dan kurang diteliti. Dalam hal ini, peneliti menganjurkan metodologi yang lebih baik untuk melacak dan melaporkan emisi, dengan menekankan pentingnya memasukkan emisi masa konflik ke dalam perhitungan iklim.
"Meskipun perhatian dunia terfokus pada ribuan nyawa yang hilang, dan jutaan orang yang kehilangan tempat tinggal di Gaza, hal ini tidak menghilangkan fakta bahwa emisi karbon dari perang lebih tinggi dari total emisi tahunan di beberapa negara," tutur penulis studi Fred Otu-Larbi.
Menurutnya, situasi ini hanya akan bertambah buruk jika terjadi (lebih banyak) korban jiwa dan kehancuran.
Maka dari itu, para peneliti menilai bahwa berbagai pihak harus memilih jalan damai daripada peperangan untuk melindungi kehidupan, lingkungan, dan mencegah dampak global yang lebih besar yakni perubahan iklim.
(faz/nwy)