Catatan Dua Dekade Tsunami Aceh, Bagaimana Pendidikan Dipulihkan di Serambi Makkah?

ADVERTISEMENT

Catatan Dua Dekade Tsunami Aceh, Bagaimana Pendidikan Dipulihkan di Serambi Makkah?

Fahri Zulfikar - detikEdu
Jumat, 27 Des 2024 19:30 WIB
Hari ini bertepatan dengan 18 tahun tsunami yang menerjang Aceh pada Minggu 26 Desember 2004. Meski telah lama berlalu, peristiwa itu masih menyisakan kesedihan.
Foto: detikcom files/26 Desember 2024 menandai 20 Tahun Tsunami Aceh
Jakarta -

26 Desember 2004 adalah duka bagi Indonesia tatkala gempa dan tsunami menerjang Aceh. Gempa bumi dengan kekuatan M 9,1 tercatat sebagai salah satu yang terbesar dalam sejarah dunia.

Kedahsyatan tsunami tersebut tak hanya membuat Aceh porak poranda, tapi juga berdampak sampai ke negara tetangga seperti Thailand, bahkan hingga ke Sri Lanka hingga India. Menurut laporan PBB sebulan setelah bencana, korban jiwa diperkirakan mencapai lebih dari 200 ribu jiwa, termasuk anak-anak usia sekolah.

Catatan Dua Dekade Tsunami Aceh pada Sektor Pendidikan


26 Desember 2004

Tsunami Aceh diawali gempa berkekuatan M 9,1-9,3 yang terjadi sekitar 7.59 WIB. Gempa ini berpusat di Samudra Hindia pada kedalaman hanya 10 kilometer.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tak lama berselang, gelombang tsunami dengan ketinggian sekitar 30 meter dan kecepatan 360 km per jam menyapu wilayah yang dijuluki Serambi Makkah tersebut.

Laporan awal menyebutkan, sekitar 45 ribu siswa dan 1.870 guru hilang. Tak hanya itu, lebih dari 1.900 sekolah rusak dan hancur tersapu kedahsyatan tsunami.

ADVERTISEMENT

2005

Mengutip arsip detikcom, tercatat pada Januari 2005, sekitar 900-an lebih bangunan sekolah dasar rusak, juga ratusan bangunan sekolah menengah lainnya. Sekolah di wilayah Banda Aceh dan Aceh Besar yang masih berdiri, kemudian mulai digunakan.

Sekitar hampir dua bulan setelah tsunami, sekolah mulai diaktifkan untuk anak-anak kembali bermain dan belajar. Selain itu, Dana Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa atau United Nations Children's Fund (UNICEF) juga membangun tenda darurat untuk ratusan anak sekolah usia jenjang TK-SMP.

Rehabilitasi dan perbaikan sekolah mulai dilakukan. Perbaikan ini datang dari bantuan berbagai pihak, salah satunya Tanoto Foundation yang merekonstruksi SDN Peunaga di Meulaboh, Kab. Aceh Barat.


2006

Setahun lebih pascatsunami, proses pembangunan kembali gedung sekolah masih belum pulih. Menurut laporan detikcom pada 22 April 2006, dari seribu lebih bangunan sekolah yang hancur, baru 60 sekolah yang selesai dibangun.

Sempat terkendala soal dana, akhirnya berkat bantuan berbagai pihak, pendidikan di Aceh mulai dipulihkan dan perlahan bangkit. Beberapa bantuan datang dari lembaga sosial hingga perguruan tinggi di Indonesia.

Salah satunya datang dari Pemerintah Australia, yang memperbaiki kembali dua sekolah Islam di Banda Aceh yakni Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) Lampisang di Aceh Besar dan Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) Merduati di Banda Aceh.

Secara keseluruhan, bantuan lain juga datang dari lintas negara dan organisasi untuk pemulihan di Aceh, seperti Catholic Relief Service, The Salvation Army, Islamic Relief, Budha Tzu Chi, Turkish Red Crescent, GIZ Jerman, dan lainnya.

2007

Aceh masih terus melakukan pemulihan termasuk pada sektor pendidikan. Pembangunan sekolah yang belum sepenuhnya pulih, tapi harus ditambah dengan kenyataan jumlah anak putus sekolah yang tinggi.

Pada 2007, sebanyak 58 ribu anak dilaporkan putus sekolah, 7.900 anak tidak bersekolah, dan hanya 1.500 anak yang bisa melanjutkan ke perguruan tinggi.

Di sisi lain, UNICEF masih terus membantu dengan mulai membangun puluhan gedung sekolah permanen.

2008-2009

Pada 2008, pembangunan gedung sekolah terus dilakukan. Salah satunya muncul sekolah dasar unggulan, yang kemudian menjadi sekolah pendamping untuk meningkatkan mutu sekolah lain, di tengah pemulihan pendidikan di Aceh.

Pemulihan dan rekonstruksi khususnya terhadap sarana dan prasarana pendidikan di kota Banda Aceh terus dilakukan hingga 2009 melalui badan rekonstruksi dan rehabilitasi (BRR).

Menurut laporan studi Nasruddin dan Dr Erwan Agus Purwanto (2007) yang dilansir situs resmi Universitas Gadjah Mada (UGM), Jumat (27/12/2024), dari 286 sekolah (TK-SMA) yang ada di Banda Aceh, yang tertimpa tsunami 174 sekolah (60,8%) negeri dan swasta.

Namun, yang selesai di bangun hanya mencapai 66 sekolah (39,9 %), dan yang belum dibangun 103 sekolah (59,2 %). Hal itu masih ditambah minimnya pemenuhan sarana seperti pustaka, laboratorium bahasa dan komputer, media pendidikan, ruangan pendidikan serta tenaga kependidikan.

Atas penilaian ini, laporan menyebut BRR dianggap gagal dalam mengimplementasikan kebijakan khususnya terhadap sarana dan prasarana pendidikan di kota Banda Aceh tahun anggaran 2005-2006.

2014: Sepuluh Tahun Pascatsunami

10 tahun pasca tsunami, UNICEF memberi pujian kepada rakyat Aceh atas ketahanan serta keberhasilan mereka dalam upaya bangkit dari bencana. Menurut UNICEF, pemulihan telah memberikan kesempatan yang lebih baik bagi anak-anak di Aceh untuk tumbuh.

Organisasi di bawah bendera PBB ini juga ikut menyelamatkan anak-anak dari kematian dan berbagai penyakit. Mereka membantu memulihkan trauma, mengajak mereka kembali bersekolah serta mempertemukan dengan keluarga atau kerabatnya kembali.

Dalam langkah yang lebih jauh, UNICEF juga berupaya membantu penguatan sistem kesehatan dan pendidikan serta kesiapan tanggap darurat bencana.

Masa Sekarang

Pada masa kini, dampak bencana di sektor pendidikan mulai menjadi sorotan prioritas. Salah satunya dengan penerapan satuan pendidikan aman bencana (SPAB) serta pembangunan gedung yang tahan bencana.

Tak hanya berkaca pada gempa dan tsunami Aceh, pendekatan ini dilakukan karena wilayah Indonesia termasuk negara rawan bencana. Hal ini membuat banyak gedung-gedung sekolah juga berisiko terdampak akibat bencana.

Berdasarkan hasil pemetaan bencana yang dilakukan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Bank Dunia, ternyata sekitar 75 persen sekolah-sekolah di Indonesia teridentifikasikan berada di kawasan berisiko bencana seperti gempa bumi, tsunami, letusan gunung berapi, banjir, tanah longsor, dan lainnya.

Sampai saat ini, berbagai upaya juga terus dilakukan. Salah satunya penerapan standar operasional kesiapsiagaan bencana yang sudah dikenalkan sedini mungkin di tingkat sekolah.

Tanggap bencana ini menjadi hal penting tak hanya bagi anak-anak melainkan juga guru dan pihak berwenang lainnya. Harapannya, generasi mendatang akan lebih bisa menghadapi dampak bencana sehingga bisa meminimalkan korban jiwa.




(faz/nwk)

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads