Pakar Unair Beri Pendapat soal Polemik Sistem Zonasi PPDB, Sarankan Hal Ini

ADVERTISEMENT

Pakar Unair Beri Pendapat soal Polemik Sistem Zonasi PPDB, Sarankan Hal Ini

Nikita Rosa - detikEdu
Jumat, 20 Des 2024 12:00 WIB
Orang tua murid melakukan pengaduan di Posko PPDB SMKN 27, Jakarta Pusat, Selasa (7/7/2020). Hari ini adalah tahap akhir dari Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) DKI Jakarta 2020. Tahap akhir ini dibuka untuk mengisi kuota yang masih belum terisi oleh jalur zonasi hingga prestasi.
Ilustrasi PPDB. (Foto: Agung Pambudhy)
Jakarta -

Ada sebagian pihak yang meminta agar sistem zonasi PPDB dihapus akibat banyaknya polemik dalam pelaksanaannya. Mengikuti wacana itu, pakar Unair memberikan pendapatnya.

Prof Tuti Budirahayu Dra MSi selaku pakar sosiologi pendidikan Unair mengatakan persoalan mendasar dari sistem zonasi berakar pada ketimpangan kualitas dan distribusi sekolah di Indonesia. Menurutnya, selama ini, kualitas sekolah sering kali ditentukan kemampuan dan harapan kelompok masyarakat.

Tantangan Pemerataan Pendidikan

Prof Tuti tidak menampik ada tantangan dalam upaya pemerataan pendidikan melalui sistem zonasi.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Prof Tuti menjelaskan secara sosiologis, sekolah berkualitas cenderung tumbuh di lingkungan masyarakat strata menengah-atas yang memiliki sumber daya lebih besar. Sebaliknya, masyarakat menengah-bawah sering kali harus menerima sekolah dengan minim fasilitas, baik dalam sarana-prasarana maupun mutu tenaga pengajar.

Ketimpangan itu, menurut Prof Tuti telah membentuk dikotomi yang tajam. Anak-anak dari sekolah dengan fasilitas seadanya tidak dituntut mencapai prestasi akademik tinggi, sedangkan sekolah unggulan menjadi eksklusif bagi kelompok tertentu.

ADVERTISEMENT

Implementasi zonasi justru menjadi tantangan besar karena memaksa semua pihak untuk menghadapi kenyataan ketimpangan ini secara langsung.

Meski zonasi bertujuan pemerataan akses pendidikan, pelaksanaannya sering memunculkan polemik. Prof Tuti menekankan kembali ke sistem rayonisasi akan menghilangkan semangat pemerataan pendidikan.

"Jika kita kembali ke rayonisasi, kita mundur dalam upaya memberikan akses pendidikan yang adil dan merata," jelasnya, dikutip dari laman Unair pada Jumat (20/12/2024).

Namun, Prof Tuti juga mengakui sistem zonasi memerlukan penyempurnaan. Salah satu solusi yang ia usulkan adalah peningkatan kualitas sekolah di seluruh wilayah.

"Negara harus berpihak pada peningkatan kualitas sekolah dan guru," tegasnya.

Membangun Sekolah Inklusif

Prof Tuti menekankan alih-alih menghentikan sistem zonasi, Pemerintah perlu memperkuat kebijakan ini dengan fokus pada pemerataan kualitas sekolah. Salah satu langkah strategis yang bisa dilakukan adalah revitalisasi sekolah inklusi.

"Sekolah inklusi tidak hanya menyatukan siswa dari latar belakang sosial-ekonomi yang beragam, tetapi juga memberikan layanan pendidikan yang disesuaikan dengan kebutuhan individu," jelasnya.

Dalam sekolah inklusi, siswa dari berbagai karakteristik termasuk anak-anak berkebutuhan khusus dapat belajar bersama dalam lingkungan yang sama, tetapi dengan pendekatan pembelajaran yang disesuaikan. Prinsip ini sejalan dengan konsep pendidikan untuk semua (education for all) yang digagas Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB).

Terakhir, Prof Tuti menekankan perlunya pemantauan dan evaluasi berkala terhadap sistem zonasi. Evaluasi dimaksud untuk memastikan agar kebijakan tersebut efektif dan berdampak positif terhadap pemerataan pendidikan.

"Zonasi bukanlah sekadar pembagian wilayah, tetapi langkah menuju pendidikan yang adil dan merata bagi seluruh siswa," ucapnya.

Ia menegaskan perlu ada keberpihakan nyata dari negara terhadap upaya pemerataan akses pendidikan.




(nir/nah)

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads