Sepatu hak tinggi atau high heels identik dengan fesyen perempuan. Namun, tahukah detikers ternyata sejarah awal high heels itu rancang untuk laki-laki?
Yap betul! Laki-laki sekitar abad ke-10 di Persia kuno adalah yang menggunakan high heels sebagai salah satu kelengkapan mereka. Bukan untuk fesyen, high heels dirancang untuk laki-laki pada masa itu sebagai keamanan dan kenyamanan prajurit kavaleri atau pasukan kuda.
Penggunaan sepatu bertumit dianggap bisa membuat kaki prajurit kavaleri menopang dengan baik saat berkuda. Dengan hak tinggi pada tumit, sepatu bisa memberi cengkeraman yang lebih baik, sehingga prajurit bisa tetap kokoh saat menembakkan panah dari atas kuda, demikian menurut keterangan yang dikutip dari Times of India.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penggunaan High Heels Menyebar ke Berbagai Kalangan
Setelah populer di kalangan prajurit kavaleri Persia kuno, fungsi sepatu hak tinggi ini dengan cepat menyebar ke seluruh Kekaisaran Persia dan wilayah sekitarnya. Pada masa itu, Persia adalah kekaisaran sangat luas yang kini meliputi wilayah Iran modern, Irak, Suriah, Asia Tengah, Pakistan, hingga wilayah Arab.
Melansir BBC, pada akhir abad ke-16, Shah Abbas I dari Persia memiliki kavaleri terbesar di dunia. Dia ingin menjalin hubungan dengan para penguasa di Eropa Barat untuk membantunya mengalahkan musuh besarnya, Kekaisaran Ottoman.
Hubungan itu membuat pengaruh Persia di Eropa Barat cukup kuat. Akhirnya, fesyen orang Persia pun diadopsi oleh bangsawan Eropa.
Kemudian seiring jalur perdagangan yang meluas serta pertukaran budaya yang pesat, orang Eropa mengadopsi sepatu hak tinggi sebagai identitas kalangan atas, terutama bangsawan laki-laki.
Dari sinilah kemudian sepatu bertumit atau hak tinggi disebut sebagai "high heels" atau "Louis heels". Keduanya merujuk sebagai simbol keistimewaan dan kekayaan.
Selama abad ke-17, sepatu hak tinggi menjadi terkenal di kalangan pengadilan Eropa, menjadi elemen penting dari fesyen pria. Salah satu tokoh yang mendukung fesyen high heels ini adalah Raja Louis XIV dari Prancis.
Raja Louis XIV dikenal dengan sepatu yang rumit dan bertumit merah. Sepatu tersebut tidak hanya menambah tinggi badannya tetapi juga menjadi simbol otoritas kerajaannya.
Tren ini pun kemudian menyebar dengan cepat ke seluruh kalangan bangsawan Eropa dan pria dari berbagai strata sosial mulai mengenakan sepatu hak tinggi sebagai simbol status.
Saat Sepatu Hak Tinggi Dianggap Tidak Praktis
Meski menyebar dengan cepat, tren sepatu hak tinggi perlahan memudar. Sekitar akhir abad ke-17, persepsi tentang sepatu hak mulai bergeser.
Awalnya, orang Eropa pertama kali tertarik pada sepatu hak tinggi karena berkaitan dengan Persia dan memberi mereka kesan maskulin. Namun, perkembangan fesyen wanita yang mengadopsi elemen pakaian pria menyebabkan penggunaannya segera menyebar ke wanita dan anak-anak.
"Pada tahun 1630-an, ada banyak wanita yang memotong rambut mereka dan menambahkan tanda pangkat pada pakaian mereka. Mereka akan memakai topi yang sangat maskulin. Dan inilah mengapa perempuan mengadopsi sepatu hak tinggi, ini sebagai upaya untuk membuat pakaian mereka menjadi maskulin," ucap Elizabeth Semmelhack dari Bata Shoe Museum di Toronto.
Pada masa ini, fesyen pria mengarah kepada hal yang praktis dan fungsional. Ini membuat sepatu hak tinggi dianggap terlalu 'berlebihan' dan tidak praktis sebagai fesyen. Akhirnya, laki-laki di Eropa mulai meninggalkan sepatu hak tinggi.
Sejak saat itu, masyarakat kelas atas Eropa mulai mengikuti mode sepatu unisex hingga akhir abad ke-17. Kalangan pria mulai memiliki hak yang lebih persegi, lebih kuat, lebih rendah, dan bertumpuk, sedangkan hak sepatu wanita menjadi lebih ramping.
Perempuan Mengadopsi High Heels Pria sebagai Fesyen Wanita
Di sisi lain, fesyen perempuan juga mulai berkembang pesat. Salah satunya mulai melirik sepatu hak tinggi sebagai fesyen yang bisa meninggikan status perempuan.
Pada abad ke-18, akhirnya tren fesyen sepatu hak tinggi untuk perempuan dimulai. Dialah Marie Antoinette, Ratu Prancis influencer yang mempopulerkan sepatu hak tinggi untuk wanita.
Dia mengasosiasikan sepatu hak tinggi dengan keanggunan, kelas, dan feminitas. Sepatu hak tinggi pun kemudian menjadi aksesori penting dalam lemari pakaian wanita, hingga tren itu terus berlanjut hingga saat ini.
Sampai abad ke-19 dan ke-20, hubungan antara hak tinggi dan feminitas semakin mengakar kuat. Sepatu hak tinggi kini menjadi bagian dari fesyen wanita, melambangkan glamor dan keanggunan.
Seiring waktu, persepsi sepatu hak tinggi juga meluas. Banyak wanita yang memilih memakai sepatu hak tinggi karena alasan percaya diri, rasa percaya diri, dan ekspresi pribadi.
Ini sekaligus membuktikan bahwa tren fesyen dinamis dan berkembang seiring adanya pergeseran budaya dan perubahan persepsi tentang gender, kekuasaan, dan identitas.
(faz/nwk)