Anak Bisa Dilatih Kenali Hoax, Ahli Psikologi Ungkap Metodenya

ADVERTISEMENT

Anak Bisa Dilatih Kenali Hoax, Ahli Psikologi Ungkap Metodenya

Hani Muthmainnah - detikEdu
Rabu, 23 Okt 2024 13:00 WIB
PAN DKI Jakarta memasang wi-fi gratis di sejumah titik wilayah di Ibu Kota. Kawasan Cipete Utara turut jadi salah satu area yang dipasangi wi-fi gratis tersebut
Ilustrasi Foto: Rengga Sancaya
Jakarta -

Berpikir kritis merupakan kemampuan yang tidak hanya diperlukan bagi orang dewasa tetapi juga anak-anak.

Menurut Dr Bhisma Murti, MPH, MSc, PhD dari Institute for Health Economic and Policy Studies (IHEPS), Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas Maret berpikir kritis adalah sebuah proses berpikir yang melibatkan penilaian sadar terhadap kualitas pemikiran kita sendiri.

Artinya, kita tidak hanya menerima begitu saja informasi, tetapi juga merenungkan dan mempertanyakan apa yang kita dengar atau kita baca, serta mencari bukti dan alasan yang mendukung dari pendapat kita.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Berpikir kritis, menurut Dr Bhisma mencakup ketrampilan menafsirkan dan menilai pengamatan, informasi, dan argumentasi. Berpikir kritis juga berguna untuk mengekspresikan ide-ide.

Selain itu, penting untuk membekali anak-anak dengan kemampuan berpikir kritis agar dapat membedakan informasi yang valid dan tidak di era digital.

ADVERTISEMENT

Pertanyaannya adalah, bagaimana caranya?

Penelitian terbaru dari mahasiswa doktoral Departemen Psikologi, University of California, Berkeley, Amerika Serikat, Evan Orticio menunjukkan bahwa, daripada berupaya menghindarkan anak-anak dari informasi di dunia maya lebih baik orang dewasa membekali mereka untuk dapat menilai informasi yang mereka temui secara kritis.

Orticio mengatakan, "Kita perlu memberi anak-anak pengalaman untuk melatih rasa skeptis mereka dan menggunakan keterampilan berpikir kritis di dunia maya untuk menghadapi masa depan, di mana mereka akan berada dalam konteks ini hampir 24/7."

Orticio dan rekan-rekannya menggunakan sepasang eksperimen yang melibatkan 122 anak usia 4 hingga 7 tahun untuk menguji bagaimana tingkat skeptisisme mereka berubah di lingkungan daring yang berbeda.

Hal ini dilakukan karena ternyata anak-anak dapat menyesuaikan tingkat skeptisme mereka berdasarkan kualitas informasi yang pernah mereka lihat sebelumnya dalam konteks digital.

Studi pertama memperlihatkan kepada mereka sebuah e-book dengan berbagai tingkat pernyataan benar dan salah tentang hewan. Di samping gambar zebra, misalnya, beberapa anak diperlihatkan kebenaran, seperti zebra memiliki garis-garis hitam dan putih. Yang lain diperlihatkan kepalsuan tentang zebra yang berwarna merah dan hijau. Berdasarkan informasi tersebut, mereka menunjukkan apakah klaim tersebut benar atau salah.

Studi kedua mensimulasikan hasil mesin pencari dan mengajukan fakta dan fiksi hewan yang serupa. Selanjutnya, anak-anak mengevaluasi kebenaran klaim baru dalam konteks digital yang sama, kali ini tentang spesies alien yang disebut Zorpies. Di layar ada gambar 20 yang disebut Zorpies. Salah satu wajah alien menunjukkan bahwa ia memiliki tiga mata, Zorpies lainnya mengenakan kacamata hitam gelap yang menutupi mata mereka.

Anak-anak kemudian diminta untuk memutuskan apakah semua Zorpies memiliki tiga mata. Namun, sebelum membuat keputusan akhir, peserta diizinkan untuk memeriksa fakta klaim tersebut dengan mengetuk sejumlah alien, melepas kacamata hitam mereka, dan memperlihatkan mata mereka. Karena anak-anak tidak tahu apapun tentang alien, skeptisisme mereka hanya dapat muncul dari penilaian mereka tentang seberapa andal platform digital ini.

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa anak-anak yang paling tekun dalam memeriksa keaslian Zorpies merupakan mereka yang telah lebih banyak melihat informasi palsu tentang hewan ini di awal penelitian. Sementara, bagi mereka yang berada dalam lingkungan yang lebih sedikit melihat informasi palsu di awal penelitian hampir tidak memeriksa keaslian informasi.

Peserta yang telah terpapar lebih banyak kebohongan di awal penelitian lebih cenderung mempertanyakan klaim tentang Zorpies dan mencari informasi lebih lanjut.

Menurut Orticio, anak-anak dapat menyesuaikan tingkat skeptisme mereka sesuai dengan kualitas informasi yang pernah mereka lihat sebelumnya dalam konteks digital.

"Mereka dapat memanfaatkannya seberapa besar mereka memercayai atau tidak memercayai informasi yang didapat, bahkan jika mereka hampir tidak tahu apapun tentang informasi itu sendiri," imbuhnya.

Studi ini berangkat dari kebutuhan mendesak untuk memahami bagaimana anak-anak menghadapi dunia daring yang semakin berkembang. Karena dari penelitian yang sebelumnya menemukan hampir sepertiga anak-anak telah menggunakan media sosial pada usia 9 tahun.

Menakutkannya, anak-anak di bawah umur ini menemukan misinformasi kesehatan dalam hitungan menit setelah membuat akun Tiktok. Bahkan platform yang dirancang untuk anak-anak, seperti YouTube Kids telah banyak memiliki konten yang tidak pada umurnya.

"Penelitian kami menunjukkan jika anak-anak memiliki pengalaman di lingkungan yang aman meski tidak sempurna, mereka dapat menghadapi berbagai situasi yang tidak tepat. Lebih baik mengajarkan bagaimana mengetahui bahwa informasi tersebut benar atau salah agar membuat mereka lebih waspada," ujar Orticio.

"Bukan berarti kita perlu meningkatkan skeptisisme, dalam arti sebenarnya. Kita perlu memberi mereka kemampuan untuk menggunakan skeptisisme itu demi keuntungan mereka," kata Orticio.

"Dalam eksperimen kami, pemeriksaan fakta sangat sederhana. Dalam kehidupan nyata, pemeriksaan fakta sebenarnya sangat sulit. Kita perlu menjembatani kesenjangan itu."




(pal/pal)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads