Penggunaan artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan kini sudah dimanfaatkan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Hal ini disampaikan oleh Peneliti Ahli Madya PR Antariksa BRIN, Tiar Dani.
Lewat teknologi AI, Tiar menyingkap aktivitas Matahari dan beberapa rahasia yang ada pada pusat tata surya tersebut. Tiar juga berusaha melihat dampak aktivitas Matahari terhadap planet Bumi.
"Karena jika kita tidak bisa memprediksi, maka akan ada kerugian ekonomi di dalamnya," terang Tiar, dikutip dari laman BRIN, Jumat (18/10/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya, mitigasi soal risiko dari pergerakkan Matahari ini menjadi penting. Lewat AI yang mencakup machine learning dan deep learning, ia bisa mendeteksi pola aktivitas matahari dengan tingkat akurasi yang belum pernah ada.
Begitu juga dalam hal kecepatan, data dan pemahaman dinamika Matahari menjadi bisa disampaikan dalam waktu yang lebih cepat.
Cara AI Mendeteksi Aktivitas Matahari
Kemudian Tiar menjelaskan bagaimana AI bisa mendeteksi aktivitas Matahari hingga dampaknya. Alur kerja AI dimulai dari data berkualitas yang kemudian dilatih dan dibuatkan algoritma.
Data-data yang berkaitan disiapkan. Data biasanya diperoleh dari satelit-satelit yang mengamati Matahari yang jumlahnya banyak.
"Data sheet yang sudah siap dibaca ini akan dimasukkan ke algoritma dan dilakukan training dan akan memprediksi data yang baru. Untuk itu perlu dibandingkan dengan data testing pertama. Setelah itu, dihitung akurasinya, jika tidak bagus, maka harus dirubah algoritmanya sehingga dapat menghasilkan akurasi yang baik," terang Tiar.
Dalam menggunakan AI, periset pun memerlukan latar belakang pendidikan fisika dan penguasaan AI agar bisa mengolah data secara tepat. AI yang telah dirancang pun akan membaca data dan memetakan hasilnya.
"Pemanfaatan AI dilakukan menggunakan parameter atau fitur-fitur dari data sunspot 3 hari kebelakang untuk memprediksi kelas flare dengan menggunakan metode random forest yang merupakan machine learning klasik. Dataset dimasukkan ke beberapa pohon atau decision tree yang akan menghasilkan beberapa prediksi," katanya.
Ia memberikan contoh model prediksi solar flare. Dalam menyusun algoritma untuk tools tersebut dibutuhkan data dari sunspot yang terdiri dari luas area, lokasi, jumlah bintik, hingga magnetiknya.
"Dengan model prediksi solar flare ini kita bisa mendapatkan akurasi 70%. AI sendiri berperan sebagai pijakan awal atau dukungan keputusan," jelas Tiar.
AI Bisa Prediksi Kecepatan Angin Matahari
Salah satu aktivitas lain yang bisa diteliti oleh AI adalah kecepatan angin matahari. Untuk menganalisisnya, dibutuhkan model long short term memory atau deep learning.
Lewat data angin Matahari dan lubang korona saat aktivitas Matahari minimum (Coronal Mass Ejection), maka AI dapat memprediksi seperti apa kecepatan angin Matahari.
Dengan begitu, AI juga bisa digunakan untuk memprediksi kapan datangnya CME. Saat ini, BRIN telah mempunyai ML OPS dan SWIFtS yang menggunakan seluruh model prediksi cuaca antariksa tersebut.
"Space Weather Information and Forecast Services (SWIFtS) menggunakan model-model untuk mendukung layanan kepada masyarakat di antaranya untuk model prediksi siklus Matahari, solar flare, lubang korona dan angin Matahari, CME, geoganetik, sollar summary, ionosphere," pungkas Tiar.
(cyu/faz)