Mengetahui Sejarah Perang Padri dan Sejumlah Penyebabnya

ADVERTISEMENT

Mengetahui Sejarah Perang Padri dan Sejumlah Penyebabnya

ilham fikriansyah - detikEdu
Minggu, 13 Okt 2024 17:00 WIB
Ilustrasi Perang Padri yang berawal dari perpecahan rakyat Indonesia.
Ilustrasi Perang Padri. Foto: J.P. van de Veer - G.L. Kepper via Wikimedia Commons
Jakarta -

Sebelum menyatakan merdeka pada 1945, ada sejumlah konflik yang terjadi di Tanah Air, salah satunya yang terkenal adalah Perang Padri. Pertempuran ini terjadi karena perbedaan prinsip antara kaum Padri dan kaum Adat.

Perang Padri terjadi di wilayah Sumatera Barat dan terbagi menjadi dua periode yang terpisah, yakni pada 1821-1825 dan 1830-1837. Ada sejumlah hal yang menyebabkan terjadinya perang antara kedua belah pihak, ditambah pasukan Belanda yang ikut campur dalam masalah ini semakin memperkeruh suasana.

Agar lebih paham mengenai penyebab terjadinya Perang Padri, simak pembahasannya dalam artikel ini.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Penyebab Awal Perang Padri

Mengutip buku Explore Sejarah Indonesia untuk SMA/MA/SMK/MAK oleh Abdurakhman dan Arif Pradono, semua berawal ketika kaum Padri yang berselisih dengan kaum Adat di Minangkabau. Perselisihan itu didasari oleh perbedaan prinsip.

Jadi, kaum Padri merupakan kelompok yang terdiri dari ulama-ulama yang baru tiba dari Timur Tengah. Tujuan mereka datang ke tanah Minangkabau adalah untuk menyebarluaskan ajaran Islam.

ADVERTISEMENT

Sementara itu, kaum Adat merupakan kelompok masyarakat di Minangkabau yang masih memegang teguh adat istiadat dari leluhur mereka. Nah, hal itu yang membuat kaum Padri ingin menegakkan ajaran-ajaran Islam agar kaum Adat bisa meninggalkan kebiasaan menyimpang.

Meski sebagian masyarakat akhirnya memeluk agama Islam, tetapi ada sejumlah kebiasaan yang bertentangan dengan ajaran Islam terus dilakukan, mulai dari berjudi, sabung ayam, hingga minum-minuman keras. Hal tersebut menyulut emosi kaum Padri dan akhirnya timbul perpecahan dengan kaum Adat.

Perpecahan Kedua Kelompok Dimanfaatkan Belanda

Kaum Padri dan kaum Adat yang sedang berperang kemudian dimanfaatkan oleh Belanda. Saat itu, kaum Adat mulai tersudutkan oleh serangan dari kaum Padri, sehingga terpaksa meminta bantuan ke Pemerintah Kolonial Hindia Belanda.

Nah, permintaan bantuan tersebut kemudian dimanfaatkan oleh Belanda untuk mempengaruhi masyarakat Minangkabau. Pada 1821, James Du Puy selaku pemimpin dari Pemerintah Kolonial melakukan perjanjian dengan kaum Adat.

Dalam perjanjian itu, Belanda berhasil menduduki sejumlah daerah di Minangkabau. Tindakan yang dilakukan kaum Adat dan Belanda justru menimbulkan Perang Padri.

Periode Pertama Perang Padri (1821-1825)

Peperangan antara kaum Padri dengan kaum Adat bersama Belanda mulai terjadi pada 1821. Di periode pertama konflik ini, kaum Padri mulai menyerang pos-pos milik Belanda dan melakukan pencegatan terhadap petugas yang sedang berpatroli.

Pada September 1821, pos-pos Belanda di Simawang, Soli Air, dan Sipinang menjadi sasaran penyerangan kaum Padri. Kala itu, dengan jumlah 20.000-25.000 pasukan, kaum Padri yang dipimpin oleh Tuanku Pasaman menyerang Belanda di hutan sebelah timur Gurun.

Pasukan Belanda yang hanya berjumlah 200 orang serdadu Eropa ditambah 10.000 pasukan kaum Adat kemudian melakukan perlawanan. Terjadilah perang sengit antara kedua kubu.

Pasukan yang dipimpin oleh Tuanku Pasaman ternyata cukup sulit dikalahkan. Sampai pada akhirnya Belanda memutuskan untuk mengirim surat yang berisi ajakan berdamai. Mengetahui taktik Belanda, Tuanku Pasaman tidak menanggapi ajakan Belanda dan terus menggencarkan perlawanan di berbagai tempat.

Pada 1822, pasukan dari Tuanku Nan Renceh menyerang Belanda di bawah pimpinan Kapten Goffinet. Kaum Padri kemudian berhasil meraih kemenangan dalam pertempuran itu.

Tak tinggal diam, Belanda mulai menduduki wilayah IV Koto pada Februari 1824. Tindakan itu menyulut kemarahan kaum Padri di daerah Bonjol.

Di bawah komando Peto Syarif atau yang lebih dikenal sebagai Tuanku Imam Bonjol, kaum Padri melakukan penyerangan ke pos-pos Belanda di wilayah Saruaso.

Kewalahan dengan serangan yang dilancarkan oleh kaum Padri, Pemerintah Kolonial Belanda mengadakan perjanjian damai pada 1825. Perjanjian itu berisi bahwa Belanda mengakui kekuasaan tuanku-tuanku di Lintau, IV Koto, Telawas, dan Agam.

Akan tetapi, perjanjian itu justru mengecewakan kaum Adat. Mereka menilai jika Pemerintah Kolonial Belanda tidak menepati janji yang sudah terjalin sebelumnya dan lebih mengutamakan kepentingan sendiri.

Periode Kedua Perang Padri (1830-1837)

Merasa dikhianati oleh Pemerintah Kolonial Belanda, akhirnya kaum Adat menentang dan justru melawan balik Belanda. Dalam periode kedua Perang Padri, kini kaum Padri dan kaum Adat mulai bersatu untuk melawan Belanda.

Bersatunya dua kelompok ini menciptakan kekuatan baru, sehingga kedudukan Pemerintah Kolonial Belanda di Sumatera Barat mulai terancam. Bahkan, Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch mengangkat kolonel G.P. Jacob Elout untuk mencegah perlawanan dan kekuasaan kaum Padri semakin luas.

Pada 1832, Belanda semakin gencar melakukan serangan kepada kaum Padri. Tak tanggung-tanggung, Belanda menyerang pos-pos pertahanan kaum Padri yang berada di Banuhampu, Kamang, Guguak Sigandang, Tanjung Alam, Sungai Puar, Candung, dan beberapa pos lainnya di Agam.

Memasuki tahun 1834, Belanda kini mulai fokus untuk menguasai wilayah Bonjol. Pada 1835, pasukan kaum Padri mulai terdesak dan akhirnya dipukul mundur oleh tentara Belanda.

Karena dalam posisi terhimpit, Tuanku Imam Bonjol menyatakan bersedia untuk berunding dengan Belanda pada 10 Agustus 1837. Akan tetapi, usaha perundingan antara kedua belah pihak mengalami kegagalan sehingga memicu terjadinya konflik lagi.

Pasukan Kaum Padri yang sudah kewalahan akhirnya menyerah dan kalah dari tentara Belanda. Pada Oktober 1837, Benteng Bonjol berhasil dikuasai oleh Pemerintah Kolonial Belanda.

Kemudian, Tuanku Imam Bonjol dan sejumlah pejuang lainnya menyerahkan diri untuk menjamin keselamatan kaum Padri. Kemudian, beliau dan para pejuang lainnya dibuang ke Cianjur, Jawa Barat, lalu dipindahkan lagi ke dekat Manado.

Tuanku Imam Bonjol akhirnya wafat pada 6 November 1864 di Manado saat diasingkan. Ia kemudian mendapat penghargaan dari pemerintah Indonesia atas perjuangannya dalam melawan penjajahan Belanda.

Itu dia sejarah tentang Perang Padri. Semoga dapat menambah pengetahuan detikers.




(ilf/fds)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads