Karya tokoh-tokoh sastrawan Indonesia yang telah mengukir namanya dalam sejarah sastra Tanah Air.
Dengan mengetahui biografi singkat tokoh sastrawan Indonesia, bisa menambah wawasan tentang perjalanan hidup sekaligus kontribusi mereka terhadap perkembangan sastra.
1. Ajip Rosidi
![]() |
Lahir: Majalengka, 31 Januari 1938.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dilansir laman Badan Bahasa Kemdikbud, Ajip Rosidi merupakan sastrawan, budayawan, dosen, redaktur penerbit sekaligus pendiri dan Ketua Yayasan Kebudayaan Rancage.
DI bidang sastra, Ia sukses mengembangkan karir pada bidang sastra Indonesia dan sastra Sunda. Karir sastranya pun dimulai pada usia muda yakni sekitar tahun 1952, saat ia berusia 14 tahun (SMP kelas tiga).
Tulisan pertama Ajip dimuat di majalah kebudayaan Mimbar Indonesia dan Zenith. Karya kreatif miliknya ditulis terutama pada periode 1953-1960. H.B. Jassin menggolongkan Ajip Rosidi ke dalam kelompok Angkatan 66.
Berikut adalah beberapa karya dari Ajip Rosidi, kumpulan puisi Ular dan Kabut (Pustaka Jaya, 1973), Ketemu di Djalan bersama Sobron Aidit dan S.M. Ardan (Balai Pustaka, 1956), Sajak-sajak Anak Matahari (Pustaka Jaya, 1979). Ada juga Novel Perjalanan Pengantin (Pembangunan, 1958) dan Anak Tanah Air (Gramedia.
2. Taufiq Ismail
![]() |
Lahir: Bukittinggi, 25 Juni 1935.
Ia dikenal sebagai penyair, penulis, dan aktivis budaya. Taufiq kecil menghabiskan masa kanak-kanaknya di Pekalongan. Kemudian menyelesaikan pendidikan di berbagai kota, termasuk SMP di Bukittinggi dan SMA di Bogor, sebelum melanjutkan ke Whitefish Bay High School di Wisconsin, AS.
Setelah menyelesaikan studi di Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan Universitas Indonesia pada 1963, Taufiq aktif dalam berbagai organisasi kemahasiswaan.
Taufiq terlibat dalam dunia sastra sebagai pendiri dan pemimpin majalah Horison. Selain itu, ia juga berperan dalam sejumlah lembaga kesenian di Jakarta dan menjadi anggota Badan Pertimbangan Bahasa.
Aejak 1970, dirinya sering mewakili Indonesia baca puisi dan festival sastra di 24 kota di Asia, Amerika, Australia, Eropa, dan Afrika. Sebagai seorang sastrawan di sepanjang kariernya, Taufiq menerima berbagai penghargaan, termasuk Anugerah Seni dari Pemerintah RI dan South East Asia (SEA) Write Award.
Bahkan, karya Taufiq Ismail juga telah diterjemahkan ke berbagai bahasa, menjadikannya salah satu sastrawan terkenal di Indonesia.
3. Willibrodus Surendra Broto (W.S. Rendra)
![]() |
Lahir: Solo, 7 November 1935.
W.S. Rendra dikenal sebagai penyair dan budayawan dengan julukan si "Burung Merak". Bakat sastranya sudah mulai terlihat saat ia duduk di bangku SMP.
Kala itu ia lihat dalam menulis puisi, cerpen, dan drama untuk berbagai kegiatan sekolahnya. Selain itu, ternyata dirinya juga piawai di atas panggung dan mementaskan beberapa dramanya.
Pada tahun 1952, puisi pertamanya dipublikasikan ke media massa melalui majalah Siasat. Rendra dikenal memiliki kepribadian sastra yang independen, sehingga tidak tergolong dalam angkatan tertentu.
W.S Rendra meninggal pada 6 Agustus 2009, meninggalkan warisan puisi dan drama yang abadi. Beberapa karya yang terkenalnya yaitu Balada Orang-Orang Tercinta dan Blues untuk Bonie. Rendra juga menerima banyak penghargaan, termasuk Anugerah Seni dari Pemerintah RI dan SEA Write Award.
4. Chairil Anwar
![]() |
Lahir: Medan, 22 Juli 1922.
Chairil Anwar merupakan penyair yang terkenal dengan puisi-puisi modernnya. Ia dikenal menjadi pelopor angkatan 45 dalam Sastra Indonesia. Chairil Anwar sangat berjasa dalam melakukan pembaharuan puisi Indonesia.
Beliau hanya seorang penyair dan hidup dengan menyair, karena uang yang didapatkannya dari hasil menulis sajak. Pengalaman menulis Chairil Anwar dimulai tahun 1942, kala itu mencipta sebuah sajak yang berjudul "Nisan".
Dia menulis sampai dengan akhir hayatnya, yaitu pada tahun 1949. Beberapa sajak terkenalnya yaitu "Mirat Muda", "Chairil Muda", "Buat Nyonya N", "Yang Terhempas dan Yang Luput", "Derai-Derai Cemara", "Aku Berkisar Antara Mereka", dan "Aku Berada Kembali".
kesungguhannya mempelajari sajak-sajak para pujangga sampai terkenal dari luar negeri. Maka dari itu, sajak-sajak Chairil Anwar juga telah banyak diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa asing.
5. Abas Sutan Pamuntjak Nan Sati
Lahir: Bukittinggi, 7 Februari 1899.
Dikutip dari buku Antologi Biografi Tiga Puluh Pengarang Sastra Indonesia Modern karya Atisah, dalam berkarya, ia terkadang menggunakan nama samaran.
Nama samaran yang pernah dia pakai yaitu Antares (nama sebuah bintang, Bintang Kala) dan Rinaldo. Ia juga pernah menyingkat namanya dengan sebutan Abas St. Pamun- tjak Nan Sati, A. St. Pamuntjak N.S. dan Aspns.
Gelar sutan menandakan bahwa ia lahir dari keluarga bangsa- wan. Sebagai anak dari keluarga bangsawan, ia pun tidak sukar memasuki sekolah Belanda.
Ia mulai menulis sejak usia 15 tahun saat bersekolah di Kweekschool. Banyak tulisannya yang mengisi beberapa surat kabar, sebut saja Oetoesan Melajoe dan Tjaja Soematera (Danardana, 1996/1997: 21).
Ajip Rosidi menggolongkan Abas Sutan Pamuntjak nan Sati sebagai pengarang periode 1900- 1933, dalam peta perjalanan sastra Indonesia.
Karya-karya Abas berupa novel, puisi dan feuilleton. Di samping itu, Abs juga menerjemahkan buku-buku pelajaran, misalnya, ilmu bumi, sejarah, ilmu pendidikan, ilmu alam, hingga ilmu menggambar.
6. Sutan Takdir Alisjahbana
![]() |
Lahir: Natal, Sumatera Utara, 11 Februari 1908.
Ia dikenal sebagai Sastrawan Indonesia yang banyak berorientasi ke dunia Barat. Menurutnya, otak Indonesia harus diasah menyamai otak Barat. Meskipun, banyak ditentang orang, Alisjahbana pun tetap dengan pendiriannya itu.
Sutan Takdir menempuh pendidikan di berbagai institusi, mulai dari HIS di Bengkulu hingga Hogere Kweekschool di Bandung, hingga pernah menjadi dosen dari Universitas Indonesia pada 1946-1948.
Kariernya dimulai sebagai guru, sebelum menjabat sebagai redaktur di Penerbit Balai Pustaka dan menjadi Ketua Komisi Bahasa Indonesia.
Pada tahun 1933, Sutan Takdir mendirikan majalah Poedjangga Baroe, yang mendorong pembaruan sastra di Indonesia. Ia dikenal lewat novel-novel seperti Tak Putus Dirundung Malang dan Layar Terkembang, serta kumpulan puisi dan karya-karya esai tentang bahasa dan kebudayaan.
7. Matu Mona
![]() |
Lahir: 21 Juni 1910
Dikutip dari laman laman data Pokok Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Nama asli Matu Mona adalah Hasbullah Parindury. Ia merupakan sastrawan Indonesia pernah mendapat predikat pengarang novel picisan.
Ia menyelesaikan pendidikannya di St. Anthony's International School pada tahun 1930. Setelah itu, ia kemudian bekerja sebagai guru bantu sebelum menjabat redaktur harian Pewarta Deli dari tahun 1931 hingga 1938. Selama menjabat redaktur harian Pewarta Deli, ia memulai debutnya dalam menulis karya sastra.
Matu Mona juga aktif dalam dunia jurnalistik dengan memimpin majalah Goebahan Maja dan Tjendrawasih, hingga menerima penghargaan dari pemerintah pada tahun 1985 atas jasanya di bidang pers. Ia juga terlibat dalam teater, dan menulis naskah sandiwara, termasuk "Pulau Impian," yang mengkritik penjajahan Belanda dan Jepang.
(khq/fds)