Fenomena 'Doom Spending' Sedang Tren di Kalangan Milenial dan Gen-Z, Apa Itu?

ADVERTISEMENT

Fenomena 'Doom Spending' Sedang Tren di Kalangan Milenial dan Gen-Z, Apa Itu?

Novia Aisyah - detikEdu
Kamis, 26 Sep 2024 19:00 WIB
Ilustrasi gen z
ILustrasi milenial dan gen-Z. Foto: Getty Images/Husam Cakaloglu
Jakarta -

Kini "doom spending" tengah menjadi tren di kalangan milennial dan gen-Z. Fenomena ini timbul sebagai reaksi stres atas situasi perekonomian.

Fenomena doom spending adalah ketika seseorang berbelanja tanpa berpikir, untuk menenangkan diri karena merasa pesimis dengan ekonomi dan masa depannya.

Dikatakan dalam Psychology Today oleh Profesor Kebijakan dan Manajemen Kesehatan City University of New York, Bruce Y Lee, doom spending terjadi saat seseorang merasa tertekan dengan situasi seperti kekacauan politik di Amerika Serikat (AS), kekacauan iklim di mana-mana, dan hal-hal lainnya. Sehingga, orang tersebut membeli lebih banyak barang untuk mengatasi stres itu. Namun, fenomena doom spending tidak eksklusif terjadi di AS.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Fenomena 'Doom Spending' Terjadi secara Global

Stefania Troncoso FernΓ‘ndez, perempuan berusia 28 tahun yang tinggal di Kolombia bersama orang tuanya, mengatakan kepada CNBC Make It dia sudah pulih dari kebiasaan menghabiskan uang, tetapi tingkat inflasi yang tinggi dan ketidakpastian politik membuat sangat sulit untuk merasionalisasi penghematan uang.

"Saya tahu pasti bahwa (biaya) makanan semakin tinggi setiap hari, dan di rumah saya kami tidak mampu makan dengan cara yang sama seperti yang kami lakukan mungkin setahun yang lalu karena harganya semakin mahal," kata FernΓ‘ndez.

ADVERTISEMENT

Dua tahun lalu, FernΓ‘ndez mengatakan dia menghabiskan uang dengan sembarangan untuk pakaian dan perjalanan, meskipun berpenghasilan lebih sedikit daripada sekarang. Hal ini terutama karena ia merasa tidak mampu membeli rumah.

"Dulu kami memiliki program dari pemerintah yang akan meminjamkan kami uang untuk berinvestasi di bidang real estat dan dengan bunga yang sangat rendah, tetapi dengan adanya perubahan pemerintahan, program tersebut tidak tersedia lagi bagi kami sehingga kami harus membayar lebih," katanya.

Dan FernΓ‘ndez mengatakan bahwa ia tidak sendirian dalam pengeluaran yang sia-sia.

"Bukan hanya saya. Hal ini terjadi di lingkungan saya," ungkapnya.

Generasi Pertama yang Akan Lebih Miskin

Menurut Survei Keamanan Finansial International Your Money CNBC, yang dilakukan oleh Survey Monkey yang menanyai 4.342 orang dewasa di seluruh dunia, hanya 36,5% orang dewasa di dunia yang merasa mereka lebih baik secara finansial daripada orang tua mereka. Sementara 42,8% merasa bahwa kondisi finansial mereka sebenarnya lebih buruk daripada orang tua mereka.

"Generasi yang tumbuh sekarang adalah generasi pertama yang akan lebih miskin daripada orang tua mereka," kata Ylva BaeckstrΓΆm, dosen senior keuangan di King's Business School.

"Ada perasaan Anda mungkin tidak akan pernah bisa mencapai apa yang dicapai orang tua Anda," jelasnya.

Akibatnya, doom spending menciptakan ilusi kendali di dunia yang terasa seperti tidak terkendali.

"Tetapi yang sebenarnya terjadi adalah, hal itu membuat Anda kehilangan kendali di masa depan, karena jika Anda menyimpan uang itu dan menginvestasikannya serta melakukan semua hal itu, Anda mungkin benar-benar dapat membeli rumah," katanya.

Bagaimana Solusi Berhenti 'Doom Spending'?

BaeckstrΓΆm menekankan pentingnya memahami hubungan kita dengan uang jika ingin mengatasi pengeluaran yang tidak sehat.

Ia mengatakan hubungan dengan uang seperti hubungan dengan orang lain, yakni hubungan itu dimulai sejak masa kanak-kanak dan memperlihatkan orang-orang membentuk berbagai jenis keterikatan.

"Jika Anda merasa memiliki keterikatan yang aman dengan uang, Anda dapat membuat penilaian yang baik terhadap sesuatu. Anda mengumpulkan pengetahuan dan Anda dapat mengevaluasinya... Namun jika Anda keterikatan hubungan yang tak aman dengan uang, atau jika Anda tergolong menghindar, maka Anda lebih mungkin tergoda untuk melakukan perilaku belanja yang tidak sehat ini," terangnya.

Sikap-sikap seseorang terhadap uang berasal dari cara dia dibesarkan. Apakah mereka kaya atau miskin, misalnya.

"Lalu, bagaimana keluarga mereka mengelola uang dan siapa yang mengendalikannya," kata BaeckstrΓΆm.

Membuat transaksi lebih nyata dan sulit dapat membuat orang berpikir dua kali tentang pengeluaran yang tidak masuk akal.

Samantha Rosenberg, salah satu pendiri dan COO Belong, sebuah platform wealth-building, menerangkannya kepada CNBC Make It.

Rosenberg menjelaskan belanja daring memperburuk masalah pengeluaran yang tidak masuk akal. Justru, melihat barang secara langsung dapat mencegah pembelian impulsif.

"Titik-titik keputusan tambahan seperti memilih toko, bepergian ke sana, mengevaluasi barang secara langsung, dan kemudian harus mengantre untuk membelinya akan membantu Anda memperlambat dan berpikir lebih kritis tentang pembelian Anda," katanya.

Selain itu, menyiapkan notifikasi perbankan seluler menciptakan sedikit rasa sakit tambahan saat melihat transaksi.

Rosenberg juga merekomendasikan untuk kembali menggunakan uang tunai. Metode pembayaran secara digital seperti Apple Pay misalnya, meningkatkan risiko pengeluaran yang tidak masuk akal karena sangat cepat dan mudah.

"Mereka mengabaikan emosi yang terkait dengan proses keputusan membeli sesuatu. Mereka juga menghilangkan rasa sakit saat menyerahkan uang," kata Rosenberg.

"Anda harus menambah kesulitan membayar," tambahnya.




(nah/nwk)

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads