Indonesia resmi menyandang nama negara kita sejak 1945. Nama ini rupanya telah muncul jauh sebelum Indonesia merdeka.
Kata Indonesia pertama kali diperkenalkan oleh James Richardson Logan. Dalam artikel The Ethnology of the Indian Archipelago tahun 1850, Logan menyatakan perlu ada nama geografis khas bagi kepulauan Tanah Air. Di artikel itulah ia mengenalkan istilah Indonesia seperti dikutip dari Indonesia Satu, Indonesia Beda, Indonesia Bisa oleh Jimmy Oentoro.
Sejarah Nama Indonesia
Nama Indonesia diambil Logan dari gagasan rekannya, pelancong dan pengamat sosial asal Inggris George Samuel Windsor Earl. Ia menyebutnya Indunesia dengan huruf u, alih-alih o, dikutip dari The Idea of Indonesia oleh Robert Edward Elson.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Istilah Indonesia semula muncul saat Earl hendak mencari istilah etnografis untuk cabang ras Polinesia yang menghuni Kepulauan Hindia, atau ras-ras kulit cokelat di Kepulauan Hindia.
Namun, Earl justru membuang istilah ini. Menurutnya, kata Indunesia terlalu umum. Ia pun menggantinya dengan istilah yang lebih khusus, yaitu Malayunesians.
Indonesia sebagai Istilah Geografis
Logan lalu memungut gagasan Earl dan mengganti Indunesia dengan Indonesia. Menurutnya, kata Indonesia lebih cocok untuk menjadi istilah geografis, bukan istilah etnografis.
Dari kata Indonesia, menurutnya dapat diturunkan kata baru yang tepat untuk menyatakan penduduk atau orang yang menghuni kepulauan tersebut.
"Saya lebih menyukai istilah geografis Indonesia, yang sekadar pemendekan istilah Kepulauan Hindia atau Indian Archipelago. Dari sana kita dapatkan 'Indonesians' (orang Indonesia) untuk menyatakan 'Indian Archipelagian atau Archipelagic', dan 'Indonesians' (orang Indonesia) untuk 'Indian Archipelagians' atau 'Indian Islanders'.
Logan kemudian terus memakai istilah Indonesia dalam arti geografis pada tulisan-tulisannya, tetapi tetap diiringi istilah Indian Archipelago (Kepulauan Hindia). Ia juga membagi geografi Indonesia ke dalam empat kawasan terpisah, mulai dari Sumatra sampai Formosa (Taiwan).
Tidak Langsung Ramai Dipakai
Kata Indonesia rupanya tidak langsung dipakai luas. Kata Indonesia baru dipakai lagi pada 1877 oleh ahli antropologi asal Prancis ET Hamy.
Saat itu, ia menggunakan kata Indonesia untuk menyatakan kelompok-kelompok ras prasejarah dan pra-Melayu tertentu di kepulauan Indonesia. Penggunaan istilah dan maknanya ini diikuti ahli antropologi asal Britania AH Keane pada 1880.
Di tahun yang sama, kata Indonesia dengan makna yang senada dengan Logan baru dipakai oleh ahli linguistik Britania NB Dennys. Penggunaannya diikuti oleh administrator kolonial dan ahli bahasa Melayu asal Britania Sir William Edward Maxwell pada 1882.
Penggunaan istilah Indonesia lebih dianggap setelah dipakai cendekia kenamaan yang seorang ahli etnografi Jerman, Adolf Bastian. Ia yang tahu kata ini dipakai Logan kemudian menggunakan kata Indonesia untuk lima jilid bukunya, Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel (terbit 1884-1894).
Ahli etnologi dan mantan pejabat Hindia Belanda GA Wilken kemudian juga menggunakan istilah Indonesia pada September 1885, saat ia menjadi profesor di Universitas Leiden.
Namun, ia hanya sesekali menggunakannya dan lebih suka istilah Kepulauan Hindia. Di sisi lain, Wilken sudah menggunakan kata Indonesia untuk menyatakan budaya orang-orang yang tersebar dari Madagaskar sampai Taiwan, di samping menyatakannya sebagai wilayah geografis.
Ahli Islamologi Christiaan Snouck Hurgronje juga menggunakan istilah Indonesia, tetapi menyukai istilah umum Inlander (pribumi). Sedangkan ahli etnologi dan misionaris AC Kruyt menggunakan kata Indonesia untuk menyatakan budaya warga setempat dalam karyanya tentang animisme pada 1906.
Dalam penelitian, istilah Indonesia, Indonesien, Indonesier, Indonesischer, Indonesische, Volkren Indonesiens digunakan empat kali pada judul artikel penelitian dalam rentang 1866-1893, lalu empat kali dalam kurun 1894-1900, serta tiga kali dalam 1901-1905. Kata Indonesia pada penelitian tersebut lebih banyak dipakai untuk menyatakan budaya.
Sedangkan jilid kedua buku ensiklopedia Hindia Belanda berjudul Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie (1899) menyatakan wilayah orang Melayu tersebar dari Madagaskar sampai Formosa (Taiwan), dan terbanyak di Indonesia sebagai berikut:
"Dalam pengertian geografis, wilayah ras Melayu adalah ranah kepulauan, yang terbagi menjadi Indonesia, New Guinea, Melanesia, Polinesia, Mikronesia, Filipina, Selandia Baru, dan Madagaskar, juga semenanjung Melaka dan pedalaman Formosa (Taiwan). Populasi bangsa penghuni pulau-pulau itu sebesar sekitar 45 juta orang, dan tak kurang dari 33 juta merupakan penduduk Hindia Belanda."
Cikal Bakal Negara
Istilah indonesia sebagai gagasan politik cikal bakal negara berangkat dari terciptanya Hindia Timur Belanda (Nederlandsch Oost Indie), yakni wilayah yang dianggap bersatu dan relatif terpadu dalam segi ekonomi dalam pendudukan kolonial Belanda.
Indonesia sebagai gagasan politik kenegaraan juga muncul seiring perkembangan transportasi, seperti rel kereta, jalan, dan pelayaran. DI samping itu, muncul juga kesamaan mata uang, pajak, dan hukum terpusat. Transmigrasi oleh pemerintah atau oleh kemauan sendiri, serta penyebaran penggunaan bahasa Melayu juga mendorong saling paham dan berkurangnya persaingan antarras di Indonesia.
Para sarjana di masa itu, terutama yang terkait jurusan Indologi di Leiden, makin menggunakan istilah Indonesia. Antara 1911-1925, kata Indonesia, Indonesian, Indonesie, Indonesien, Indonesier, Indonesiers, dan Indonesisch muncul pada judul 22 jurnal, sedangkan kata Inlander, Inlanders, dan Inlandsch 30 kali.
Didorong Orang Indonesia
Sekitar tahun 1925, banyak organisasi yang berorientasi nasional memakai nama Indonesia. Organisasi-organisasi ini juga ingin memberi isi ketatanegaraan ke dalam kata Indonesia, dikutip dari Sejarah Zaman Kebangkitan Nasional dan Masa Hindia Belanda oleh Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto.
Sejak saat itu, nama Indonesia secara luas dipakai pada surat kabar, judul karangan, organisasi, dan lainnya. Contohnya seperti judul Indonesia in de Wereldgemeenschap (Indonesia di Tengah-tengah Pergaulan Dunia), Indonesia di Tengah-tengah Revolusi Asia, dan De Vakvereeniging in Indonesie (Serikat Sekerja di Indonesia) yang termuat di nomor lustrum 15 tahun berdirinya Indonesische Vereeniging (1908-1923).
Perjuangan untuk mengganti nama dari Nederlandsche-Indie (Hindia Belanda) menjadi Indonesia itu dicatat oleh penyusun pertama Sejarah Pergerakan Nasional, J Th Petrus Blumberger (1931).
Lebih lanjut, wakil Perhimpunan Indonesia (PI) di kongres Liga Anti Penindasan Imperialisme dan Kolonialisme di Brussel (10-15 Februari 1927), Nazir Datuk Pamuntjak, berpidato dengan judul Indonesie en de Vrijheid-strijd (Indonesia dan Perjuangan Kemerdekaan).
Pada pidato tersebut, Nazir menjelaskan "Indonesia adalah nama kepulauan Hindia, terdiri dari Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan banyak pulau kecil lainnya dengan jumlah penduduknya sebanyak 50 juta."'
Nama Assurantie Indonesia pun mengemuka di Bandung pada 1920-an. Sedangkan istilah Nusantara juga banyak dipakai, salah satunya oleh Ki Hadjar Dewantara dan Sanusi Pane.
Propaganda PI di Belanda disambut dengan berdirinya Partai Nasional Indonesia (1927) di Bandung dan Perhimpunan Pemuda Pelajar Indonesia (PPPI) di Jakarta. PPPI terdiri dari pelajar Sekolah Tinggi Hukum dan Sekolah Tinggi Kedokteran.
"PPPI berusaha untuk sedikit banyak mengisi tempat PI di Nederland dan dalam majalahnya Indonesia Raja mempropagandakan usaha ke arah Indonesia Raya yang merdeka," tulis Blumberger.
Atas prakarsa PPPI, Kongres Pemuda Indonesia II pada 28 Oktober 1928 menyatakan Sumpah Pemuda yang berbunyi:
"Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia. Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia. Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia."
Namun, penggunaan kata Indonesia ketimbang Indonesie saat itu dapat memicu masalah bagi pemakainya, khususnya anak muda. Kendati demikian, masa krisis sejak 1930 tidak cukup mengurangi penggunaan kata Indonesia dalam arti politik kenegaraan.
Dalam Fraksi Nasional, Dewan Rakyat (Volksraad) di bawah kepemimpinan Moh Husni Thamrin mengumumkan akan menggunakan bahasa Indonesia dalam sidang-sidang sesuai keputusan Kongres Bahasa Indonesia di Surakarta tanggal 1 Juni 1938. Dewan Penasihat Gubernur Jenderal Hindia Belanda (Raad van Indie) dalam surat tanggal 1 Juli 1938 memperingatkan bahwa aksi propaganda bahasa Indonesia itu akan menimbulkan kesulitan politik dan menjurus ke keadaan gawat.
Pidato dalam bahasa Indonesia dipandang akan dapat tempat di pers Indonesia. Sementara ketua Volksraad yang orang Belanda akan sulit untuk mengontrol pernyataan dan pandangan politik yang tidak disukai pada pidato tersebut.
Mosi-mosi ketatanegaraan pun muncul di Volksraad, antara lain mosi Wiwoho, mosi Sutardjo, dan mosi Thamrin. Dalam usulan Thamrin, ia menyatakan agar kata Indonesia, Indonesian, dan Indonesisch menggantikan kata Nederlandsch-Indie dan Inlander pada semua undang-undang dan peraturan, tetapi tidak disetujui Pemerintah Hindia Belanda agar tidak memicu ke arah Indonesia merdeka.
Agustus 1945, kata Indonesia resmi mendapat arti politik kenegaraaan di mata nasional dan internasional. Dalam proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, Soekarno menyatakan isi teks proklamasi sebagai berikut:
Kami Bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia.
Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dll diselenggarakan dengan cara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Jakarta, hari 17 bulan 8 tahun 05
Atas nama bangsa Indonesia
Soekarno/Hatta
Selamat Hari Ulang Tahun (HUT) ke-79 Republik Indonesia (RI), detikers.
(twu/pal)