Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengungkapkan bahaya gempa Megathrust Nankai Jepang bisa sampai ke Indonesia. Begini penjelasannya.
Seperti diketahui, Jepang baru dilanda gempa bermagnitudo 7,1 pada Kamis (8/8/2024). Gempa ini bersumber dari Megathrust Nankai di timur lepas pantai Pulau Kyushu, Shikoku, dan Kinki, di Jepang Selatan.
Tentang Megathrust Nankai
Megathrust Nankai adalah salah satu zona seismic gap, yakni sebuah zona sumber gempa potensial yang belum terjadi gempa besar dalam masa puluhan hingga ratusan tahun terakhir. Saat ini, zona tersebut diduga sedang mengalami proses akumulasi medan tegangan atau stres kerak bumi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berdasarkan sejarah yang dihimpun BMKG, gempa Megathrust Nankai telah membangkitkan beberapa kali gempa dahsyat yang destruktif. Contohnya, Gempa Hakuho Nankai (tahun 684), Gempa Ninna Nankai (tahun 887), Gempa Kōwa Nankaido (tahun 1099), Gempa Shōhei Nankaido 8,4 magnitudo (3 Agustus 1361).
Kemudian Gempa Keichō Nankaido 7,9 magnitudo (3 Februari 1605), Gempa Hoei 8,7 magnitudo (28 Oktober 1707), Gempa Ansei Nankai 8,4 magnitudo (24 Desember 1854), Gempa Nankaido 8,4 magnitudo (21 Desember 1946).
Bahaya Gempa Bisa Sampai ke Indonesia
Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Daryono, menjelaskan gempa-gempa dahsyat tersebut hampir semuanya memicu tsunami, karena sistem Megathrust Nankai berpotensi sangat aktif. Zona sumber gempa ini dapat memicu gempa berkekuatan 8,0 magnitudo hingga lebih di setiap satu atau dua abad.
Bahkan para ilmuwan Jepang meyakini Palung Nankai memiliki beberapa segmen megathrust yang jika seluruh tepian patahan tersebut tergelincir sekaligus mampu menghasilkan gempa berkekuatan hingga 9,1 magnitudo.
Jika kekhawatiran terjadinya gempa yang disampaikan para ahli Jepang tersebut menjadi kenyataan, Daryono mengatakan bisa terjadi gempa dahsyat yang memicu tsunami.
"Jika gempa dahsyat di Megathrust Nankai tersebut benar-benar terjadi dan menimbulkan tsunami maka hal ini perlu kita waspadai, karena tsunami besar di Jepang dapat menjalar hingga wilayah Indonesia," katanya dikutip dari Antara, Senin (12/8/2024).
Megathrust Nankai Mirip dengan Megathrust di Indonesia
Menurut Daryono, Megathrust Nankai mirip dengan setidaknya dua megathrust di Indonesia yang sudah lama tidak melepaskan energinya dalam bentuk gempa.
"Kekhawatiran ilmuwan Jepang terhadap Megathrust Nankai saat ini sama persis yang dirasakan dan dialami oleh ilmuwan Indonesia, khususnya terhadap 'Seismic Gap' Megathrust Selat Sunda (M8,7) dan Megathrust Mentawai-Suberut (M8,9)," ujar Daryono seperti dikutip dari CNN Indonesia Senin (12/8/2024).
"Rilis gempa di kedua segmen megathrust ini boleh dikata 'tinggal menunggu waktu' karena kedua wilayah tersebut sudah ratusan tahun belum terjadi gempa besar," sambungnya.
Berdasarkan Peta Sumber dan Bahaya Gempa Indonesia 2017, kedua segmen megathrust ini terakhir kali gempa lebih dari dua abad silam. Megathrust Selat Sunda, memiliki panjang 280 km, lebar 200 km, dan pergeseran (slip rate) 4 cm per tahun, tercatat pernah 'pecah' pada 1699 dan 1780 dengan Magnitudo 8,5.
Megathrust Mentawai-Siberut, dengan panjang 200 km dan lebar 200 km, serta slip rate 4 cm per tahun, pernah gempa pada 1797 dengan M 8,7 dan pada 1833 dengan M 8,9.
Seperti halnya megathrust Nankai, Daryono menyebut gempa di zona megathrust amat potensial memicu tsunami.
"Karena setiap gempa besar dan dangkal di zona megathrust akan memicu terjadinya patahan dengan mekanisme naik (thrust fault) yang dapat mengganggu kolom air laut (tsunami)," jelasnya.
Mitigasi dari BMKG
Merespons potensi bencana ini, BMKG menyatakan sudah menyiapkan sistem monitoring, prosesing, dan diseminasi informasi gempa bumi dan peringatan dini tsunami.
BMKG juga mengaku telah memberikan edukasi, pelatihan mitigasi, drill, evakuasi, berbasis pemodelan tsunami kepada pemerintah daerah, stakeholder, masyarakat, pelaku usaha pariwisata pantai, industri pantai, dan infrastruktur kritis (pelabuhan dan bandara pantai).
"Semoga upaya kita dalam memitigasi bencana gempa bumi dan tsunami dapat berhasil dengan dapat menekan sekecil mungkin risiko dampak bencana yang mungkin terjadi, bahkan hingga dapat menciptakan zero victim," pungkasnya.
(nir/nwy)