Imigran Tionghoa di Phuket, Thailand diketahui telah berasimilasi dengan kota dan wilayah tersebut hingga ke Malaysia. Salah satu caranya adalah dengan menikahi penduduk etnis Melayu dan Thailand.
Setelah menikah, kemudian para imigran akan melahirkan budaya "Peranakan" atau "Baba Nyonya" yang bertanggung jawab atas banyaknya tradisi dan adat paling berbeda di kota tersebut.
Kira-kira seperti apa kebudayaan di sana saat ini? Seperti apa para imigran berasimilasi hingga lahir peranakannya?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kebudayaan Phuket
Phuket adalah suatu kota yang terletak di lepas pantai barat daratan Thailand. Phuket terletak sekitar 325 kilometer di barat laut Penang, satu di antara pusat komunitas Peranakan Tionghoa.
Peranakan Tionghoa adalah keturunan imigran Tionghoa awal di Asia Tenggara yang berasimilasi melalui perkawinan campur atau akulturasi dengan penduduk lokal.
Dilansir dari Permanent Jakarta Thai Embassy, kota Phuket dapat dikatakan berubah mulai abad ke-15 dan 16 kala masyarakat Sriwijaya-Tamil Jolha menduduki Phuket, membawa serta rempah-rempah.
Kemudian pada abad ke-17, datang Kerajaan Siritham Nakorn ke Phuket, memberikan hidangan dan resep yang tersebar di wilayah selatan Thailand hingga saat ini.
Pada 2012, Phuket mengajukan diri menjadi Kota Kreatif UNESCO dan dinobatkan sebagai Creative City of Gastronomy.
Sejarah Asimilasi Budaya dan Peranakan Tionghoa
Para penghuni awal Tionghoa yang ada di masyarakat Asia Tenggara, telah melahirkan budaya Baba Nyonya hibrida dengan ciri-ciri Tionghoa tertentu yang dapat dikenali. Asimilasi budaya ini menjadi fenomena sosio-historis yang telah dipelajari dengan baik.
Tiongkok, sebenarnya telah menjadi sumber migran yang tak terhitung jumlahnya ke Asia Tenggara dan sekitarnya. Begitupun sebaliknya, Tiongkok juga menjadi penerima imigran asing di masa lalu. Kemudian, keturunannya berasimilasi ke dalam masyarakat Tionghoa.
Dikutip dari South China Morning Post (SCMP) edisi 19 Juli 2024 yang ditulis Wee Kek Koon, proses asimilasi orang asing ke dalam masyarakat Tionghoa di Tiongkok, sejak dulu terjadi melalui tiga proses utama.
Proses pertama melibatkan orang asing, terutama dari kerajaan oasis dan negara-kota di Asia Tengah, yang mengungsi ke Tiongkok akibat perang atau bencana lainnya.
Cara kedua adalah melalui tawanan perang sipil yang dibawa kembali ke Tiongkok, seperti warga Korea dari Kerajaan Goguryeo dan Baekje, setelah kekalahan mereka pada abad ke-7 oleh gabungan pasukan Dinasti Tang dan Silla, serta kerajaan Korea lainnya.
Cara ketiga adalah para pedagang yang datang dari seluruh Asia melalui jalur darat dan laut ke Tiongkok pada masa damai dan kemakmuran.
Banyak dari mereka memilih untuk menetap di Tiongkok. Para pemukim pertama (dari berbagai daerah di Asia Tenggara) menikahi wanita Tionghoa dan memulai keluarga. Mereka mencerminkan pengalaman orang Tionghoa Peranakan di Asia Tenggara.
Bagaimana Kebudayaan Peranakan Tionghoa?
Orang Peranakan Tionghoa dan keturunannya, seperti di Phuket, mengadopsi nama dan adat istiadat Tionghoa, lalu fasih berbahasa Mandarin hingga melupakan bahasa asli mereka.
Melewati sejumlah generasi, sebagian besar dari mereka, secara fisik maupun budaya tak lagi dibedakan dari mayoritas suku Han Tiongkok. Satu-satunya petunjuk mengenai nenek moyang asli mereka yang berasal dari luar negeri, yaitu nama-nama keluarga tertentu.
Beberapa "Peranakan" masih mempertahankan agama asli mereka. Sementara yang lain seperti penganut Zoroaster dan Manichean dari Persia, kehilangan kepercayaan mereka.
Ada pula komunitas Yahudi yang mempraktikkan bentuk Yudaisme yang sangat sederhana dan hampir tak dikenali.
Kini, kekhawatiran muncul pada banyak komunitas etnis Tionghoa di negara-negara seperti Singapura dan Malaysia akibat generasi muda yang kehilangan sebagian warisan mereka.
Seperti keturunan orang Yahudi, Arab, dan Persia kuno yang bepergian dan menetap di Tiongkok, banyak yang telah kehilangan warisan mereka.
(faz/faz)