Jalur Sutra acap digambarkan sebagai rute perdagangan yang eksotis. Jalur ini membentang mulai dari Asia Tengah hingga Eropa, melintasi oasis-oasis padang pasir yang dipagari pegunungan bersalju dengan pemandangan menakjubkan.
Para pedagang menggunakan unta-unta menarik muatan sutra-sutra halus dan benda dagangan lainnya dari China serta sebaliknya membawa barang-barang dari Eropa.
Jalur ini lebih dari sekadar rute niaga, tapi menjadi saksi penting budaya-budaya dari berbagai kawasan saling memengaruhi selama berabad-abad. Namun, di balik cerita eksotisme Jalur Sutra, di baliknya terdapat hal mengerikan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pentingnya ekonomi ini menyebabkan nilai produk yang diperdagangkan melalui Jalur Sutra sangat besar, sehingga menjadikannya sebagai rute perdagangan yang penuh risiko.
"Para pedagang benar-benar bepergian dengan membawa emas dan sutra dengan kualitas terbaik. Sutra yang diperdagangkan di Jalan Sutra hampir membuat Roma bangkrut, yang menunjukkan betapa berharganya barang-barang ini," kata Christine Lee, asisten profesor Antropologi di University of Mississippi, Amerika Serikat
Pengamatan Arkeolog Membuktikan Adanya Kekerasan di Jalur Sutra
Lee dan rekan penulisnya, Cassandra Kuba dari Pennsylvania Western University, menganalisis 275 tengkorak dari 3 situs arkeologi di Xinjiang modern, barat laut Cina, dan Mongolia.
Tengkorak tersebut berasal dari kisaran tahun 1000 - 420 sebelum Masehi. Wilayah temuannya juga dipengaruhi oleh munculnya tiga era berbeda, yaitu Dinasti Qin (221 - 206 sebelum Masehi), Dinasti Han (202 - 220 sebelum Masehi), dan Dinasti Xiongnu (220 sebelum Masehi - 460 Masehi).
Para peneliti membuktikan adanya wilayah yang secara etnis dinamis, yang pemukimannya memiliki hubungan langsung dengan kekerasan. Namun, hal tersebut berbeda-beda antara keempat lokasi.
"Kami melihat banyak trauma yang terjadi di lokasi. Bukan karena kecelakaan atau orang yang berkelahi di bar, melainkan serangan ala perkelahian," ujar Lee.
Terdapat satu lokasi bernama Chandman yang memiliki tingkat kekerasan tertinggi, termasuk empat pukulan ke wajah dari tengkorak yang dianalisis hingga 'luka tembus' di wajah yang dapat menghilangkan identitas mereka.
Kekerasan yang terjadi bersifat mengerikan, ditambah lokasi geografisnya yang jauh dari lokasi di Xinjiang modern menunjukkan bahwa Jalur Sutra berada di dekat perbatasan yang disengketakan dan dihuni oleh tentara terlatih.
"Banyak pria yang dilatih untuk melindungi wilayah tersebut. Banyak luka tampaknya berasal dari pertempuran kecil. Dan mereka adalah pria yang sangat muda dengan tebasan pedang. Kejadiannya cukup brutal," ungkap Lee.
Lokasi kedua dengan penuh kekerasan adalah Yanghai, terletak di Xinjiang. Lokasi tersebut memperlihatkan tanda-tanda konflik. Lee dan Kuba menduga bahwa para korban merupakan penjaga terlatih yang melindungi bagian Jalur Sutra yang sangat penting secara ekonomi.
Selain itu, ada pula Nileke, pemukiman paling Barat yang dipercaya menjadi lokasi pertambangan, terpencar korban kekerasan yang lagi-lagi merupakan pasukan terlatih untuk melindungi sumber daya dari serangan.
Akan tetapi, wilayah Nileke bukan hanya menjadi lokasi serangkaian komunitas yang berkelahi dan memperebutkan eksploitasi sumber daya. Daerah itu sangat dinamis dan beragam.
Tak Hanya Kekerasan yang Ada di Jalur Sutra
Menyoroti kerumitan ini, satu lokasi di Yingpan, yang terletak paling selatan dari keempat lokasi tersebut, tampak adanya tempat pelatihan bagi pemain polo profesional.
Para penghuni tempat tersebut memiliki trauma serupa dan tampak seperti pukulan langsung ke hidung, seolah-olah wajah mereka dipukul dengan bola atau tongkat.
"Saya menduga bahwa kota itu melatih pemain polo untuk permainan profesional, bukan hanya sekadar rekreasi," ujar Lee.
Insiden-insiden itu menunjukkan bahwa meskipun sebagian besar Jalur Sutra terpisah dari China, masih ada hubungan dengan negara besar di sebelah timur mereka.
(pal/pal)