Siapa yang tidak tahu dengan Soepomo? Salah satu arsitek konstitusi Undang-undang Dasar 1945 yang kemudian membuatnya dikenal sebagai Bapak Konstitusi Indonesia.
Soepomo berasal dari keluarga priyayi. Ayahnya, Raden Tumenggung Wignyodipuro, merupakan Bupati Surakarta.
Prof Mr Dr R Soepomo atau akrab dipanggil Soepomo adalah salah satu pahlawan yang banyak berkontribusi terhadap kemerdekaan Indonesia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia lahir pada tanggal 22 Januari 1903 di Sukoharjo, Solo. Soepomo adalah orang yang pendiam, berhati-hati, sopan, dan bukan orang yang berambisi mencapai popularitas.
Di masa kanak-kanaknya, sistem pendidikan Indonesia dikendalikan kolonial Belanda sehingga menyebabkan kebodohan, kemiskinan intelektual, dan ketimpangan lainnya.
Namun, berkat latar belakangnya sebagai seorang anak bangsawan, Soepomo yang menjadi salah satu orang yang mendapat kesempatan berpendidikan tinggi.
Dikutip dari buku berjudul Prof. Mr. Dr. R. Supomo oleh Drs. A. T. Soegito Bc. HK, ia bersekolah dengan anak-anak Belanda dan putra-putri kaum bangsawan lain di Europeesche Lagere School (ELS) di Boyolali.
Setelah menamatkan sekolahnya di usia 14 tahun, Soepomo masuk ke sekolah tingkat berikutnya pada tahun 1917 di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), Solo. Ia berhasil menamatkan sekolah di tingkat ini pada tahun 1920.
Ia lantas melanjutkan pendidikan di sekolah hukum di Batavia (Bataviasche Rechtsschool) dan lulus dengan hasil yang sangat memuaskan pada tahun 1923.
Setelah lulus, Soepomo menempuh karier pertamanya sebagai pegawai di Pengadilan Negeri Sragen. Pada masa inilah, ketertarikan Soepomo kepada Hukum Adat mulai muncul.
Tidak lama kemudian, ia mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikannya di Rijksuniversiteit Leiden, Negeri Belanda pada tahun 1924 hingga 1927.
Di negeri itu juga, Soepomo bergabung dengan organisasi Perhimpunan Indonesia. Pada tahun 1927, ia memperoleh gelar sarjananya dengan predikat summa cumlaude sebagai Meester in de Rechten (Mr).
Ia pun melanjutkan studi ditingkat selanjutnya dan berhasil memperoleh gelar Doctor in de Rechtsgeleerdheid. Disertasinya tentang Hukum Adat di Surakarta dengan judul "De reorganisatie van het agrarisch stelsel in het gewest Surakarta" (Reorganisasi sistem agraria di wilayah Surakarta).
Gelar Doktor Hukum itu dicapainya dalam usia yang masih begitu muda yakni 24 tahun. Dikutip dari laman Universitas Indonesia, Soepomo memperoleh penghargaan "Gadjah Mada", penghargaan tertinggi di bidang hukum dari Leidsch Universiteits-Fonds pada masa itu.
Keterlibatan Soepomo sebagai Perancang UUD 1945
Nama Soepomo sering disebutkan dalam peristiwa penting menjelang proklamasi kemerdekaan. Ia ikut serta dalam menyampaikan rumusan dasar negara di sidang pertama BPUPKI pada 29 Mei - 1 Juni 1945 bersama Soekarno dan Moh. Yamin.
Soepomo juga memiliki peran yang penting sebagai Ketua Panitia Kecil Perancang Undang-undang Dasar dalam sidang kedua BPUPKI yang berlangsung pada 10-17 Juli 1945. Peran ini di kemudian hari membuatnya dikenal sebagai Bapak Konstitusi Indonesia.
Sebelum terlibat dalam BPUPKI, ia banyak bekerja di pusat pemerintahan pada masa pendudukan Jepang. Ia menjadi Pejabat Kepala Kantor Perundang-undangan (Hooki Kyoku), yang merupakan bagian dari Departemen Kehakiman.
Dikutip dari penelitian berjudul Soepomo di Dunia Pers: Kiprahnya dalam Majalah Mimbar Indonesia (1947-1958), Soepomo juga menjabat sebagai anggota Mahkamah Agung (Saikoo Hooin) hingga mencapai jabatan Kepala Departemen Kehakiman (Shihobu).
Ia terlibat banyak organisasi sebelum berkontribusi pada sebelumnya, Soepomo menjadi Wakil Ketua Budi Utomo pada tahun 1928 hingga 1930.
Di tahun 1928, ia juga mengikuti Kongres Perempuan Indonesia yang pertama sebagai perwakilan dari Budi Utomo.
Kiprah Soepomo di Dunia Pendidikan
Andil Soepomo tak hanya dalam perumusan dasar negara dan berbagai bentuk keadilan. Melainkan juga menaruh perhatian pada dunia pers untuk mendirikan majalah.
Soepomo merupakan satu dari anggota Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang diketuai oleh Haji Agus Salim dan wakil ketua Mohammad Natsir.
Ia diangkat sebagai anggota pada 24 September 1952 dan terus terlibat dalam majalah Mimbar Indonesia. Majalah mingguan tersebut didirikan oleh Soepomo bersama dua tokoh nasional lainnya, yaitu Pangeran Mohammad Noor dan Soekardjo Wirjopranoto.
Majalah Mimbar Indonesia terbit pada masa pemerintahan Soekarno, dengan edisi pertamanya rilis bertepatan dengan Hari Pahlawan Nasional.
Tujuan didirikannya majalah ini adalah memberikan penerangan, menanamkan semangat, dan keyakinan bernegara ketika Indonesia berada di bawah kendali Belanda.
Majalah ini bertujuan sebagai alat perjuangan serta mempersatukan kembali daerah-daerah yang tergabung dalam Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO) dan Republik Indonesia.
Sepulang studi dari Belanda, selain berkiprah di dunia hukum, ia juga aktif menjadi dosen dan dikukuhkan menjadi Guru Besar Luar Biasa dan Guru Besar dalam Hukum Adat di Sekolah Hukum Batavia.
Pada tahun 1951, Soepomo diangkat menjadi Presiden atau Rektor Universiteit Indonesia (UI) yang kedua untuk periode 1951-1954. Ia menggantikan Ir. Soerachman, presiden sebelumnya yang mengundurkan diri karena sakit.
Pada saat itu, tenaga pengajar di UI masih banyak berasal dari Belanda, dan UI mengalami kekurangan tenaga pengajar.
Oleh sebab itu, Soepomo menekankan bahwa UI harus mulai membuka hubungan secara internasional serta melakukan afiliasi dengan perguruan tinggi di luar negeri.
Aspirasi ini kemudian diwujudkan dengan beberapa bentuk kerjasama, seperti dengan International Cooperation Administration, Ford Foundation, UNESCO, serta British Council, yang memberi bantuan baik berupa buku, tenaga pengajar, maupun beasiswa kepada beberapa fakultas di UI.
(pal/pal)