Lumbung tua di pegunungan terjal Anti-Atlas, Maroko tidak hanya menyimpan hasil panen. Di dalamnya, terdapat akta kelahiran, akta nikah, kontrak keagamaan, hingga resep pengobatan tradisional yang tertulis di atas batang palem.
Lumbung tua itu diperkirakan berdiri sejak abad ke-18. Penduduk desa Amazigh berupaya melestarikannya hingga kini, kendati tersisa sekitar 63 keluarga saja di sana pada 2023. Dokumen-dokumen mereka yang pergi tetap dijaga di sana.
"Warga lain sudah pergi, tapi arsip mereka tetap di sini," kata Lahcen Boutirane, penjaga lumbung kolektif tersebut, pada Al Jazeera.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Warga setempat menyebutnya agadir, yang artinya lumbung bersama dalam bahasa Berber Maroko. Agadir di Ait Kine tersebut terletak 460 km dari Rabat, ibu kota Morokko, dan merupakan salah satu dari sedikit lumbung kolektif yang tersisa.
Lumbung padi tersebut dibangun di tengah desa. Di sekelilingnya didirikan tembok berbenteng, lengkap dengan menara pengawas dari batu. Apa alasannya ya?
Di Balik Lumbung Arsip di Pegunungan Terjal
Warga Amazigh, Abdelghani Charai, menjelaskan agadir khususnya bermanfaat saat masa kerusuhan dan pemberontakan pada pemerintah. Tempat penyimpanan ini dinilai aman untuk menampung stok pangan hingga dokumen berharga.
Agadir warga Amazigh memiliki 76 bilik yang terbagi dalam tiga lantai. Bilik-bilik tersebut diisi dengan stok jelai, kurma, kacang almond, dan dokumen-dokumen. Area di luar bangunan merupakan ruang terbuka dengan tangki air.
Tetua desa, Hossine Oubrahim, menjelaskan warga setempat menghormati wilayah ini sebagai warisan leluhur terkait upaya ketahanan pangan.
"Kami dibesarkan dengan tradisi menyimpan biji-bijian, buah kering, minyak, dan barang-barang berharga di sana," tuturnya.
Arkeolog Naima Keddane mengatakan, warga setempat juga menjaga agadir sebagai tempat sakral yang tidak boleh diganggu gugat. Sebab, tempat ini tidak hanya melindungi mereka dari kelaparan saat kekeringan, tetapi juga dari serangan.
Praktik lumbung desa di pergunungan juga dapat ditemukan di pegunungan Aures di Aljazair dan pegunungan Nafusa di Libya. Namun, yang terbanyak tetap di Maroko, kendati banyak yang tidak lagi difungsikan digunakan warga desa.
Kerajaan Maroko memiliki sekitar 550 igoudar, bentuk jamak agadir. Lumbung-lumbung warga ini dibangun terutama di gua-gua, sisi tebing, puncak bukit, dan lembah di Maroko bagian tengah dan selatan.
Melestarikan Bangunan Warisan Budaya
Perubahan iklim dan ekonomi membuat warga setempat pindah untuk mencari tempat tinggal yang lebih aman, nyaman, dan berpeluang kerja lebih besar. Namun, menurunnya populasi di sekitar agadir mengancam keberlangsungannya.
Dikutip dari Google Arts and Culture, warga lokal yang masih tinggal di sekitar agadir berupaya untuk menjaga warisan budaya leluhur tersebut. Upaya ini khususnya menyasar agadir yang rusak atau mulai runtuh.
Mereka pun belajar pada tukang-tukang ahli bangunan dan kerajinan tradisional setempat. Restorasi agadir memakai material bangunan lokal dan juga teknik tradisional.
Di samping melestarikan bangunan agadir, langkah ini juga menjadi cara untuk membuka sumber pemasukan baru, termasuk dari wisata umum maupun peneliti. Mereka juga jadi berkesempatan melakukan perbaikan dan pembangunan di situs-situs lain.
Terkait menggiatkan wisata, warga perempuan pun turut turun tangan. Desainer Amina Agueznay melatih warga perempuan setempat untuk merevitalisasi industri kreatif di wilayah tersebut. Dengan demikian, upaya pelestarian budaya tersebut juga dapat mendukung perekonomian keluarga.
Sedangkan anak-anak diajak mengunjungi lumbung-lumbung tua tersebut. Di sana, mereka mempelajari warisan leluhur dan alam, bertemu pengrajin, membersihkan kebun palem, sampai membuat maket agadir dengan daur ulang palem.
(twu/nwk)