Sebagai negara agraris yang memiliki luas lahan pertanian lepas, banyak lahan di Indonesia dengan sistem irigasi yang unik. Salah satunya sistem irigasi subak Bali.
Berakar dari tradisi dan spiritualitas masyarakat Bali, subak tidak hanya berfungsi sebagai pengairan, melainkan juga warisan budaya yang kaya akan nilai-nilai kebersamaan dan gotong royong.
Bahkan pada 29 Juni 2012 dalam sidang ke-36 Komite Warisan Dunia UNESCO di kota Saint Petersburg, Federasi Rusia, pengusulan Subak sebagai Warisan Budaya Dunia telah disetujui dan ditetapkan.
Organisasi pendidikan, Ilmu pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO) kemudian mengakui Subak di Bali sebagai Warisan Budaya dunia, menurut keterangan yang dikutip dari situs Kemdikbud RI.
Apa itu Subak Bali?
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), subak adalah sistem pengairan teratur yang diselenggarakan oleh rakyat di Bali.
Sementara dikutip dari buku berjudul "Sistem Subak di Bali" oleh Fadjria Novari Manan dan Sindu Galba tahun 1989, subak adalah organisasi pengairan para penggarap sawah.
Subak menjadi sistem irigasi para petani yang mengelola air irigasi di persawahan. Air irigasi ini berasal dari satu sumber atau bendungan tertentu.
Sistem ini terlihat pada kegiatan ritual keagamaan yang dilakukan oleh anggota subak secara rutin sesuai tahapan pertumbuhan padi, mulai dari mengolah tanah hingga memanen hasil padi di lumbung.
Subak memiliki ciri khas yaitu sosial-pertanian-keagamaan dengan tekad dan semangat gotong royong yang bertujuan untuk mendapatkan air demi memenuhi kebutuhan dalam menghasilkan tanaman pangan, terutama padi dan palawija.
Pertanian di Bali terdapat tradisi basah dan kering. Begitu pula dengan subak yang dikenal dengan 'subak tanah basah' yang biasa digunakan mengairi sawah dan 'subak abian' untuk mengairi tanah kering seperti ladang atau kebun.
Kata 'abian' menurut masyarakat setempat berarti 'kebun'. Umumnya, abian ditanami tanaman keras seperti kopi, cengkeh, kelapa, dan cokelat.
Sejarah Subak Bali
Dikutip dari situs resmi Dinas Ketahanan Pangan Provinsi Bali, subak diketahui berawal dari budidaya padi di sawah irigasi, yang sudah ada sekitar tahun 882 Masehi.
Keberadaan ini ditunjukkan pada Prasasti Sukawana A1, prasasti tertua di Bali, yang mengungkapkan kata 'huma' yang berarti sawah. 'Sawah' ini bermakna tadah hujan atau sawah beririgasi.
Kata 'undagi pengarung' yang berarti 'huma' juga tertulis pada Prasasti Bebetin A1 tahun 896 Masehi yang memiliki makna 'sawah beririgasi. Kata 'subak' dalam 'subak rawas' kemudian muncul dalam Prasasti Klungkung tahun 1072 Masehi.
Selain itu, ada banyak prasasti lain yang menunjukkan adanya tanda sawah dan irigasi. Artinya, irigasi memiliki sejarah panjang yang telah diterapkan petani di Bali sejak lebih dari 1000 tahun lalu.
Dalam buku berjudul "Organisasi dan Manajemen Subak di Bali" karya Sutawan tahun 2008, laporan penelitian mengenai subak pertama kali berdiri bernama Subak Timbul Baru pada 1971 di Desa Pupusan, Kecamatan Tegallalang, Kabupaten Gianyar.
Subak pertama kali kala itu memanfaatkan air Sungai Deha Suwung yang memiliki panjang terowongan sekitar 2 km dan mengairi sawah seluas 14 hektar.
Tujuh Hal yang Berkaitan dengan Subak
Menurut C. Geertz dalam bukunya berjudul "Penjaja dan Raja", subak terikat pada hal-hal yang disebut dengan tujuh keterikatan orang Bali, yaitu sebagai berikut.
1. Kewajiban melakukan pemujaan pura tertentu
2. Sistem kasta atau wangsa
3. Tempat tinggal
4. Kesatuan administrasi
5. Tanah pertanian dalam wilayah
6. Ikatan kekerabatan atas dasar hubungan darah dan perkawinan
7. Keanggotaan suatu sekeha/sekaa, yaitu organisasi dalam suatu banjar dengan tujuan tertentu
Subak Bali telah menjadi bagian dari Tri Hita Karana (tiga penyebab kebajikan), yaitu falsafah hidup orang Bali karena memiliki kaitan erat antara manusia, lingkungan, dan Hyang Widhi (Tuhan yang Maha Esa). Maka dari itu subak mengandung unsur adat dan budaya yang kental.
Simak Video "Video: Acara HUT Bhayangkara di Bali, Kapolda Unjuk Gigi Kemampuan Kempo"
(faz/faz)