Kasus penerbitan jurnal predator masih banyak ditemui di dunia pendidikan tinggi. Hal tersebut dapat menunjukkan masih ada ketidakjujuran dalam hal akademis.
Jurnal predator merupakan jurnal yang tak melakukan proses peninjauan dan penyuntingan terlebih dahulu. Jurnal ini akan memangsa para penulis dengan cara memberikan tarif publikasi langsung kepada mereka.
Terkait kasus ini, dua peneliti dari Charles University yakni Vit Machacek dan Martin Srholec (2022) telah melakukan riset berjudul "Predatory publishing in Scopus: Evidence on cross-country differences". Penelitian mengobservasi jurnal-jurnal yang diduga melakukan praktik predator ke dalam basis data kutipan Scopus.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mereka menyaringnya menggunakan nama jurnal dan penerbit predator yang berpotensi atau mungkin melakukannya pada Beall dan Scopus. Machacek dan Srholec memperoleh sebanyak 164.000 artikel yang terbit selama 2015-2017.
Analisis data dilakukan terhadap 172 negara di empat bidang penelitian. Hasilnya, menunjukkan adanya heterogenitas.
Indonesia ke-2 Terbanyak Artikel Terbit di Jurnal Predator
Siapa sangka, dua negara dengan jumlah artikel yang terbit di jurnal predator terbanyak adalah Kazakhstan dan Indonesia. Ada sebanyak 17% artikel di Kazakhstan yang terbit di jurnal yang diduga predator.
Begitu pula di Indonesia, tingkat persentasenya tak jauh beda yakni 16,73% artikel yang terbit di jurnal demikian. Dampak ini juga banyak terjadi pada negara yang juga populasinya tinggi selain Indonesia seperti Nigeria, Mesir, dan Filipina.
Rata-rata negara yang mengalami banyak kasus ini adalah negara berkembang dan kurang berkembang. Peneliti menyebut Korea Selatan adalah yang terburuk di antara negara maju lainnya karena masuk 20 negara teratas.
Peneliti menyimpulkan bahwa negara dengan tingkat ekonomi sedang dan skor penelitian yang besar paling rentan menerbitkan artikel di jurnal yang diduga predator. Mereka juga melihat negara-negara kaya akan minyak cukup mendominasi.
20 Negara dengan Persentase Artikel Jurnal Predator Terbanyak (2015-2017)
- Kazakhstan: 17%
- Indonesia: 16,73%
- Irak: 12,94%
- Albania: 12,08%
- Malaysia: 11,60%
- India: 9,65%
- Oman: 8,25%
- Yaman: 7,79%
- Nigeria: 7,31%
- Sudan: 7,20%
- Yordania: 7,19%
- Maroko: 6,95%
- Suriah: 6,88%
- Filipina: 6,68%
- Mesir: 6,65%
- Palestina: 6,56%
- Tajikistan: 6,48%
- Korea Selatan: 6,37%
- Libya: 6,06%
- Brunei Darussalam: 5,44%
Tentang Penelitian Machacek dan Srholec
Sebelumnya, penelitian serupa pernah dilakukan oleh Shen dan BjΓΆrk (2015) , Xia et al. (2015), dan Demir (2018), serta Wallace dan Perri (2018). Riset-riset tersebut menyimpulkan negara Afrika Utara, India, dan Nigeria yang paling banyak melakukan penerbitan di jurnal predator.
Machacek dan Srholec menyebut penelitiannya yang terbaru menunjukkan basis data jurnal predator yang lebih komprehensif. Mereka juga mengatakan menggunakan bukti yang jauh lebih lengkap dibanding penelitian sebelumnya.
Riset yang dilakukan Machacek dan Srholec termasuk yang pertama mempelajari perbedaan lintas negara secara sistematis antara negara-negara yang masuk daftar teratas.
Namun, peneliti menyebut masih ada kekurangan dalam studinya. Misalnya pada cara penelitian dievaluasi di setiap negara membuat perbedaan utama tidak melihat apakah artikel yang terbit berskala nasional, proyek, atau lembaga pendanaan.
Mereka menekankan bahwa hasil penelitian mereka tak boleh ditafsirkan sebagai alasan untuk mengurangi investasi ke negara-negara tersebut. Menurut mereka, negara-negara yang masuk daftar harus tetap melakukan inovasi nasional.
"Namun, wajar untuk mengeluarkan catatan peringatan bahwa penerbitan predator berpotensi mempersulit evaluasi penelitian dan dengan demikian alokasi dana penelitian yang efektif di banyak sudut dunia. Negara-negara berkembang yang ingin memulai lintasan mengejar ketertinggalan teknologi perlu menanggapi kerumitan ini lebih serius dari sebelumnya," tutur penulis.
(cyu/nah)