Perjalanan yang akan saya ceritakan mungkin bisa menjadi penting untuk mengenal suatu spesies kumbang. Mengapa kumbang? Itu salah satu pertanyaan yang pernah ditanyakan sewaktu saya memaparkan proposal penelitian di suatu kolokium.
Jawaban filosofis adalah setiap makhluk hidup saling berkaitan dan memiliki fungsinya masing masing, entah itu kumbang, semut, kupu-kupu, rayap, dan lainnya. Namun, yang jelas, kumbang yang akan saya cari tahu lebih lanjut belum pernah diungkapkan pada saat itu, yaitu kumbang-kumbang yang berasal dari berbagai tipe habitat montane (pegunungan) di Kawasan Gunung Bawakaraeng, Sulawesi Selatan.
Sulawesi selalu menjadi pemilihan lokasi menarik untuk penelitian serangga karena letak geografisnya yang berada dalam kawasan Wallacea dan menjadi salah satu hotspot biodiversitas.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saat itu, saya meneliti pada empat lokasi dengan kondisi habitat dan ketinggian berbeda, yaitu (1) lahan pertanian (1.465 mdpl), (2) kawasan hutan pinus (1.545 mdpl), (3) hutan campuran, gabungan hutan alam dan hutan ekaliptus (1.835 mdpl), dan (4) murni hutan alam (2.165 mdpl).
Tentunya saya tidak bisa meneliti semua kumbang sehingga saya batasi dalam dua famili saja, yaitu kumbang Carabidae dan Staphylinidae. Jika Anda pernah mempelajari biologi sewaktu SMP dan SMA, ada suatu bab tentang pengelompokan makhluk hidup. Saya tidak akan menjelaskan detail mengenai hal tersebut, tetapi singkatnya adalah penerapan nama suatu famili hewan menggunakan akhiran "- idae".
Mengapa dua famili tersebut? Alasannya sederhana. Ketika saya mengoleksi kumbang dengan sejumlah perangkap sumuran (pitfall trap), dua famili tersebut yang terbanyak diperoleh baik dilihat dari jumlah individu maupun jumlah spesies sehingga saya memutuskan untuk mempelajarinya lebih lanjut.
Pada tulisan ini, sebagian besar akan saya beri perhatian lebih pada kumbang Staphylinidae atau yang bisa kita sebut sebagai kumbang kelana.
Bagaimana saya dapat mengenal spesies kumbang tersebut? Dalam tahap tersebut, kebanyakan anggota kumbang yang saya peroleh belum mampu saya identifikasi hingga level spesies. Secara ringkas, saya akan sebutkan urutan klasifikasi taksa hewan, yaitu mulai dari Regnum/Kingdom, Filum, Kelas, Ordo/Bangsa, Famili, Genus/Marga, hingga Spesies.
Nah, dalam penelitian kumbang saat itu, kebanyakan hanya mampu saya kenali sampai tingkat genus saja. Butuh waktu yang banyak untuk mengidentifikasi kumbang hingga level spesies, menggunakan berbagai referensi buku dan jurnal, hingga mencocokkan dengan referensi koleksi serangga di Museum Zoologicum Bogoriense (MZB) yang terletak di Cibinong Science Center, Pusat Penelitian Biologi, LIPI-sekarang bernama Kawasan Sains dan Teknologi (KST) Soekarno - BRIN, Cibinong. Setelah semua proses itu, saya melakukan verifikasi dengan para ahli kumbang dari berbagai belahan dunia.
Singkat cerita, saya berhasil mengenali sembilan spesies berbeda dalam famili Carabidae dan 37 spesies pada family Staphylinidae. Kebanyakan kumbang Staphylinidae memiliki ukuran tubuh yang lebih kecil dibandingkan Carabidae.
Ukuran panjang tubuh Carabidae berkisar 0,5 cm - 1,5 cm, sedangkan Staphylinidae berkisar antara 0,1 cm hingga 1,2 cm. Dulu pernah heboh berita mengenai wabah tomcat. Nah, tomcat itu termasuk kumbang Staphylinidae.
Lalu, mengapa menjadi penting untuk mengenal spesies kumbang? Jadi, penelitian saya saat itu lebih melihat dalam aspek keanekaragaman dan kelimpahan kumbang serta perannya dalam suatu ekosistem. Untuk menjawab pertanyaan tentang apa sih fungsi kumbang tersebut dalam suatu habitat yang mereka tempati, maka saya perlu mengenal kumbang tersebut sejelas-jelasnya, meskipun ada keterbatasan. Di situlah saya perlu melakukan semedi dengan berbagai kitab alias jurnal ilmiah.
Total subfamili yang berhasil saya data pada famili Staphylinidae berjumlah delapan, dan dua subfamili menyumbang komposisi terbesar, yaitu subfamili Aleocharinae dan Staphylininae. Kalau penamaan famili berakhiran "-idae", penamaan subfamili bersufiks "-inae". Pertanyaan lanjutan timbul.
Memang ada apa dengan kedua subfamili tersebut? Selain membaca referensi, saya juga sempat berkomunikasi dengan salah satu pakarnya (Gregory R. Pohl) via email. Ahli serangga dari Kanada tersebut mengutarakan bahwa anggota kedua subfamili tersebut mampu mendeteksi sumber makanannya dari jarak jauh.
Mekanismenya memang belum diketahui, namun mereka sangat cepat dalam menemukan makanan tersebut sehingga harus bisa mendeteksinya dari jauh. Contohnya adalah jamur yang membusuk. Makanan tersebut akan membusuk dalam waktu 14 hari sehingga mereka harus dapat menemukannya dengan cepat, dan mereka beradaptasi dengan perjalanan jarak jauh untuk mencarinya.
Kemampuan untuk terbang dalam jarak yang jauh dan menemukan sumber makanan memberikan spesies tersebut kemampuan untuk menjajah wilayah baru. Itulah yang dikatakan tentang "perubahan temporal jangka panjang". Karena kumbang kelana tersebut sudah pandai dalam penyebaran dan mencari sumber makanan yang jauh, hal ini membuat mereka pandai menjajah kawasan baru seperti hutan yang baru saja terbakar, misalnya.
Spesies yang tidak terlalu mobile, atau yang mengandalkan isyarat berbeda untuk mencari makanan, tidak akan pandai berkoloni.
Berikutnya saya akan coba perlihatkan apa yang menjadi respons beragam kumbang terhadap perbedaan tipe habitat montane. Pada situs penelitian terakhir (hutan alam 2.165 mdpl), terdeteksi kelembaban udara paling tinggi dan kondisi vegetasi paling alami, salah satunya ditandai dengan sangat banyaknya lumut dan liken menyelimuti batang pepohonan.
Terbentuknya liken akibat simbiosis mutualisme antara jamur dengan alga hijau atau sianobakteria. Selidik punya selidik, ada tiga subfamili yang bertindak dalam proses pembusukan jamur di pohon, yaitu Aleocharinae, Omaliinae, dan Staphylininae. Telah dijelaskan kontribusi diversitas terbesar kumbang Aleocharinae dan Staphylininae di habitat montane Gunung Bawakaraeng.
Khusus Omaliinae, hanya ditemukan di habitat hutan alam ketinggian 2.165 mdpl, suatu spesies bermarga Phloeonomus. Lihat? Dari sini kita bisa menganalisis bahwa daya jelajah kumbang Omaliinae besar kemungkinan lebih sempit dibandingkan Aleocharinae dan Staphylininae, dan ternyata Omaliinae membutuhkan ruang yang lebih spesifik untuk hidupnya, seperti di serasah, lumut, dan di bawah kulit kayu pohon mati. Kondisi tersebut paling tercermin pada habitat hutan alam.
Kita beralih ke situs hutan campuran (1.835 mdpl) di mana sebagian berupa hutan alam, sebagian lainnya adalah hutan ekaliptus. Respons kehadiran kumbang yang diperlihatkan tampak mencolok. Meskipun ada perbedaan ketinggian pada habitat hutan alam (1.835-2.165 mdpl), masih ditemukan spesies kumbang yang secara morfologi serupa di kedua tempat.
Dikatakan demikian karena belum teridentifikasi hingga level spesies, hanya sampai level genus/marga yang bernama Paederus, salah satunya. Tomcat yang kita kenal juga bermarga Paederus, tapi yang ditemukan di hutan alam memiliki warna tubuh seluruhnya gelap, sedangkan tomcat terdapat pola warna oranye.
Tapi jangan salah! Tomcat juga ditemukan dalam penelitian ini, tetapi hanya di habitat lahan pertanian. Sayangnya, belum diketahui pasti penyebab ditemukannya kumbang Paederus bertubuh gelap hanya di hutan alam, selain kemungkinan bahwa mereka sangat nyaman berada di tempat berintesitas cahaya rendah dan berkelembaban tinggi.
Tomcat sebenarnya menyukai tanah yang lembab, namun penelitian menunjukkan asosiasinya dengan lahan persawahan dan perkebunan. Sementara itu, di hutan ekaliptus menggambarkan miskinnya spesies kumbang Staphylinidae, bahkan kumbang Carabidae tidak didapatkan sama sekali.
Kok bisa? Sangat besar kemungkinan efek alelopati yang ditimbulkan oleh ekaliptus terhadap serangga turut memengaruhi. Ternyata ekaliptus ini mempunyai semacam senyawa yang berguna sebagai insektisida untuk menekan perkembangan serangga termasuk kumbang. Oleh karena itu, keanekaragaman dan kelimpahannya di habitat hutan ekaliptus menjadi sangat sedikit.
Bagaimana dengan habitat hutan pinus? Untuk situs ini, kumbang Carabidae menjadi tokoh utama. Karena di Staphylinidae yang paling beragam dan melimpah lagi-lagi Aleocharinae dan Staphylininae.
Adalah kumbang macan yang menjadi spesies khas dari Carabidae di hutan pinus, Namanya Hipparidium shinjii. Saat itu, kumbang macan masih termasuk ke dalam subfamili Cicindelinae (famili Carabidae), tetapi studi terbaru menempatkannya dalam famili tersendiri, yaitu Cicindelidae.
Tubuhnya berwarna hijau pada bagian abdomen (perut) dan cokelat pada bagian punggung. Perlu diketahui, di kawasan hutan pinus banyak ditumbuhi tumbuhan paku-pakuan dan juga banyak berserakan serasah berwarna cokelat. Ternyata kondisi vegetasi tersebut menguntungkan kumbang macan untuk berkamuflase baik dalam menangkap mangsanya maupun menghindari predatornya.
Tibalah kita di situs lahan pertanian yang dekat dengan pemukiman warga. Di habitat ini setidaknya ada satu spesies Carabidae dan dua spesies Staphylinidae yang memang diketahui khas pada kawasan pertanian. Kumbang Carabidae itu bernama Aephnidius adelioides. Mereka memang diketahui sebagai spesies non-hutan, seperti di kebun buah-buahan dan sayuran, area pemukiman, dan tepi sungai.
Pada situs kawasan pertanian di kaki Gunung Bawakaraeng tersebut menjadi lahan bagi tomat, labu, daun bawang, dan kubis sehingga kumbang Aephnidius adelioides ini pun paling banyak dijumpai di sini. Sementara itu, dua spesies kumbang kelana yang dimaksud adalah Aleochara dan Paederus. Untuk Paederus sudah sempat diceritakan sebelumnya.
Nah, kumbang Aleochara ini ternyata pernah dilaporkan sebagai predator dari larva lalat akar kubis oleh publikasi Balog dkk tahun 2008. Sebenarnya ada satu spesies kumbang kelana lagi yang paling melimpah di lahan pertanian, namun baru dapat teridentifikasi hingga level tribe/rumpun, namanya Xantholinini.
Dikutip dari publikasi Brunke dan Majka tahun 2010, kumbang Xantholinus linearis-salah satu spesies dari tribe Xantholinini-sangat umum dijumpai di area pertanian. Dugaan kuat adalah kumbang Xantholinini dari Bawakaraeng ini memiliki fungsi ekologis yang sama dengan Xantholinus linearis.
Pembimbing saya waktu itu berkata ke saya melalui pesan singkat, "saya dapat melihat suatu seni dan keindahan dari penelitian kamu." Namun, penelitian tersebut masih jauh dari sempurna, salah satunya adalah banyak jenis kumbang yang belum teridentifikasi hingga level spesies.
Tentu pembahasan akan bisa lebih mendalam jika kumbang teridentifikasi sampai tingkat spesies, dengan catatan sudah ada penelitian yang komprehensif mengenai spesies kumbang tersebut. Di sinilah pentingnya kolaborasi antar ilmu: taksonomi, ekologi, fisiologi, etologi, dan sebagainya.
Bagi saya pribadi, riset keanekaragaman hayati ini mampu memberikan gambaran tentang hubungan-baik dan buruk-antara makhluk hidup dengan lingkungannya dan dapat menjadi dasar manajemen ekosistem kawasan setempat. Dari penelitian biodiversitas ini juga menunjukkan bahwa taksonom serangga di Indonesia masih amat sangat kurang.
Kisah pengalaman penelitian ini telah dituangkan menjadi artikel ilmiah yang diterbitkan di HAYATI Journal of Biosciences pada bulan Juli tahun 2016 dengan judul "Diversity and Abundance of Carabidae and Staphylinidae (Insecta: Coleoptera) in Four Montane Habitat Types on Mt. Bawakaraeng, South Sulawesi".
Aqmal Qodri
Peneliti di Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)
(pal/pal)