Konflik Sampit menjadi salah satu peristiwa kelam dalam sejarah Indonesia yang terjadi pascareformasi, tepatnya pada tahun 2001. Kerusuhan ini terjadi antara etnis Dayak sebagai warga asli dengan Madura yang bermigrasi ke Kalimantan Tengah.
Peristiwa bermula dari wilayah Sampit yang kemudian berkembang ke daerah lain. Berdasarkan data Yayasan Denny JA dan LSI Community dalam buku Menjadi Indonesia Tanpa Diskriminasi: Data, Teori, dan Solusi, jumlah korban tewas Konflik mencapai 469 orang, dan 108.000 orang diungsikan.
Sebagai pembelajaran, konflik semacam ini tidak boleh terjadi lagi. Pelajari sejarah dan kronologis Konflik Sampit dalam artikel ini, mulai dari latar belakang masalah, faktor penyebab, dampak, dan langkah penyelesaiannya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Latar Belakang Konflik Sampit
Konflik Sampit tidak terjadi begitu saja. Terdapat bibit-bibit konflik yang mulai tumbuh sejak lama. Hal ini berawal ketika warga Madura banyak yang bermigrasi ke Kalimantan Tengah.
Suku Madura berhasil menguasai berbagai bidang perekonomian. Di sisi lain suku Madura dianggap tidak menghormati masyarakat lokal, sehingga membuat bibit konflik.
Dalam Jurnal Sosiologi Volume IV, Edisi 1 Maret 2021, Kumpiady Widen dari Universitas Palangka Raya memaparkan ada sedikitnya 20 kasus kecil antara warga Dayak dan Madura sejak kepindahan Madura ke Kalimantan Tengah pada 1960-an.
Salah satunya adalah konflik di Sanggau Ledo, Kalimantan Barat tahun 2009. Dalam sebuah pertunjukan orkes Melayu di Sanggau Ledo, terdapat dua pemuda dari Dayak dan Madura yang saling bersenggolan. Mereka berkelahi hingga pemuda Dayak tewas.
Kelompok Dayak pun berusaha membalas hingga memicu kerusuhan yang membuat kelompok Madura harus mundur. TNI-Polri bahkan harus mengungsikan masyarakat Madura.
Adapun puncak konflik yang terjadi pada Februari 2001 diawali dengan konflik bernuansa etnis pada Desember 2000. Saat itu terdapat tiga orang Madura dan satu orang Dayak bermain judi bersama di sebuah penambangan emas tradisional di Kereng Pangi.
Dari situ terjadi perkelahian yang berakhir dengan kematian orang Dayak. Selama sekitar satu bulan, isu yang berembus terus mengarah pada konflik etnis. Kerusuhan pun pecah di Jalan Padat Karya Sampit pada 18 Februari 2001.
Selama tiga hari, orang Madura dapat menguasai Sampit dan seakan berpesta atas kemenangan mereka. Bahkan mereka mengumumkan Sampit akan menjadi Sampang ke-2.
Berlangsungnya Konflik Sampit
Dalam Jurnal SOSIAL oleh Nabilah Putri Intani, dkk dari Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya, dijelaskan puncak konflik berlangsung setelah Madura menobatkan Sampit menjadi Sampang ke-2.
Pada 20 Februari 2001, masyarakat Dayak dari berbagai daerah datang ke Sampit untuk membalas kekalahan mereka. Warga Dayak membawa berbagai senjata tradisional seperti mandau, tombak, sumpit, hingga senjata api. Mereka pun berhasil merebut Sampit kembali.
Tak hanya senjata fisik, kerusuhan tersebut diyakini melibatkan ilmu gaib. Orang Madura yang konon kebal dari benda tajam atau peluru, tetap mati di tangan orang Dayak. Disebutkan suku Dayak mempraktikan ritual berburu kepala yang bernama Ngayau atau Kayau. Makanya saat itu ditemukan banyak mayat tanpa kepala.
Faktor Penyebab Konflik Sampit
Adapun faktor penyebab Konflik Sampit dapat dibagi menjadi empat, yaitu faktor sosial, budaya, ekonomi, dan politik.
1. Faktor Sosial
Dalam kehidupan sosial, warga asli Dayak memiliki pandangan negatif terhadap orang Madura pendatang. Di antaranya banyak orang Madura menjadi preman di tempat umum, ada yang menjadi pencuri, jambret, dan pelaku kriminal lainnya. Selain itu, orang Madura pendatang dianggap suka menyerobot tanah milik warga lokal.
2. Faktor Budaya
Suku Madura datang dari Sampang yang tandus, miskin, dan desa nelayan. Mereka cenderung memiliki sikap keras dan menantang. Sementara orang Dayak tinggal di hutan sehingga menjadikannya harmoni dengan alam. Ini membuat sifat mereka suka mengalah. Dua latar belakang budaya berbeda ini membuat konflik lebih mudah terjadi.
3. Faktor Ekonomi
Meski warga pendatang, orang Madura mampu menguasai perekonomian Kota Sampit dan Kotawaringin Timur. Beberapa orang Madura sukses menjadi pengusaha besar, selain itu mereka menjadi pedagang besar, pedagang kecil, menguasai hotel/losmen, pangkalan ojek, menjadi buruh, preman, hingga tuan tanah.
Sementara penduduk lokal seperti Dayak, Melayu dan Banjar tidak bisa bersaing dengan warga pendatang Madura karena lebih suka bekerja keras, bekerja kelompok, dan tidak takut bersaing secara kasar.
4. Faktor Politik
Faktor politik mencakup banyak hal, termasuk agama hingga pemerintahan. Orang Madura yang sukses kemudian banyak membangun masjid dan pesantren. Setiap tahun, semakin banyak orang Madura yang pindah ke Sampit.
Penguasaan ekonomi juga memudahkan orang Madura menguasai pemerintahan. Profesi seperti guru, PNS, polisi, tentara, hingga anggota DPRD pun banyak diisi warga pendatang.
Dampak Konflik Sampit
Dampak Konflik Sampit berimbas ke segala sektor. Dari sisi ekonomi, banyak toko, kantor, dan pasar yang terpaksa tutup karena peristiwa kerusuhan. Penjarahan juga terjadi sehingga merugikan para pengusaha.
Dari sisi materi, kerugian dirasakan masyarakat karena lebih dari seribu rumah dibakar, ratusan kendaraan rusak, hingga 469 orang tewas, dan ribuan orang luka-luka.100 ribu lebih orang harus diungsikan.
Dari segi sosial, hubungan antaretnis, baik secara individu maupun kelompok tentu menjadi rusak. Kedua pihak pun perlu merehabilitasi mental atas peristiwa berdarah tersebut.
Namun seiring waktu, toleransi pun dapat terbina. Orang Madura semakin menghargai orang Dayak. Orang Dayak pun terbuka dan bisa bersaing dalam hal ekonomi dengan orang Madura.
Penyelesaian Konflik Sampit
Konflik Sampit yang terlalu rumit tidak diselesaikan secara hukum, meski beberapa orang ditangkap polisi karena dianggap sebagai provokator. Konflik antaretnis ini banyak diselesaikan secara sosial dan budaya.
Melalui rekonsiliasi, kegiatan diskusi, penyuluhan, dan pemahaman adat-istiadat kepada kedua belah pihak, muncul tiga alternatif bagi warga Madura yang mengungsi, yaitu:
1. Menetap di Surabaya dan/atau di Sampang serta mendapat pembinaan dari pemerintah.
2. Bermigrasi ke tempat baru selain Kalimantan, yakni ke Sulawesi atau Sumatera.
3. Sebagian bisa kembali ke Kalimantan Tengah dengan syarat:
- Sudah memiliki hubungan keluarga
- Sudah memiliki pekerjaan tetap sebagai PNS, TNI, Polri, DPR, pengusaha sedangkan pengangguran, preman, dan pekerjaan tak jelas dilarang kembali ke Kalimantan Tengah
- Proses kembali harus secara bertahap dan tidak langsung dalam jumlah besar.
Demikian tadi sejarah dan kronologis Konflik Sampit, mulai dari latar belakang, penyebab, dampak, dan penyelesaiannya.
(row/row)